Monday, June 11, 2007

kritik skeptisisme (bahan kuliah / epistemologi)

ok

BUKU
DARAS FILSAFAT ISLAM

KEMUNGKINAN PENGETAHUAN :

Semua orang berakal percaya bahwa dia (telah atau dapat) mengetahui sesuatu, dan bahwa dia bisa mengetahui hal-hal lain. Karenanya, dia berupaya untuk mendapat informasi menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan hidupnya. Dan tanda terbaik dari berlang­sungnya upaya itu ialah munculnya berbagai bidang ilmu dan filsafat. Dengan demikian, orang yang tak termakan oleh keragu-raguan mustahil dapat menyangkal atau membimbangkan kemungkinan dan keaktualan ilmu pengetahuan. Hal yang terbuka untuk dikaji dan layak diperselisihkan ialah menyangkut identifikasi medan pengetahuan, penentuan sarana-sarana mencapai pengetahuan-pasti (al-'ilm al-yaqini), metode untuk membedakan pemikiran yang benar dan yang sesat, serta hal-hal semacamnya.

Sebagaimana telah kita singgung dalam pelbagai bahasan sebelumnya, gelombang besar skeptisisme berkali-kali menghantam Eropa, sampai para pemikir besar pun ikut tertelan ke dalamnya. Sejarah filsafat menyaksikan berbagai mazhab pemikiran yang sama sekali mengingkari (kemungkinan) pengetahuan, seperti sofisme, skeptisisme, dan agnostisisme. Orang yang secara mutlak menging-kari pengetahuan (jika memang ada) bisa dikata sedang menderita was-was mental yang akut, suatu keadaan yang sebetulnya menimpa banyak orang dalam soal lain. Dan keadaan ini harus kita anggap sebagai sejenis penyakit jiwa. Walhasil, tanpa harus melakukan pelacakan sejarah mengenai keberadaan orang-orang ini, motivasi yang mendorong mereka atau benar tidaknya mereka meyakini anggapan itu, kita tetap bisa menjadikannya sebagai pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan yang mesti dijawab sesuai dengan pembahasan filsafat, sembari meninggal­kan soal fakta sejarah kepada para ahlinya.

TINJAUAN ATAS KLAIM-KLAIM PARA SKEPTIS

Penyataan-pernyataan para sofis dan skeptis, dilihat dari satu sisi, bisa kita bagi menjadi dua: bagian yang berhubungan dengan wujud dan eksistensi, dan bagian yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan. Sebagai contoh, Georgias, tokoh sofis paling ekstrem, konon pernah me­nyatakan, "Tiada yang mewujud. Kalaupun ada maujud, ia tidak bisa diketahui. Dan kalaupun bisa diketahui, ia tidak bisa dikomunikasikan." Frase pertama dalam pernyataan ini berkaitan dengan wujud, sesuatu yang akan kita perbincangkan dalam Bagian Ontologi, sedangkan bagian kedua relevan dengan diskusi kita tentang epistemologi. .

Mula-mula, hal berikut ini mesti kita kemukakan: semua yang me­ragukan segala sesuatu tidak akan dapat meragukan keberadaan diri mereka, keberadaan keraguan mereka, maupun keberadaan pelbagai ke­mampuan presuppose, seperti kemampuan melihat, mendengar, keberadaan bentuk-bentuk mental (mental forms), dan keadaan-keadaan jiwa mereka. apabila ada sedikit keraguan menyangkut hal-hal tersebut, bisa dipastikan bahwa peragu itu sakit dan karenanya perlu segera disembuhkan-atau berbohong dan berniat buruk dan karenanya perlu diingatkan dan ditegur. Demikian pula, seorang yang berbicara atau menulis buku tidak mungkin meragukan keberadaan lawan bicara atau kertas dan pena yang dipakainya untuk menulis. Paling banter dia bisa mengatakan bahwa dia mempersepsi semua hal itu secara batin, tetapi meragukan keberadaannya secara lahiriah. Begitulah tampaknya yang hendak dinyatakan oleh Berkeley dan beberapa idealis lainnya saat mereka menerima semua objek persepsi sebagai bentuk-bentuk yang hadir dalam benak belaka dan menolak keberadaannya secara lahiriah. Kendatipun begitu, mereka tidak sanggup membantah keberadaan orang-orang lain yang juga mempunyai benak dan persepsi. Pandangan terakhir ini tentunya bukanlah merupakan suatu penolakan mutlak atas keberadaan dan pengetahuan, melainkan penolakan atas keberadaan benda-benda material dan keraguan atas sebagian objek pengetahuan.

Sekarang, bila seorang mengklaim bahwa pengetahuan-pasti mustahil tercapai, pertanyaan yang perlu kita ajukan kepadanya ialah apakah dia men tahui klaimnya itu_secara_pasti atau dia_ juga meragukannya. Jika dia menjawab bahwa d_ia mengetahui kemustahilan pengetahuan-pasti secara pasti, setidaknya satu pengetahuan-pasti telah diperoleh-seperti yang ia uinya-dan dengan demikian klaimnya mengenai kemustahilan pengetahuan-pasti dia langgar sendiri. Sebaliknya, jika dia tidak mengetahui secara pasti tentang kemustahilan pengetahuan-pasti, setidaknya dia telah mengakui kemurigkinan adanya pengetahuan-pasti. Dan dengan demikian, klaimnya tentang kemustahilan pengetahuan-pasti telah, dari sisi lain, dikelirukannya sendiri. Akan_tetapi, jika seorang berkata bahwa dia me­raguk_an_kemungkinan pengetahuan-pasti dan klaim-klaim tentang pengetahua_n-pasti, kita perlu menanyakannya apakah dia telah mengetahui dengan pasti bahwa dia punya keraguan semacam itu atau,tidak. jika dia menjawab bahwa dia mengetahui secara pasti adanya keraguan tersebut, itu berarti bahwa dia tidak hanya telah mengakui kemungkinan penge­tahuan-pasti, tetapi juga mengakui keaktualan pengetahuan-pasti itu (dalam dirinya). Akan tetapi, jika dia menyatakan bahwa dia meragukan apakah dia benar-benar punya keraguan atas keberadaan pengetahuan­pasti (yang terdapat dalam dirinya), jawaban seperti ini tidak bisa tidak diakibatkan oleh suatu penyakit atau niat buruk yang memerlukan tanggapan non-teoretis.

sebagai tanggapan untuk kalangan yang membela relativitas semua prngctahuan, y;tkni kalangan yang mengklaim ketiadaan proposisi yang benar secara mutlak universal, dan abadikitakita perlu bertanya apakah klaim relativitas semua pengetahuan itu sendiri benar secara mutlak, universal dan abadi atau klaim itu cuma benar secara relatif, partikular, dan temporer. Apabila klaim relativitas itu dianggap senantiasa benar dalam semua kasus tanpa syarat dan penyifatan (qualification), gugurlah relativitas pada semua pengetahuan, lantaran satu proposisi telah terbukti benar secara mutlak, universal, dan abadi-yakni proposisi relativitas semua pengetahuan. Jika proposisi relativitas semua pengetahuan ini pun bersifat relatif, itu berarti bahwa pada kasus-kasus tertentu relativitas tidak berlaku. Dan pada kasus­kasus yang tidak menerima relativitas, terdapat proposisi-proposisi yang benar secara mutlak, universal, dan abadi.

PENOLAKAN ATAS KERAGUAN KAUM SKEPTIS


Salah satu keraguan andalan kaum sofis dan skeptis yang mereka ungkapkan dalam berbagai format dan mereka sodorkan dalam berbagai contoh ialah keraguan berikut: terkadang seseorang memperoleh kepastian tentang keberadaan sesuatu dengan pancaindra, tetapi sebentar kemudian dia menyadari bahwa kekeliruan telah terjadi. Orang ini lalu mengetahui bahwa persepsi indriawi tidak selalu bisa dipercaya. Seterusnya, timbul kemungkinan bahwa semua persepsi indriawi lain pun bisa salah, hingga suatu ketika dia melihat kekeliruan terjadi secara nyata. Begitu pula ada­kalanya seorang menemukan satu prinsip bersifat pasti secara rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa penalarannya rancu, lantas kepastiannya beralih menjadi keraguan. Akibatnya, dia mengetahui bahwa penalaran intelektual pun tidak selalu dapat diandalkan. Dengan cara yang sama, timbul kementakan (probability) akan penularan kerancuan pada pelbagai persepsi intelektual lainnya. Kesimpulannya, pengindraan dan penalaran sama-sama tidak dapat dipercaya sehingga tinggalah keraguan yang tersisa dalam dirinya.

Berikut adalah tanggapan-tanggapan atas argumen di atas:

I . Tujuan argumen di atas ialah untuk menegaskan kesahihan skeptisisme dan pengetahuan tentang kebenarannya melalui suatu penalaran. Se­tidak-tidaknya, argumen itu dirancang untuk membuat lawan diskusi menerima pokok soal yang diajukan, supaya dia mendapatkan penge­tahuan tentang kesahihan klaim-klaim para skeptis. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bilamana para skeptis berpendapat bahwa memperoleh pengetahuan mutlak tidak mungkin?

2. Temuan mengenai kekeliruan persepsi indriawi dan intelektual berakibat pada pengetahuan bahwa persepsi-persepsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Dan hal itu meniscayakan penerimaan pada keberadaan pengetahuan tentang kekeliruan persepsi.

3. Implikasi lain dari temuan itu ialah pengetahuan akan adanya kenyataan yang-dalam kasus ini-tidak sesuai dengan persepsi yang keliru tersebut. Jika tidak demikian, gagasan mengenai kekeliruan persepsi tidak akan pernah ada.

4. Implikasi lainnya ialah pengetahuan kita bahwa persepsi yang keliru dan bentuk mentalnya bertentangan dengan keadaan sesungguhnya (actuality).

5. Dan terakhir, keberadaan orang yang mempersepsi secara keliru, demikian pula indra dan akalnya, mestilah diterima secara mutlak.

6. Penalaran di atas itu sendiri pada dasarnya bersifat rasional (mekipun sangat rancu dan menyesatkan). Mengandalkannya dalam kaitan ini berarti menganggap akal dan hasil-hasil persepsinya sebagai bisa dipercaya.

7. Lebih dari itu, satu pengetahuan lain telah diasumsikan di sini, yaitu pengetahuan bahwa persepsi-persepsi yang keliru (mistaken perceptions), karena keliru, tidaklah mungkin benar (true). Jadi, argumen para skeptis itu sendiri sebenarnya mengimplikasikan penerimaan pada sejumlah contoh pengetahuan-pasti. Lalu, bagaimana mungkin orang bisa secara mutlak menolak kemungkinan pengetahuan atau meragukannya?

Semua jawaban di atas telah mematahkan argumen para skeptis. Dalam menganalisis dan menonjolkan kerancuannya, kita berhasil membuktikan kesahihan dan kekeliruan persepsi indriawi dengan bantuan penalaran. Sebagaimana telah disebutkan, adalah salah jika kita menduga bahwa temuan mengenai adanya kekeliruan dalam sejumlah persepsi intelektual dapat menular pada semua persepsi intelektual lainnya, lantaran keke­liruan seperti itu hanya mungkin terjadi pada persepsi-persepsi spekulatif atau selain yang swabukti. Sebaliknya, proposisi-proposisi swabukti yang menjadi landasan pembuktian filosofis sama sekali tidak mungkin keliru. Penjelasan tentang keterjagaan proposisi-proposisi ini dari kekeliruan akan kita beberkan pada Pelajaran 19.

No comments: