Tuesday, June 5, 2007

(ontologi) Filsafat Wujud dalam Wacana Para Filosof Muslim

(ontologi) Filsafat Wujud dalam Wacana Para Filosof Muslim

di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak mungkin bisa didefinisikan, meningat untuk mendefinisikan suatu "objek", kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami ketimbang konsepsi wujud? Menurut para filosof, konsepsi wujud sedemikian terangnya, sehingga la persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah wujud. Begitu jelasnya mafhum wujud, maka la tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) clan diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri. Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289), mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh Manzumahnya berkata: Its (wujud's) notion is one ofthe best-known things, But its deepest reality is in the extremity of hiddenness. ` Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena itu kita akan dapati hampir seluruh buku­buku magnum opus filsafat, seperti as-Syifa karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku-buku kalam karya Khowajeh Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya. Sampai periode awal dari aktivitas ilmiah Sadra sekalipun, harus diakui bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi dari apa yang disebut sebagai realitas. Ikhtilaf di kalangan para filosof masih berkisar di seputar masalah prinsipalita wujud dan mahiyah; mana lebih awal atau lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah. Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra melahirkan sebuah gagasan baru dalam filsafat bahwa wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga`, merupakan fondasi dari semua yang disebut realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri.2 Sejak itu, kata Rahman, wujudiyyah atau "eksistensialisme" lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas Muslim. Tapi perlu kita ingatkan di sini bahwa yang dimaksudkan dengan istilah "eksistensialisme" yang diatributkan kepada Sadra berbeda dengan mazhab eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger. Menurut Wahid Akhtar, mazhab eksistensialisme mereka tak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat.3 Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih bersifat theistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik.'

Prinsip-prinsip Filsafat Wujud Untuk bisa memahami filsafat wujud, ada baiknya kita batasi pembahasan hanya pada teori Sadra yang dikenal sebagai filosof zuujudiyyah di zamannya. Sayyed Hossein Nasr mengatakan, filsafatwujud Sadra berdiri di atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori filsafat metafisikanya, baik yang berkaitan dengan kosmologi, epistimologi, dan bahkan teologinya.5 Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

wahdatul wujud, tasykikul wujud, dan asalatul wujud. Kita akan

mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana. Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filosofis. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang pal­ing ekstrem adalah Ibnu Sab'in yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang melihat bahwa seluruh yang maujud (existent) selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma' dan Sifat-sifat Tuhan. Namun Sadra melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang namanya Wajib al-wujud (Allah Swt.) yang sifat wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang bersifat, contingent (mumkin al-wujud). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri. Wujud Wajibul-wujud berbeda dengan wujud mumkinul-wujud, namun dalam masa yang sama entitas-entitas itu tiada lain adalah realitas Wajibul-wujud juga. Teori Wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dsb. Apakah wujud setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru subsist-by other. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah keberadaan entitas si Ahmad berbeda de­ngan keberadaan entitas si Amir. Apalagi dibandingkan de­ngan entitas hewan, nabati, dan sebagainya. Lantas dimana letak unitasnya? Untuk menjawab persoalan itu yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas, Wujudiyyah menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah Maujud murakkab (com­posite existence) dimana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit (the Simple Existent), di mana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud basit ini hanya milik Allah SWT saja di mana wujudnya merupakan maujud-Nya itu sendiri. Simplifikasi jenis wujud Allah ini kemudian melahirkan sebuah formula yang cukup signifikan dalam filsafat Sadra, yang disebutnya dengan istilah basitul haqiqah kullu syai' (bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut "sesuatu".) Karenanya mengikut formula ini, wujud manusia yang murakkab adalah bagian inheren dari wujud Allah yang basit. Prinsip wahdatul-wujud dalam filsafat Sadra ini yang melihat unitas wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari Wajibul­wujud sampai ke mumkinul wujud (contingent beings) yang beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah tasykikul wujud atau graditas wujud yang sistemalis. prinsip ini pada perkembangannya melahirkan gagasan kosmologis Sadra yang spektakuler, yang tidak akan kita bahas di sini. Untuk bisa memahami teori ini, sejenak kita melihat logika Aristotelian tentang perbedaan antara dua jenis universal (kulli), antara kulli mutazuati (univocally applicable) dan kulli musyakkak (equivocally atau ambiguosly appli­cable). Contoh yang pertama seperti manusia (universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di antara individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi "human­ness (kemanusiaannya)". Contoh kulli kedua yakni kulli musyakkak seperti warna "putih" yang membawahi individu­individu "putih" yang ragamnya bergraditas; ada putih saju, putih kapas, dan sejenisnya. Problemnya adalah kulli musyakkak yang membawahi suatu esensi dengan segala graditasnya ini apakah akan mengalami perubahan wujud ketika intensifikasi terjadi di dalam dirinya atau tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana, apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka esensi "putih"nya juga berubah atau tidak berubah? Apakah perbedaan graditas dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah atau tetap dengan esensinya dahulu. Menurut aliran filsafat peripatetik, esensi tak mengalami perubahan. Yang berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan lahir warna baru yang menggantikannya. Tetapi Isyriqiyyun menolak teori ini. Mereka melihat bahwa suatu esensi tidak pernah mengalami perubahan. Suatu esensi bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya yang tetap, bahkan "putih"nya juga tetap. "Animal remains the same, yet animality can increase or decrease", kata Rahman yang mengutip Suhrawardi. Dengan kata lain, menurut Suhrawardi, semua yang disebut esensi memiliki kapabilitas untuk menjadi "more or less": semua manusia bisa jadi "lebih" atau "kurang" manusia dari manusia lain. "Manusia" dan "kemanusiaan" Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan kita. Teori "more perfect and less perfect" Suhrawardi ini kemudian di-switch oleh Sadra untuk dasar filsafat eksistensinya. Tapi jelas Sadra tidak sekadar mengkopi. la melakukan sejumlah modifikasi yang cukup signifikan. Pertama, prinsip tashkik atau ambiguitas ini dirubahnya dari ambiguitas esensi menjadi ambiguitas dalam eksistensi. De­ngan kata lain, yang mengalami graditas bukan esensi, tapi justru eksistensinya. Kedua, teori ambiguitas eksisten ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, 1. Eksistensi adalah sama bagi seluruh eksisten (maujud)nya, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhluk yang mumkin adalah sama apabila dilihat dari sisi predikat eksistensinya. 2. Meskipun predikat eksistensi di atas sama namun setiap eksisten tetap memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain.

3. Seluruh bentuk eksistensi yang lebih tinggi pasti mengandung bentuk eksistensi yang lebih rendah darinya berdasarkan formula yang kita kutipkan di atas, yakni basit al­haqiqah kullu syai', bahwa eksistensi yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala eksistensi yang berada di level bawahnya. Dengan dasar prinsip di atas maka wahdatul wujud atau unitas wujud terpelihara pada semua eksisten atau maujud; namun dalam masa yang sama keragamannya juga terpelihara. Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense, maka lahirnya prinsip ashalatul wuJud adalah sesuatu yang aksiomatis. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah Ashalatul Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum mun­culnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles sekalipun. Pada mulanya para filosof peripatetik seperti Farabi dan Ibnu Sina yang mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten).' Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan

r Teorl Ibnu Sina tentang hubungan Esensl dan Ekslstensi lihat Faclur Ruhrnan dalarn arllkalnvn.

mahiyah (quiditas). Mahiyah sepertinya duduk dalam posisi sebagai lokus yang memerlukan wujud agar la bisa eksis. Tanpa wujud, suatu mahiyah tidak akan pernah bisa menjadi maujud (eksisten); dan demikian juga tanpa mahiyah, suatu wujud tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia realitas. Teori dualitas antara wujud dan mahiyah ini kemudian ditolak secara tegas oleh Suhrawardi dan Isyraqiyyun. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai maujud (eksisten) di dunia realitas adalah wujud itu sendiri, bukan asalnya mahiyah yang "hampa" dari wujud, dan kemudian ia memperoleh wujud untuk bisa eksis. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite. Lebih jauh la mengatakan bahwa suatu wujud yang konkrit tiada lain adalah sebuah fakta bahwa itu adalah maujud itu sendiri. Sehingga kalimat "wujud" yang kita berikan padanya tiada lain kecuali abstraksi akal semata-mata.8 Sadra yang eksistensialis dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang rill adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Tapi dia juga tidak menerima teori dualitas antara wujud dan mahiyah seperti yang dipegang aliran peripatetik. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter "menebar" ke dalam seluruh celah­celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari limitation atau pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri. Ketika kita melihat di dunia realitas ini ada, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan sebagainya, maka entitas-entitas itu tidak lebih dari sekadar limitation yang "membelah" bentangan wujud. Limita­tion itu penting untuk membentuk apa yang disebut sebagai maujud atau eksisten. Dan la "berfungsi" untuk membedakan kepada kita karakter dan spesifikasi suatu maujud dari maujud yang lainnya. Karena dengan limitation itu, kita bisa mengenal suatu maujud dengan maujud lainnya; atau dengan limitation itu kita bisa mengenal satu form (bentuk spesifik) dari form yang lainnya. Dan form itu sendiri kemudian kita istilahkan sebagai mahiyah (what-ness) atau quiditas. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai mahiyah sebenarnya tidak ada realitasnya. la hadir ke dalam pikiran kita, hasil dari observasi tentang bentangan wujud yang terbelah oleh form form yang ada. Itulah kenapa Sadra berkata bahwa yang prinsip adalah wujud, sementara mahiyah adalah abstraksi akal kita semata-mata. Sabzawari berkata: Existence in our opinion is fundamentally real The argument of our opponents is invalid'

Kesimpulan Secara teologis, ketiga prinsip filsafat wujud di atas mengajak kita memahami makna the Ultimate Reality di mana realitas Allah selain Simple, juga wahid atau menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun wahdatul wujud namun tidak terjebak pada teori panteisme, karena wujud entitas-entitas selainNya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Allah "bahwa Kami lebih dekat kepadanya (makhluk-Nya) ketimbang dari nyawanya sendiri" (50:16).

Sumber :

1 The Metaphysics of Sabzawari, translated by M. Mohaghegh and T. Izutsu. Teheran: University Press, 1983, ha1.32

2 Untuk lebih rinci tentang perkembangan historis ini lihat Nasr dalam History of Islamic Philosophy, juga Sharif dalam A History ofMuslimi Philosophy, Rahman dalam Philosophy ofMulla Sadra, dsb 3Al-Hikmeh, Bandung: Yay. Muthahhari, 111, hal. 44.

° Tentang analisis mazhab eksistensialisme ini lihat Frederick Copleston dalam A History ofPhilosophy, Vol IX lud 340

0 1 ih01l lfiaturyrrllslunrtr. Pirllasophy, (ed) Nasr. London: Routladge, II, hal. 648

"Essence and Existence in Avicenna", Medieval and Renaissance Studies, 4(1958):1-16. Juga "Phi­losophy of M. Sadra", ibid., 34.

"Llhat John Walbridge, The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi and the Illuminationist Tradition

No comments: