Tuesday, June 5, 2007

Masalah kejahatan perspektif filsafat islam

Murtadha muthahhari :

Keadilan ilahi

Masalah kejahatan perspektif filsafat islam

Pembahasan dari Tiga Arah

Kesulitan -kesulitan yg ber­kaitan dengan persoalan keadilan Tuhan dibagi menjadi empat pokokbahasan: (1) Pembedaan, (2) fana

dan ketiadaan, dan (3) kekurangan dan cacat, dan (4) bencana.

Tema yang pertama, seperti saya janjikan, telah saya bahas pada bab tersendiri, yaitu pada bab sebelumnya di bawah judul "Pembeda­an". Sementara itu, tiga tema lainnya, saya bahas dan analisis di bawah satu tema dalam bab ini, yaitu "Kejahatan".

Jawaban para filosof terhadap persoalan kejahatan berkisar pada tiga persoalan:

Pertama, apakah hakikat kejahatan itu? Apakah kejelekan dan kejahatan merupakan persoalan yang eksistensial dan realistis? Atau merupakan persoalan yang non-eksistensial dan relatif?

Kedua, baik eksistensial atau non-eksistensial, apakah kebaikan dan kejahatan tersebut dapat dipilah-pilah ataukah tidak?

Berdasarkan asumsi kedua, yaitu dengan asumsi tidak dapat di­pilah-pilah, apakah alam, dengan seluruh kebaikan dan kejahatan yang terjadi di dalamnya, baik ataukah jahat? Yakni, apakah kebaikan lebih kuat ketimbang kejahatan, ataukah kejahatan lebih kuat ketimbang kebaikan, ataukah masing-masing tidak ada yang lebih kuat, melainkan keduanya seimbang?

Ketiga, apakah kejahatan itu eksistensial atau non-eksistensial? Juga, apakah kebaikan itu dapat dipilah-pilah ataukah tidak? Apakah kejahatan yang terjadi itu sama sekali tidak mengandung unsur ke­baikan? Yakni tidak mungkin menjadi pengantar bagi kebaikan ter­tentu? Atau, bahwa pada relung setiap kejahatan itu terkandung satu unsur kebaikan, bahkan lebih, dan bahwa setiap kejahatan itu menjadi sebab bagi satu kebaikan, bahkan lebih dari itu?

Bagian yang pertama, merupakan sanggahan saya terhadap kaunr dualis yang meyakini adanya dua sumber wujud. Sclanjutnya, bagian kedua merupakan sanggahan yang saya tujukan kcpada kaum rnalcri:rlis yang mengatakan bahwa kejahatan termasuk persoalan yang bertentangan dengan keadilan "Tuhan, sekaligus sebagai sanggahan terhadap mereka yang pemikiran-pemikirannya melahirkan kemusykilan mengenai kejahatan. sedangkan pada bagian ketiga, saya jelaskan persoalan sistem

alam, wujud yang baik dan indah. Sanggahan ini dapat dipandang sebagai sanggahan yang diharapkan bisa memuaskan, selain sebagai pelengkap jawaban yang pertama.

Cara dan Metode

Mari kita mulai sanggahan kita terhadap keberatan yang diajukan dalam persoalan kejahatan ini dengan menggunakan. kajian para filosof Muslim dengan mengemukakannya lewat metode baru. Sanggahan dalam buku ini mengandung unsur-unsur bahasan yang juga terdapat di dalam buku-buku filsafat Islam itu sendiri, khususnya dalam karya­karya Mulla Shadra yang telah berupaya menjawab keberatan-keberatan mengenai kejahatan. Secara substansial, kedua jawaban tersebut merupakan kesatuan. Perbedaan jawaban saya dengan jawaban para filosof Muslim berkisar pada metode tertentu yang saya gunakan. Saya membahas masalah kejahatan ini dari segi hubungannya dengan "keadil­an Tuhan", sedangkan para filosof Muslim membahasnya dalam perspektif tauhid, dan dilakukan ketika menyanggah kaum dualis, atau ketika membahas "pertolongan Allah dan ilmu-Nya".

Dengan demikian, yang akan dipersoalkan ialah bagaimana hubungan antara kehendak Allah dengan kejahatan, sehingga mereka langsung menyanggah kerancuan dualisme pencipta; atau bagaimana hubungan antara ketentuan (qadha') Allah dengan kejahatan. Kecuali secara tidak langsung, mereka tidak mempersoalkan hubungan kejahat­an dengan keadilan Tuhan.

Dualisme Wujud

Dasar kerancuan kaum dualis dan para pembelanya, sebagaimana telah saya tunjukkan sebelumnya, adalah ketika mengasumsikan dual­isme hakikat wujud: wujud baik dan wujud jahat. Sehingga, harus ada dua sumber wujud; wujud-wujud baik bersumber dari yang pertama, dan wujud-wujud jahat bersumber dari yang kedua. Setiap kejahatan dan kebaikan, masing-masing berhubungan dengan pencipta yang ber­beda.

Pada dasarnya, kaum dualis mencoba membebaskan Tuhan dari kejahatan. Untuk itu, mereka membuat sekutu bagi-Nya. Mereka ber­anggapan bahwa alam ini terbagi dua: baik dan jahat. Mereka juga ber­anggapan bahwa kejahatan merupakan kebutuhan tambahan, bahkan ia begitu urgen. Karenanya, ia harus berasal dari selain Tuhan, dan dari kekuatan yang bertentangan dengan kekuatan Tuhan. Tuhan telah men­ciptakan Adam dengan tujuan yang baik, tetapi ia merasa tersiksa atas kclcmahannya dalam menghadapi posisi maujud jahat clan pencinta kcjelckan yang ada di hadapannya, yang selalu melukiskan kerusakan dan kehancuran yang pada hakikatnya bertentangan dengan keinginan Adam sendiri.

Kaum dualis tidak mampu mempertahankan keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang memiliki kekuasaan tak terbatas dan kehendak yang menguasai segala sesuatu, serta ketentuan dan takdir sebagai dua hal yang tidak tunduk kepada pembuat kejahatan, di samping ketidak-mampuan mereka meyakini kebijakan, keadilan dan wujud Tuhan yang murni-baik.

Ketika Islam memandang bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Pemilik rahmat dan kebijakan yang tak terbatas, maka ia tidak melancarkan tikaman terhadap kehendak-Nya yang menyeluruh dan kekuasaan-Nya yang demikian tidak terkalahkan. Segala sesuatu ber­sandar kepada-Nya, hatta kemampuan setan dalam menyesatkan sekali­pun.

Di dalam Islam, persoalan kejahatan dapat diselesaikan dengan bentuk yang lain. Yakni ketika Islam memandang alam, maka ia me­mandangnya sebagai terbagi dua: kebaikan dan kejahatan. Hanya saja, Islam memandangnya dengan pandangan yang luas. Islam memandang alam ini terbebas dari kejahatan. Semua maujud adalah baik. Sistem yang berlaku adalah sistem terbaik, dan mustahil ada sistem yang lebih baik darinya.

Jawaban terhadap persoalan kejahatan didasarkan filsafat rasional tertentu yang mengkaji persoalan wujud dan ketiadaan secara men­dalam. Filsafat ini menyanggah kaum dualis dengan mengatakan bahwa kejahatan bukanlah maujud-maujud realistis yang ash sehingga memerlukan pencipta dan sumber tersendiri. Pengertian tersebut, kebenarannya bisa kita buktikan dengan dua bahasan: pertama, kejahat­an adalah sesuatu yang tiada (`adam), kedua, kejahatan adalah sesuatu yang relatif. Dengan dijelaskannya dua persoalan ini, pada akhirnya hilanglah keraguan terhadap dualisme wujud.

Kejahatan adalah Ketiadaan Murni

Analisis yang sederhana cukup sudah untuk menegaskan kepada kita bahwasubstansi kejahatan benar-benar merupakan ketiadaan murni. Yakni semua kejahatan itu tidak'ada, dan bukan ada.

Pembahasan persoalan ini memiliki sejarah yang panjang. Akar­akarnya tertanam dalam pemikiran Yunani kuno, yang dinisbatkan kepada buku-buku filsafat Yunani klasik, khususnya buku-buku Plato. Tetapi, para filosof mutaakhir menganalisis dan membahasnya secara lebih luas dan mendalam. Karena kita memandangnya sebagai pandang­an yang benar dan karena ia merupakan persoalan yang mendasar, maka kita akan membahasnya sesuai dengan pembahasan buku ini..Saya harus mengajukan 'permohonan maaf kepada para pembaca yang budiman karena pembahasan ini cukup pelik, dan saya berharap para pembaca dapat bersabar dan berusaha untuk memahaminya.

Mereka yang berpendapat bahwa kejahatan itu tidak ada, tidak bermaksud mengatakan bahwa kejahatan yang kita saksikan di tengah­tengah masyarakat manusia itu tidak ada wujudnya, sehingga dapat dikatakan bahwa yang demikian itu bertentangan dengan kemestian. Kita benar-benar mendapati adanya kebutaan, ketulian, penyakit, kezaliman, penganiayaan, kejahilan, kelemahan, kematian, gempa bumi dan lain-lain. Semua orang tidak akan dapat menolak adanya semua itu, dan tidak pula dapat mengingkarinya sebagai sesuatu yang jahat. Dengan itu semua, mereka juga tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kalaulah kejahatan itu bersifat tiada, maka berarti wujud-wujud di atas tidak ada wujudnya. Kalaulah kejahatan tersebut tidak ada, maka dengan begitu manusia tidak ditugasi untuk menentang kejahatan dan melakukan kebaikan. Kalaulah semua kondisi tersebut benar-benar baik tanpa kejelekan sama sekali, maka kondisi yang ada, dengan demi­kian, merupakan sesuatu yang mesti diterima, bahkan merupakan kondisi yang paling baik. Tidak, Anda jangan tergesa-gesa memvonis. Kita tidak bermaksud menolak adanya kebutaan, ketulian, kezaliman, kefakiran, penyakit, dan sebagainya. Kita juga tidak bermaksud menolaknya sebagai sesuatu yang jahat, selain juga tidak bermaksud menafikan tanggung jawab manusia. Kita tidak bermaksud mendegra­dasikan peranan manusia dalam mengubah alam dan menyempurnakan masyarakat. Transformasi alam, khususnya manusia dan misinya dalam pengaturan yang dibebankan kepadanya, merupakan bagian dari sistem alam yang indah. Dengan demikian, pembicaraannya bukan dari per­soalan-persoalan ini.

Pembicaraannya berkaitan dengan bahwa semua ini merupakan 'adamiyyat (persoalan-persoalan ketiadaan) dan "kekosongan-ke­kosongan", dan eksistensinya merupakan eksistensi "kekurangan­kekurangan" dan "kehilangan-kehilangan", yang dari segi inilah ia merupakan kejahatan. Kejahatan, kalau bukan merupakan ketiadaan, atau "kurang" atau "kosong"; itu sendiri, tentu merupakan sumber dari "tiada", "kurang", dan "kosong".

Peranan manusia dalam sistem evolusi alam yang bersifat keharus­an ini adalah memaksa kekurangan, mengisi kekosongan, serta meniada­kan keduanya dari lembaran wujud.

Apabila pembaca dapat menerima persoalan di atas, maka bagian pertama dari pembahasan ini telah kita lalui. Dampaknya, ia dapat mengusir pertanyaan "siapakah yang menciptakan kejahatan" dari pikiran kita?

Mengapa sebagian maujud baik dan sebagian yang lain jahat?

Uraian saya yang lalu menegaskan bahwa kejahatan bukan sejenis eksistensi, melainkan noneksistensi. la menolak domain yang dijadikan pijakan oleh kaum dualis yang berasumsi bahwa wujud memiliki dua cabang, bahkan dua akar. Adapun dari perspektif keadilan dan kebijak­an "Tuhan, kita telah menyelesaikan satu bagian dan tinggal menjawabbagian yang lain.

Kebaikan dan kejahatan di alam ini bukanlah dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain sebagaimana berbedanya benda-benda mati dari tumbuh-tumbuhan, atau tumbuh-tumbuhan dari binatang, yang masing-masing memiliki barisan tertentu. Kita akan melakukan kekeliruan apabila membayangkan bahwa kejahatan memiliki barisan tertentu yang esensinya bersifat "jahat sejati" tanpa sedikit pun kebaik­an di dalamnya, dan bahwa kebaikan memiliki barisan tertentu yang berbeda dan esensinya bersifat "baik sejati" tanpa sedikit pun kejahatan di dalamnya. Yang benar adalah bahwa kebaikan dan kejahatan merupa­kan dua hal yang menyatu tanpa bisa dipisah-pisahkan. Ketika di suatu bagian alam ada kejahatan, di situ pasti ada kebaikan, dan di mana saja ada kebaikan, di situ pasti ada kejahatan. Kebaikan dan kejahatan begitu menyatu dan bersenyawa di alam ini, bukan senyawa kimiawi, melainkan senyawa yang lebih mendalam dan lebih halus, senyawa antara eksistensi dan noneksistensi (tarkib al-wujud wa al-'adam).

Eksistensi dan noneksistensi, secara eksternal tidak membentuk clua kelompok yang terpisah. Noneksistensi ialah kenafian dan kekosongan serta tidak mungkin menempati tempat tertentu di hadapan eksistensi. Di alam fisik yang merupakan alam kekuatan, alam tindakan, alam gerakan, alam evolusi, alam kontradiksi, dan alam kompetisi, dan di semua tempat yang di situ dimungkinkan adanya, rnaka di situ akan ada pula "ketiadaan." Ketika kita membicarakan "kebutaan", kita tidak boleh mengira bahwa kebutaan merupakan sesuatu tertentu dan realitas inderawi yang melahirkan sesuatu di mata kita yang disebut "kebutaan". Pada dasarnya, kebutaan adalah hilangnya penglihatan dan pandangan; ia tidak memiliki realitas yang

t crsendiri.

Kebaikan dan kejahatan adalah sesuatu yang bisa ada dan bisa tidak ada. Bahkan, kebaikan itu merupakan wujud itu sendiri, dan kejahatan merupakan ketiadaan itu sendiri. Setiap kita membahas kcjahatan berarti kita membahas noneksistensi dan ketiadaan. Sebab, kejahatan itu kalau bukan merupakan ketiadaan itu sendiri, pasti ia merupakan wujud yang dilekati sejenis ketiadaan. Artinya, pada

hakikatnya ia merupakan maujud-maujud yang dengan sendirinya baik. ia berubah menjadi jahat karena dilekati sejenis ketiadaan. Dari sisi ini, yakni dari sisi bahwa ia dilekati "ketiadaan", ia merupakan sejenis kejahatan, te•tapi bukan dari setiap sisinya. Kita memandang kebodoh­an, kemiskinan, kematian sebagai kejahatan, yang pada hakikatnya semuanya adalah "ketiadaan". Adapun angin badai, binatang-binatang buas, bakteri-baktcri, dan bcncana-bencana, pada hakikatnya, bukanlah sesuatu yang tidak ada (nonbeing), melainkan sebagai maujud-maujud yang mengharuskan adanya ketiadaan.

kebodohan artinya ketidakmemiliki ilmu dan ketiadaan ilmu. ilmu adalah kesempurnaan realitas yang sejati, sedangkan kebodohan

bukan realitas. Ketika kita mengatakan bahwa seorang yang bodoh tidak memiliki ilmu, maka hal itu tidak berarti bahwa orang tersebut memiliki karakteristik tertentu yang disebut "tidak memiliki ilmu", sehingga ia tidak memiliki kapasitas untuk menjadi ulama. Para ulama, sebelum mereka mempelajari ilmu, juga adalah orang-orang yang bodoh: Ketika mereka belajar, mereka tidak kehilangan sesuatu apa pun, melainkan mendapatkan sesuatu. Apabila kebodohan itu merupa­kan realitas substansial, niscaya diperolehnya ilmu akan disertai dengan hilangnya sesuatu. Persoalannya adalah digantinya suatu sifat dengan sifat yang lain. Misalnya, tubuh yang memiliki postur dan kualitas ter­tentu, kemudian keduanya dimusnahkan agar ia memiliki postur dan kualitas yang lain.

Kemiskinan tidak lain adalah tidak memiliki sesuatu, dan bukan memiliki sesuatu. Dengan demikian, seorang yang miskin adalah seorang yang tidak memiliki kekayaan, bukan memiliki sesuatu yang disebut kemiskinan, dan tidak pula bisa dikatakan bahwa, karena orang kaya adalah orang yang memiliki kekayaan, maka orang miskin adalah orang yang memiliki kemiskinan. Begitu juga halnya, kematian adalah hilang­nya sesuatu, bukan memiliki sesuatu. Dengan begitu, bila tubuh yang hidup kehilangan kehidupannya dan berubah menjadi benda mati, maka tubuh tersebut akan lenyap dan bukan timbul.

Adapun mengenai angin badai, binatang-binatang buas, bakteri­bakteri, banjir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya, maka dari satu sisi ia disebut jahat karena eksistensinya menyebabkan kematian, atau cacat anggota tubuh, atau memperlemah kekuatan. Atau, karena ia menghalangi makhluk untuk mencapai kesempurnaan dan kedewasa­annya. Kalau sekiranya angin badai tidak menyebabkan kematian atau sakit, niscaya ia tidak akan disebut kejahatan; dan sekiranya hama­hama tumbuhan itu tidak merusak pepohonan dan buah-buahan, maka ia tidak akan disebut kejahatan. Begitu juga, sekiranya banjir dan gempa bumi tidak menyebabkan kematian dan hancurnya kekayaan, maka ia tidak akan termasuk kejahatan. Dengan demikian, kejahatan terkandung pada kehilangan dan'kerugian.

Ketika binatang-binatang buas kita sebut jahat, hal itu bukan discbabkan karena substansinya betul-betul jahat, melainkan karena binatang-binatang tersebut menafikan kehidupan makhluk yang lainnya. Kejahatan, pada dasarnya, adalah hilangnya kehidupan. Sekira­nya binatang buas tersebut tidak menyebabkan matinya makhluk yang lain, niscaya ia tidak akan disebut jahat. Ketika binatang buas tersebut mcnycbabkan kematian makhluk yang lain, maka binatang tersebut, hila dinisbatkan dengan makhluk lainnya, adalah jahat.

Dalam kaitannya dengan sebab-akibat, pada umumnya kehilangan­kehilangan (al-faqdanat) realitas tersebut, seperti kemiskinan dan ke­bodohan, menjadi sebab bagi persoalan-persoalan yang muncul pada , bagian kedua, seperti bakteri, banjir, gempa bumi dan peperangan.

Maksudnya, bagian yang disebut terakhir ini dipandang sebagai kejahat­an karena menjadi sumber ketiadaan.

Apabila kita mau mencegah kejahatan-kejahatan pada bagian yang disebut terkemudian itu, maka tidak boleh tidak, kita harus terlebih dahulu mencegah kejahatan-kejahatan yang disebut pada bagian yang pertama. Ketika itu, kita harus mencegah kebodohan, kelemahan, kemiskinan, sehingga kita benar-benar dapat menafikan kejahatan­kejahatan pada bagian yang berikutnya.

Demikian pula halnya dengan persoalan perbuatan-perbuatan etika dan sifat-sifat jelek. Kezaliman dikatakan jahat karena ia menyebabkanketertindasan, dan kebenaran adalah sesuatu yang berhak untuk ber­wujud sehingga ia harus diterima. Ilmu, misalnya, merupakan kesempur­naan yang bersyaratkan kesiapan manusiawi, sehingga, dengan
demikian, kebenaran tersebut dapat dimiliki. Seandainya kita menafi­kan hak belajar dari seseorang, berarti kita telah menzaliminya, karena kita menghalanginya dari mencapai kesempurnaan, di samping karena kita menghilangkan sesuatu darinya. Kezaliman adalah kejahatan, hatta untuk pelaku kezaliman itu sendiri, karena ia sendiri merusak syarat
untuk mencapai kesempurnaan. Seandainya pelaku kezaliman hanya memiliki potensi amarah (quwwah al-ghadhab), dan ia tidak memiliki potensi kehendak, maka kezaliman, dalam kaitan dengan dirinya, bukanlah kejahatan, tetapi artinya, ketika itu, kezaliman telah kehilang­an arti yang dimilikinya. Sekarang, ketika eksistensi semua kejahatan sudah jelas, yaitu sejenis ketiadaan, maka jawaban terhadap kaum dualis menjadi mudah. Kesalahan mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Ketika di alam ini (diasumsikan) ada dua wujud, sehingga alam ini harus memiliki dua sumber dan dua pencipta; maka jawabannya adalah bahwa di alam ini hanya ada satu macam wujud, yaitu kebaikan. Sedangkan kejahatan semuanya merupakan sejenis ketiadaan, dan 'ketiadaan itu bukanlah sesuatu (makhluk). Ketiadaan adalah sesuatuyang belum tercipta; bukan sesuatu yang telah tercipta. Dengan begitu, kita tidak akan bisa mengatakan bahwa alam memiliki dua pencipta: pencipta mawjudat (yang ada) dan pencipta ma`dumat (yang tiada).

Ada dan tiada dapat diumpamakan matahari dan bayang-bayang. Ketika seseorang menghadap matahari, maka bagian yang tetap jelas yang terjadi karena orang tersebut tidak terkena sinar matahari (secara penuh), selanjutnya kita sebut bayang-bayang. Kalau begitu, apa yang disebut bayang-bayang? Kecuali tidak adanya sinar, bayang-bayang ada­
lah kegelapan, dan kegelapan bukanlah sesuatu kecuali tiadanya cahaya. Ketika kita mengatakan bahwa cahaya berasal dari matahari, maka kita tidak boleh bertanya, "Dari mana datangnya bayang-bayang?" "Apa pula sumber kegelapan?" Bayang-bayang dan kegelapan tidak ber­ sumber dari sesuatu, dan keduanya tidak memiliki sumber yang berdiri
sendiri. Inilah yang dimaksud oleh para filosof ketika mereka mengata­ kan "Sesungguhnya kejahatan tidaklah tercipta langsung, melainkan tercipta secara aksidental dan sebagai suatu kelanjutan."

Kejahatan adalah Persoalan Relatif

Segala sesuatu memiliki dua sifat: sifat hakiki dan sifat nisbi (relatif). Apabila sesuatu memiliki sifat yang terjadi tanpa didahului oleh sifat yang lain, maka sifat tersebut disebut sifat hakiki. Sifat hakiki adalah sifat yang cukup untuk dijadikan sebagai sifat zat (sifat diri), dan hanya dengan sifat tersebutlah sesuatu tersebut dapat diasumsikan sebagai terdiri atas zat dan sifat saja.

Adapun sifat nisbi (relatif) adalah sifat yang tidak cukup untuk dipergunakan dalam mengasumsikan sifat dan sesuatu yang disifatinya (maushu fl tanpa mengasumsikan faktor ketiga yang berhubungan dan berkaitan dengan sifat dan maushuf tersebut. Dengan demikian, maka dalam setiap kondisi, hubungan antara sifat dengan sesuatu (maushuf) diperoleh dengan menempatkan faktor ketiga yang dikaitkan dengan cara menganalogikannya dengan sifat dan maushu f tersebut. Sifat yang seperti ini disebut dengan sifat nisbi.

Hidup, misalnya, adalah sifat hakiki, karena makhluk (yang hidup) memperoleh sifat ini (hidup) dengan dirinya sendiri, tanpa harus mengaitkannya dengan makhluk hidup atau makhluk mati lainnya. Demikian juga putih dan hitam, dengan asumsi bahwa warna-warna ter­sebut adalah realitas, sehingga ia menjadi sifat hakiki. Dengan begitu, maka sesuatu yang berwarna putih, tanpa dibandingkan dengan sesuatu yang mana pun, adalah putih, dan yang hitam adalah hitam tanpa harus diukur dengan sesuatu yang lain agar warna hitam bisa dinisbatkan kepadanya. Selanjutnya, begitu pula sesuatu-sesuatu yang lain, termasuk kuantitas dan kadar.

Sedangkan "kecil" dan "besar", keduanya merupakan sifat nisbi. Seandainya kita mengatakan bahwa benda anu itu kecil, maka pada saat itu pula kita harus memperhatikan analoginya dengan sesuatu yang lain yang lebih besar dari benda tersebut, untuk kemudian baru kita katakan bahwa ia kecil. Karenanya, segala sesuatu itu, pada satu waktu, sekali­gus bisa disebut kecil dan besar. Yang penting, kita harus terlebih dahulu mengetahui kriteria dan ukuran yang kita gunakan.

Misalnya, kita mengatakan bahwa buah apel atau buah jeruk ter­tentu itu kecil, sedangkan buah apel atau jeruk yang lain besar. Di sini kita menjadikan bentuk buah apel sebagai standar ukuran kita. Dengan demikian, buah apel atau buah jeruk yang diukur itu kita lihat bentuk­nya, apakah lebih besar atau lebih kecil dari buah apel dan jeruk yang kita ketahui? Apabila kita mengatakan, buah semangka ini kecil; maka itu berarti bahwa yang kita jadikan standar adalah buah semangka itu sendiri. Buah semangka paling kecil yang pernah kita lihat, sebenarnya Irhih besar dari buah apel yang paling besar. Tetapi, ketika semangka tersebut kita bandingkan dengan semangka lain dan tidak dengan apel,maka kita sebut semangka tersebut kecil.

No comments: