Monday, June 25, 2007

Mulla Shadra, Hermeneutika dan Memahami Teks Suci

Mulla Shadra, Hermeneutika dan Memahami Teks Suci

[ISLAT NEWS]

Buku “Mulla Shadra, Hermeneutik wa Fahme Kalome Elahi” (Mulla Shadra. Hermeneutika dan Memahami Teks Suci) bakal dicetak oleh penerbit Bunyode Hekmate Eslomi Sadhra. Buku ini ditulis oleh Ayatullah Sayyid Muhammad Khamane’i dalam 104 halaman.

Penulis buku ini berusaha menjelaskan masalah hermeneutik dan usaha memahami teks suci lewat pemikiran Mulla Shadra. Sayyid Muhammad Khamane’i menunjukkan bahwa masalah memahami kitab suci dikaji secara mendalam dan terperinci dalam filsafat hikmah muta’aliyah dan irfan. Buku ini terdiri dari pembukaan dan dua bab. Prinsip-prinsip tafsir dan hermeneutika qurani menurut Mulla Shadra dibahas pada bab pertama. Sementara pada bab kedua berbicara tentang memahami kitab suci dalam pandangan Mulla Shadra.[]


-------------------------------------------------------------------------------------------

Telah terbit buku “Ofoqe Hekmate Suhrawardi”

Penerbit MehrNiusha telah menerbitkan buku Ofoqe Hekmate Suhrawardi (U*censored* filsafat Suhrawardi), yang ditulis oleh Hasan Sayyid Arab. Pikiran-pikiran Suhrawardi dalam bidang filsafat dan budaya punya tempat tersendiri dalam khazanah filsafat Islam. Dalam filsafat ia dianggap sebagai bapak filsafat Isyraq.

Pada bidang budaya, Suharawardi punya renungan-renungan yang tajam berkenaan dengan peninggalan kuno pemikiran Iran dan Yunani. Hal inilah yang membedakannya dengan para filosof Islam lainnya. Dua sisi pemikiran Suhrawardi ini perlu dikaji karena keduanya saling melengkapi lainnya. Dan buku ini berusaha menjelaskan dan menekankan masalah ini.[]

Sumber: www.bashgah.net

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Masa kanak-kanak dan remaja Imam Khomeini juga telah ditulis

Buku “Satre Awwal” berisikan sejarah dan analisa kehidupan Imam Khomeini dimulai dari masa kanak-kanak hingga remaja. Analisa yang dibawakan berkenaan dengan lingkungan dan sejarah yang membentuk kepribadian Imam Khomeini.

Menurut berita Mehr, Muhammad Jawod Murod Niyo, seorang sejarawan kontemporer Iran, dengan berdasarkan pada data-data sejarah yang akurat menjelaskan silsilah dari orang tua Imam Khomeini, sekaligus menganalisa sebab yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian Imam Khomeini.

Buku ini juga dengan baik menjelaskan pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang hidup sampai Imam Khomeini memasuki umur dua puluh tahun yang belum diungkap oleh penulis lain. Begitu juta, bagian-bagian dari sejarah Iran setelah revolusi konstitusi dapat dibaca dalam buku ini.

Buku ini adalah hasil penelitian selama delapan tahun dari penulis. Buku ini bakal diterbitkan oleh Muasseseh Tanzhim wa nasyr Sore Emam Khomeini setebal 600 halaman. Kelebihan buku ini adalah penulis menggunakan data-data dari tangan pertama.[]

Sumber: www.baztab.com

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Filsafat Analitik dan Usul Fikih

Penyusunan kumpulan masalah-masalah filsafat analitik dan usul fikih telah diprakarsai oleh Academy of Islami Sciences and Culture (Pezhuhesygohe Ulum wa Farhangge Eslomi) yang berafiliasi ke The Center of Publication of the office of Islami Propagation of the Islami Seminary of Qum atau yang lebih dikenal dengan nama Daftar Tablighat. Para peneliti filsafat dari fakultas filsafat dan teologi mengambil bagian dari proyek besar ini. Proyek ini telah dimulai sekitar empat tahun yang lalu dan diperkirakan tiga tahun ke depan akan selesai. Sebagai pimpinan proyek dipercayakan kepada Hujjatul Islam wal Muslimin Muhammad Ali Abdullahi. Beliau membawahi delapan orang peneliti filsafat analitik, ilmu-ilmu bahasa dan usul fikih.

Salah satu sebab mengapa diadakan proyek penelitian semacam ini adalah penyebaran cepat dari filsafat analitik itu sendiri di Barat. Dan dapat dikatakan bahwa di abad ke dua puluh ini perkembangannya masuk mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial politik masyarakat. Dan di sisi lain, salah satu tradisi intelektual yang kaya pada Syi’ah adalah usul fikih. Terutama kajian lafad pada usul fikih. Dalam proses penyimpulan hukum syariat ada serentetan kajian yang paling berpengaruh seperti memahami argumentasi teks kitab suci secara khusus dan teks apa saja secara umum. Melakukan studi banding dengan menyandingkan keduanya dalam sebuah kajian akan sangat memberikan dampak positif buat keduanya.

Berdasarkan gambaran di atas, tujuan penting pengadaan proyek ini adalah memperkenalkan secara benar dan teliti kajian filsafat analitik dan kajian bahasa pada usul fikih kepada para ilmuwan dan peneliti, menyiapkan lahan untuk kajian lebih lanjut masalah bahasa dari dua disiplin di atas, membina peneliti di kedua bidang di atas dan akhirnya menciptakan semangat untuk melakukan studi banding dan kritis terhadap keduanya.

Proyek ini memiliki dua tahapan kerja; Pertama, memperkenankan dan menjelaskan filsafat analitk dan usul fikih dan kedua, memperbandingkan keduanya. Pada tahapan awal masih sekitar kajian umum dan bingkai kedua ilmu ini. Dan untuk itu, buku yang mampu menjelaskan secara umum dan lengkap mengenai kedua ilmu ini ditulis dan diterjemahkan. Untuk ilmu usul fikih telah dimulai dengan mengkhususkan dua nomor dari jurnal Naqd Va Nazar (A Journal of Philosophy & Theology) Vol. 10, 1-2 dengan judul Ilmu Usul dan Ilmu-Ilmu Bahasa 1 (Elme Usul Wa Donesyhoye Zaboni 1). Sementara untuk tahapan kedua mengkaji beberapa masalah penting dalam kedua ilmu yang ditulis dalam bentuk makalah maupun buku. Buku filsafat analitik yang telah berhasil diterjemahkan adalah SPEECH ACTS: An Essay in the Philosophy of Language milik Jauh R. Searle yang diterjemahkan ke dalam bahasa Persi dengan judul Af’ole Guftori: Justori dar Falsafeye Zabon. Begitu juga jurnal Naqd Va Nazar tentang Ilmu Usul dan Ilmu-Ilmu Bahasa bagian kedua telah siap cetak. Pada tahapan kedua ini juga memiliki dua rangkaian kerja. Pertama, perbandingan antara kajian kedua ilmu ini dan kedua, mengkritisi keduanya. Memperbandingkan kedua kajian ilmu ini dilakukan dengan melihat sisi-sisi perbedaan dan kesamaan keduanya. Dan untuk itu, telah disusun buku yang berjudul “Af’ole Guftori dar Falsafeye Tahlili Va Elme Usul” (Speech Acts menurut filsafat analitik dan ilmu usul). Buku ini ditulis oleh Muhammad Ali Abdullahi. Pada tahapan kedua, akan dilakukan studi kritis mengenai keduanya dalam permasalahan yang ada lalu akan ditunjukkan kelebihan dan kekurangan keduanya. Dan tahapan kedua ini juga telah dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar yang diisi oleh Musthafa Malikion dan Shadegh Larijani. Dan dari hasil seminar-seminar ini akan dibukukan dengan judul “Nesyastho va Gufteguhoye Falsafeye Tahlili va Elme Usul” (Seminar dan Dialog antara Filsafat Analitik dan Ilmu Usul). Dalam waktu dekat ini juga akan diterbitkan buku berjudul “Eqterohiye-ye Falsafeye Tahlili va Elme Usul” (Usulan Filsafat Analitik dan Ilmu Usul Fikih). [S Lapadi]

Sumber: www.isca.ac.ir

Tuesday, June 12, 2007

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam Filsafat Paripatetik

Sumber: roonamaee.com

Oleh:Ghulam Hossein Ebrahim Dinani

Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.

Buku pemenang pertama festival tahunan buku Iran yang ke 24, tahun ini (1385, 2007), dalam kategori filsafat Islam.

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat Islam dimulai secara resmi di abad ke dua dan tiga Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya, sekalipun kajian teologi cukup digandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filosof muslim pertama adalah Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H).

Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Syaikh Maqtul Suhrawardi. Abu Ali Sina adalah salah satu filosof lain yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik ini. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafat. Ia juga berhasil mendidik muridnya Bahmaniyar menjadi salah satu pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.

Masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor ini membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan arif menjadi tertantang. Para arif, yang menganggap argumentasi falsafi bak tongkat kayu yang rapuh, mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengatakan bahwa jalan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal al-Haq adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Filsafat hanya akan membuat orang jauh dari jalan yang sebenarnya.

Di sisi lain, para teolog juga tidak dapat menerima filsafat. Mereka berpendapat bahwa apa yang diungkapkan oleh para filosof muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat. Salah satu ahli teolog besar yang menetang keras filsafat adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf menyebutkan bahwa dalam 20 pendapat Ibnu Sina bertentangan dengan Islam dan dalam tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang dianggap kafir oleh Ghazali adalah:

1. Keyakinan akan qidamnya alam.
2. Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik.
3. Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.

Setelah Ghazali, pemikir yang paling menentang filsafat adalah Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani membuat agama menjadi kering. Penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat filsafat Islam mengalami kemunduran.

Sejarawan Barat dan mereka yang memandang filsafat Islam dengan kaca mata Barat, menganggap bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah di kawasan itu. Sekalipun anggapan ini tidak benar sepenuhnya, namun dapat menunjukkan semangat penentangan terhadap filsafat. Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para arif dan teolog membuat tidak ada lagi filosof yang muncul dari kawasan timur dunia Islam.

Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur, muncul beberapa filosof di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Ibnu Bajah mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari kebenaran. Kebalikan dari cara pandang urafa, Ibnu Bajah menganggap satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang bodoh.

Setelah Ibnu Bajah, muncul Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya Hayyu bin Yaqzhan. Kisah itu membuatnya terkenal. Dalam cerita falsafinya itu ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan akalnya dapat mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan wahyu dan Nabi. Cerita ini sangat mendapat perhatian Barat, sehingga mereka menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Semua peneliti mengetahui bahwa Daniel Defoe yang menciptakan tokoh Robinson Crusoe benar-benar dipengaruhi oleh ide Ibnu Thufail.

Sebegitu terkenalnya kedua pemikir ini, masih di bawah bayang-bayang Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd lebih kuat dari keduanya. Ibnu rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku "Tahafut at-Tahafut" untuk menjawab tulisan Ghazali "Tahafut al-Falasifah". Dalam membela pemikiran filsafat, ia sampai pada kesimpulan bahwa hanya filosof saja yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Ghazali terhadap filsafat muncul karena Ibnu Sina tidak mampu menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskannya. Dengan itu, sebenarnya, bukan saja Ibnu Rusyd melakukan menjawab kritikan Ghazali tapi sekaligus mengkritik ibnu Sina.

Perbedaan ibnu Rusyd dengan farabi dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Ia menulis syarah buku-buku Aristoteles yang sampai saat ini masih dikaji oleh pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Begitulah William David Rush peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya masih mempergunakan penjelasan Ibnu Rusyd. Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles pemikirannya banyak di kaji di Barat. Ernest Renan menganggapnya orang yang bebas. Sebelum menetapkan sebuah istilah ia adalah seorang yang bebas dalam berpikir. Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat dapat juga dilacak lewat tulisan-tulisan pemikir Barat pada abad pertengahan yang menimbulkan semakin luasnya ide Rasionalisme di Barat. Ironisnya, pengaruhnya di Barat tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam. Pengaruh tasawwuf yang cukup kuat membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd tidak dikenal orang di sana.

Denga penjelasan yang lebih detil, pada periode ini perjalanan filsafat Islami ada ketaktertautan yang menganga. Di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin dan di sisi lain, dengan meninggalnya ibnu Rusyd Barat menganggap filsafat islam telah tutup mata dan musnah. Akhirnya, filosof seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad dan Mulla Shadra tidak dikenal.

Buku "Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik" (Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha), merupakan buku dalam bahasa Parsi yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat Ibnu Rusyd. Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun mengajar dan menulis berusaha untuk memperkenalkan kecemerlangan pemikiran Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam. Ia menyebutkan:

"Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia. Di antara filosof Iran ia tidak begitu dikenal. Bukan omong kosong bila ada yang mengatakan bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya ibnu Rusyd, belum ada buku berbahasa Parsi yang ditulis menjelaskan pemikirannya. Inilah yang mendorong penulis untuk menulis buku ini. Penulis berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai buku pertama bahasa Parsi yang ditulis dalam rangka mengkaji secara terperinci pemikiran Ibnu Rusyd."

Kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik dimulai dengan kata pengantar yang cukup panjang. Karena di sana, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Di akhir kata pengantar ini, Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filosof yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.

Dinani menganggap bahwa Kebanyakan filosof muslim, terutama Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan ini, kedua filosof ini tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Pikiran filsafat mereka dipengaruhi Plato, Neo Platonisme dan pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar inilah, Ibnu Rusyd menganggap ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles. Ebrahimi Dinani meyakini kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan ibnu Sina, melainkan untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan ibnu Sina. Dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina dapat diketahui bahwa ia benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.

Bab pertama buku ini "Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan". Dalam bab ini, Dinani membeberkan juga bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta.

Karya ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin pada abad tiga belas. Bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-universitas Eropa. St. Aquinas pemikir paling terkenal di abad pertengahan yang dipengaruhi oleh ide-ide ibnu Rusyd. Di kalangan Yahudi yang terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat dan akal Aristoteles.

Bab kedua "Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu". Bab kedua ini membicarakan tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. "Hakikat ganda" atau "hakikat muzdawij" merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat ini sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Yang dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah "Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh para filosof". Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik Rusyd, penulis kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling menarik dalam bab ini adalah usaha penulis untuk menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab ini, Dinani menukil ibarat Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; batin dan lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.

Bab ketiga "Musuh para teolog telah menggantikan mereka". Pada bab ini, dapat ditemukan kajian Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Ghazali. Di sini, penulis membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu, penulis kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Dinani meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog mencakup dirinya juga. Mengapa demikian? Dinani melihat bahwa Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog.

Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawa pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu.

Bab kelima "Tahafut at-Tahafut Ibnu Ruysd kritikan terhadap Ghazali ataukah kepada Ibnu Sina?". Bab ini menganalisa dua buku masyhur Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, penulis membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab ini sangat menarik, karena penulis secara terperinci dan luas mengkaji kehidupan dan aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Informasi ini sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini tidak diperhatikan. Dan denganmembaca buku ini, semua itu dapat teraba dengan baik.

Bab keenam masih merupakan kelanjuta bahasan sebelumnya. Bab ini merupakan bagian paling sensasional. Karena membahas perbedaan antara Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina. Perbedaan mendasar pada masalah paling prinsip "hubungan antara mahiyah dan wujud". Penulis meyakini akan pentingnya masalah ini. Oleh karenanya, dengan sabar ia membahas masalah ini sejelas mungkin. Di akhir bab ini, penulis membawakan pandangan Ibnu Rusyd sambil juga membawakan pandangan pemikir-pemikir Islam dan kemudian menganalisanya.

Bab ketujuh "Ibnu Rusyd dan usaha menetapkan keberadaan Allah dengan dua dalil; Inayah dan Ikhtira'". Cara menetapkan keberadaan Allah lewat argumentasi imkan dan wujub tidak diterima oleh Ibnu Rusyd. Untuk itu, ia menawarkan argumentasi lain. Pertama, argumentasi Inayah yang berlandaskan kesiapan dunia untuk manusia dan tersedianya segala sesuatu untuk mannusia di dunia. Kedua, argumentasi Ikhtira', di mana manusia adalah mukhtara' (yang dibuat/dicipatakan) perlu akan mukhtari' (pencipta). Dalam bab ini, Dinani menganalisa pendapat ibnu Rusyd dengan membandingkannya dengan pendapat para filosof lainnya.

Bab kedelapan penulis membahas pengertian "Ghair Mutanahi bil Fi'l". Apakah pengertian ini kontradiksi atau tidak, dikaji secara terperinci. Pengertian istilah ini merupakan kajian yang dibahas baik dalam filsafat Yunani dan Islam. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan teori fisika dan meta fisika. Di sini, Dinani membahasnya dari sudut pandang Ibnu Rusyd dan pemikir lainnya.

Bab kesembilan membahas tentang "Kulli Tabi'i". Pertanyaan penting dalam masalah ini adalah, "apakah kulli tabi'i ada secara faktual?" Masalah wujud kulli merupakan kajian paling penting dalam sejarah filsafat. Dinani, membawakan pandangan para filosof Paripatetik, khususnya Ibnu Rusyd, sekaligus bentuk penafsiran-penafsirannya atas masalah ini.

Bab kesepuluh "Ibnu Rusyd beribicara tentang Maqashid Syariah". Filosof paling pertama yang berbicara tentang masalah ini adalah Ibnu Rusyd. Ia menolak cara pandang Mu'tazilah dan Asya'irah dan membawakan pandangannya dalam masalah ini. Menurutnya, mengetahui maqashid syariah sangat membantu seorang teolog dan faqih.

Bab sebelas "Tanpa akal fa'al tidak ada yang dapat berpikir". Posisi Ibnu Rusyd dalam masalah akal dijelaskan panjang lebar. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan pengetahuan mulai dari akal hayulani hingga akal fa'al. Dijelaskan juga mengenai kekhususan setiap tahapan dan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Akal fa'al bagi para pensyarah Aristoteles merupakan bahasan yang penting, namun senantiasa buram dan ambigu. Itulah yang membuat Ibnu Rusyd membahas masalah ini juga. Di akhirnya dijelaskan pandangan Ibnu Rusyd tentang akal fa'al.

Bab kedua belas membahas kekhususan metode Ibnu Rusyd dalam tafsirannya terhadap filsafat Aristoteles. Bab ini masih merupakan kelanjutan kajian epistemologi filosof Andalusia ini dan hubungannya dengan disiplin lain seperti teologi.

Bab terakhir "Menurut Ibnu Rusyd, argumentasi rasional merupakan masalah batin". Pertemuan Ibnu Rusyd dengan Ibnu Arabi dan apa saja yang terjadi dengan keduanya dijelaskan di sini. Dari sini, penulis menuliskan kesamaan dan perbedaan antara dua pemikir besar ini. Yang satunya adalah tokoh Paripatetik dan satunya lagi tokoh tasawwuf. Selain itu, penulis juga membahas pikiran-pikiran lain Ibnu Rusyd.

Pentingnya buku ini karena ditulis oleh filosof tentang seorang filosof yang tidak begitu dikenal. Padahal, Ibnu Rusyd merupakan filosof penting Islam. Buku ini tidak hanya sekedar sejarah. Namun, sebagaimana tulisan lain profesor Dinani "Ma Jara-ye Fekre Falsafi Dar Jahan-e Eslam", buku ini dipenuhi dengan analisa mendalam dan menarik petualangan akal dalam pemikiran dan hati kaum muslimin. Mungkin itulah yang mendasari penulis untuk tidak memberikan sebuah tempat khusus untuk menuliskan sejarah hidup Ibnu Rusyd secara lengkap. Namun, di sela-sela pembahasannya setiap kali perlu menjelaskan kehidupan Ibnu Rusyd itu dilakukannya.

Penjelasan global seperti ini tidak dapat menjelaskan substansi buku ini. Sudah pasti bahwa tidak ada model pengetahuan apapun yang dapat menggantikan membaca. Bagi yang ingin membaca buku ini disyaratkan sedikit banyak telah mengetahui tentang filsafat Islam dan sejarahnya.

Buku ini dapat menjadi jembatan untuk lebih mengenal siapa Ibnu Rusyd, sekaligus menghidupkan kembali sisi-sisi yang selama ini tersembunyi dari filsafat dan budaya Islam. Kecemerlangan filsafat Islam membutuhkan karya-karya seperti ini.

Tentang Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani

Doktor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani lahir pada tahun 1313 HS atau kira-kira 72 tahun lalu di desa Dinan bagian dari propinsi Isfahan. Di tempat kelahirannya ia menyelesaikan SD nya. Pada waktu itu, keinginannya keras sekali untuk belajar agama. Ini mengantarkannya belajar fiqih, usul fiqih, nahwu, saraf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia belajar pada Syaikh Muhammad Ali Habib Abadi dan Syaikh Abbas Ali Habib Abadi.

Beliau pada tahun pertama dari dekade 1330, 55 tahun lalu, pergi ke Qom. Di sana, secara serius ia melanjutkan pendidikannya. Di Qom, ia belajar Syarah Lum'ah, Rasail, Makasib. Begitu juga ia mengikuti bahts kharijnya di sana. Ia belajar pada Syaikh Abdul Javad Sedehi, Sulthani Thaba'taba'i, Mujahidi, Imam Khomeini, Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah Boroujerdi dan lain-lain. Pada saat yang sama, ia juga belajar Asfar Mulla Shadra dan Syifa Ibnu Sina kepada Allamah Thaba'thaba'i. Daya tarik pelajaran Allamah membuat profesor Dinani mengikuti kelas khususnya. Dan dengan izin dari Allamah ia mengikutinya.

Pada tahun 1340, 40 tahun lalu, ia berhijrah menuju Teheran. Ia mengikuti ujian dan berhasil mengikuti kuliah di fakultas ushuluddin universitas Teheran. Di fakultas ini, ia bertemu dengan pemikir-pemikir seperti doktor Javad Muslih, Malekshahi dan Rashid memberikan mata kuliah. Pada masa-masa itu, ia diterima oleh kementrian pendidikan sebagai pegawai negeri.

Pada tahun 1350, berdasarkan usulan Syahid Murtadha Muthahhari ia mengikuti ujian untuk menjadi asisten dosen di universitas Ferdousi Mashad. Ia di dua bidang; sejarah agama dan filsafat meraih urutan pertama. Ia kemudian memilih untuk lebih banyak aktif di bagian filsafat. Pada saat yang sama ia menyelesaikan program doktornya di Teheran. Akhirnya beliau secara resmi di terima di bagian filsafat universitas Ferdousi Mashad.

Doktor Dinani pada tahun 1361 dipindahkan ke Teheran masih dalam kelompok yang sama, filsafat. Semenjak itu, ia menjadi anggota tim studi filsafat universitas Teheran. Selain di bidang filsafat punya pandangan-pandangan khusus, ia juga seorang pemikir dalam bidang irfan dan fiqih. Dan dalam dua bidang ini, ia mempunyai banyak tulisan.[Saleh L]

Monday, June 11, 2007

tujuan berfilsafat (bahan kuliah)

ok

TUJUAN FILSAFAT

Tujuan pendek dan langsung segenap ilmu ialah menyadarkan manusia akan pelbagai masalah yang terungkap dalam ilmu tersebut, dan memuaskan dahaga kodratinya untuk memahami kebenaran. Pasalnya, salah satu naluri paling dasar manusia adalah naluri mencari kebenaran atau keingintahuan yang tak berhingga dan tak terpuaskan. Pemuasan nisbi atas naluri ini akan memenuhi salah satu kebutuhan jiwa. Walaupun tidak semua individu mempunyai naluri ini dalam tingkat yang sangat aktif dan penuh gelora, ia tidak pernah sepenuhnya lenyap dan hilang.

Pada galibnya, setiap ilmu mempunyai pelbagai manfaat dan dampak tidak langsung dan berperantara atas kehidupan material dan spiritual manusia. Umpamanya, ilmu-ilmu alam memudahkan pemanfaatan alam dengan lebih besar dan meningkatkan kesejahteraan jasmani manusia, dan ia tersambung pada kehidupan alarm dan hewani manusia dengan satu perantara. Matematika memiliki dua perantara untuk mencapai tujuan­tujuan seperti di atas, kendatipun dengan cara lain ia bisa memengaruhi kehidupan spiritual dan dimensi maknawi manusia. Yaitu, saat matematika berkelindan dengan soal-soal filsafat, ketuhanan, dan penghayatan gnostis (`irfaniyyah) hati, dan saat ia membeberkan gejala-gejala alam sebagai imbas keteraturan, keagungan, kebijaksanaan, dan kasih-sayang Ilahi.

Hubungan dimensi-dimensi spiritual dan maknawi manusia dengan ilmu-ilmu kefilsafatan lebih dekat ketimbang hubungannya dengan ilmu­ilmu alam. Bahkan, ilmu-ilmu alam berhubungan dengan dimensi maknawi manusia melalui perantaraan ilmu-ilmu kefilsafatan. Hubungan tersebut paling tampak dalam teologi, psikologi filosofis, dan etika. Demikian itu karena filsafat ketuhanan (teologi) memperkenalkan kita kepada Tuhan, Sang Mahabesar, sifat-sifat keindahan dan keagungan-Nya dan mem­persiapan kita untuk berhubungan dengan sumber pengetahuan, kekuasaan, dan keindahan yang tak berhingga. Psikologi filosofis memudahkan kita untuk mengetahui ruh beserta sifat-sifat dan ciri-cirinya dan menggugah kesadaran kita terhadap esensi (jauhar) kemanusiaan. la memperluas cakrawala pandang kita terhadap hakikat diri kita, mengajak kita untuk melampaui alam fisik dan sekat-sekat ruang serta waktu. Juga, memahami kita bahwa hidup manusia tidaklah terbatas dan terkungkung pada kerangka kehidupan duniawi dan material yang sempit dan gelap. Etika dan akhlak menjabarkan pola-pola menyucikan dan menghiasi kalbu serta menggapai kebahagiaan abadi dan kesempurnaan puncak.

Dalam rangka memperoleh semua pengetahuan tak terkira itu, sejumlah masalah dalam epistemologi dan ontologi mestilah dipecahkan trrlebih dahulu. Oleh karena itu, filsafat pertama adalah kunci untuk membuka perbendAharaan tak terkira dan tak tertandingi yang menjajakan kcbahagian dan keuntungan abadi tersebut. Itulah akar yang diberkahi dari "pohon yang baik". Setiap saat ia membuahkan beraneka kebajikan spiritual dan intelektual serta kesempurnaan spiritual dan Ilahi yang tak ada habis-habisnya.a Dengan demikian, ia berperan sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi kesempurnaan dan kekemuncakan manusia.

Selain itu, filsafat juga membantu manusia menghalau was-was setan din menampik gelenyar materialisme dan ateisme; menjaganya dari pe­nyimpangan berpikir dan macam-macam jerat yang menjatuhkan; melin­dunginya dengan Senjata pamungkas di arena adu gagasan dan membuatnya mampu membela pandangan-pandangan dan aliran-aliran yang benar sekaligus menyerbu dan membidas pandangan-pandangan dan aliran aliran yang keliru dan tidak sehat.

Demikianlah, selain dengan unik berperan positif dan membangun, filsafat juga berperan tak tertandingi bagi pertahanan dan penyerangan. Pengaruhnya sungguh kuat dalam penyebaran budaya Islam dan peng­gusuran budaya-budaya lainnya.

kritik skeptisisme (bahan kuliah / epistemologi)

ok

BUKU
DARAS FILSAFAT ISLAM

KEMUNGKINAN PENGETAHUAN :

Semua orang berakal percaya bahwa dia (telah atau dapat) mengetahui sesuatu, dan bahwa dia bisa mengetahui hal-hal lain. Karenanya, dia berupaya untuk mendapat informasi menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan hidupnya. Dan tanda terbaik dari berlang­sungnya upaya itu ialah munculnya berbagai bidang ilmu dan filsafat. Dengan demikian, orang yang tak termakan oleh keragu-raguan mustahil dapat menyangkal atau membimbangkan kemungkinan dan keaktualan ilmu pengetahuan. Hal yang terbuka untuk dikaji dan layak diperselisihkan ialah menyangkut identifikasi medan pengetahuan, penentuan sarana-sarana mencapai pengetahuan-pasti (al-'ilm al-yaqini), metode untuk membedakan pemikiran yang benar dan yang sesat, serta hal-hal semacamnya.

Sebagaimana telah kita singgung dalam pelbagai bahasan sebelumnya, gelombang besar skeptisisme berkali-kali menghantam Eropa, sampai para pemikir besar pun ikut tertelan ke dalamnya. Sejarah filsafat menyaksikan berbagai mazhab pemikiran yang sama sekali mengingkari (kemungkinan) pengetahuan, seperti sofisme, skeptisisme, dan agnostisisme. Orang yang secara mutlak menging-kari pengetahuan (jika memang ada) bisa dikata sedang menderita was-was mental yang akut, suatu keadaan yang sebetulnya menimpa banyak orang dalam soal lain. Dan keadaan ini harus kita anggap sebagai sejenis penyakit jiwa. Walhasil, tanpa harus melakukan pelacakan sejarah mengenai keberadaan orang-orang ini, motivasi yang mendorong mereka atau benar tidaknya mereka meyakini anggapan itu, kita tetap bisa menjadikannya sebagai pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan yang mesti dijawab sesuai dengan pembahasan filsafat, sembari meninggal­kan soal fakta sejarah kepada para ahlinya.

TINJAUAN ATAS KLAIM-KLAIM PARA SKEPTIS

Penyataan-pernyataan para sofis dan skeptis, dilihat dari satu sisi, bisa kita bagi menjadi dua: bagian yang berhubungan dengan wujud dan eksistensi, dan bagian yang berhubungan dengan ilmu dan pengetahuan. Sebagai contoh, Georgias, tokoh sofis paling ekstrem, konon pernah me­nyatakan, "Tiada yang mewujud. Kalaupun ada maujud, ia tidak bisa diketahui. Dan kalaupun bisa diketahui, ia tidak bisa dikomunikasikan." Frase pertama dalam pernyataan ini berkaitan dengan wujud, sesuatu yang akan kita perbincangkan dalam Bagian Ontologi, sedangkan bagian kedua relevan dengan diskusi kita tentang epistemologi. .

Mula-mula, hal berikut ini mesti kita kemukakan: semua yang me­ragukan segala sesuatu tidak akan dapat meragukan keberadaan diri mereka, keberadaan keraguan mereka, maupun keberadaan pelbagai ke­mampuan presuppose, seperti kemampuan melihat, mendengar, keberadaan bentuk-bentuk mental (mental forms), dan keadaan-keadaan jiwa mereka. apabila ada sedikit keraguan menyangkut hal-hal tersebut, bisa dipastikan bahwa peragu itu sakit dan karenanya perlu segera disembuhkan-atau berbohong dan berniat buruk dan karenanya perlu diingatkan dan ditegur. Demikian pula, seorang yang berbicara atau menulis buku tidak mungkin meragukan keberadaan lawan bicara atau kertas dan pena yang dipakainya untuk menulis. Paling banter dia bisa mengatakan bahwa dia mempersepsi semua hal itu secara batin, tetapi meragukan keberadaannya secara lahiriah. Begitulah tampaknya yang hendak dinyatakan oleh Berkeley dan beberapa idealis lainnya saat mereka menerima semua objek persepsi sebagai bentuk-bentuk yang hadir dalam benak belaka dan menolak keberadaannya secara lahiriah. Kendatipun begitu, mereka tidak sanggup membantah keberadaan orang-orang lain yang juga mempunyai benak dan persepsi. Pandangan terakhir ini tentunya bukanlah merupakan suatu penolakan mutlak atas keberadaan dan pengetahuan, melainkan penolakan atas keberadaan benda-benda material dan keraguan atas sebagian objek pengetahuan.

Sekarang, bila seorang mengklaim bahwa pengetahuan-pasti mustahil tercapai, pertanyaan yang perlu kita ajukan kepadanya ialah apakah dia men tahui klaimnya itu_secara_pasti atau dia_ juga meragukannya. Jika dia menjawab bahwa d_ia mengetahui kemustahilan pengetahuan-pasti secara pasti, setidaknya satu pengetahuan-pasti telah diperoleh-seperti yang ia uinya-dan dengan demikian klaimnya mengenai kemustahilan pengetahuan-pasti dia langgar sendiri. Sebaliknya, jika dia tidak mengetahui secara pasti tentang kemustahilan pengetahuan-pasti, setidaknya dia telah mengakui kemurigkinan adanya pengetahuan-pasti. Dan dengan demikian, klaimnya tentang kemustahilan pengetahuan-pasti telah, dari sisi lain, dikelirukannya sendiri. Akan_tetapi, jika seorang berkata bahwa dia me­raguk_an_kemungkinan pengetahuan-pasti dan klaim-klaim tentang pengetahua_n-pasti, kita perlu menanyakannya apakah dia telah mengetahui dengan pasti bahwa dia punya keraguan semacam itu atau,tidak. jika dia menjawab bahwa dia mengetahui secara pasti adanya keraguan tersebut, itu berarti bahwa dia tidak hanya telah mengakui kemungkinan penge­tahuan-pasti, tetapi juga mengakui keaktualan pengetahuan-pasti itu (dalam dirinya). Akan tetapi, jika dia menyatakan bahwa dia meragukan apakah dia benar-benar punya keraguan atas keberadaan pengetahuan­pasti (yang terdapat dalam dirinya), jawaban seperti ini tidak bisa tidak diakibatkan oleh suatu penyakit atau niat buruk yang memerlukan tanggapan non-teoretis.

sebagai tanggapan untuk kalangan yang membela relativitas semua prngctahuan, y;tkni kalangan yang mengklaim ketiadaan proposisi yang benar secara mutlak universal, dan abadikitakita perlu bertanya apakah klaim relativitas semua pengetahuan itu sendiri benar secara mutlak, universal dan abadi atau klaim itu cuma benar secara relatif, partikular, dan temporer. Apabila klaim relativitas itu dianggap senantiasa benar dalam semua kasus tanpa syarat dan penyifatan (qualification), gugurlah relativitas pada semua pengetahuan, lantaran satu proposisi telah terbukti benar secara mutlak, universal, dan abadi-yakni proposisi relativitas semua pengetahuan. Jika proposisi relativitas semua pengetahuan ini pun bersifat relatif, itu berarti bahwa pada kasus-kasus tertentu relativitas tidak berlaku. Dan pada kasus­kasus yang tidak menerima relativitas, terdapat proposisi-proposisi yang benar secara mutlak, universal, dan abadi.

PENOLAKAN ATAS KERAGUAN KAUM SKEPTIS


Salah satu keraguan andalan kaum sofis dan skeptis yang mereka ungkapkan dalam berbagai format dan mereka sodorkan dalam berbagai contoh ialah keraguan berikut: terkadang seseorang memperoleh kepastian tentang keberadaan sesuatu dengan pancaindra, tetapi sebentar kemudian dia menyadari bahwa kekeliruan telah terjadi. Orang ini lalu mengetahui bahwa persepsi indriawi tidak selalu bisa dipercaya. Seterusnya, timbul kemungkinan bahwa semua persepsi indriawi lain pun bisa salah, hingga suatu ketika dia melihat kekeliruan terjadi secara nyata. Begitu pula ada­kalanya seorang menemukan satu prinsip bersifat pasti secara rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa penalarannya rancu, lantas kepastiannya beralih menjadi keraguan. Akibatnya, dia mengetahui bahwa penalaran intelektual pun tidak selalu dapat diandalkan. Dengan cara yang sama, timbul kementakan (probability) akan penularan kerancuan pada pelbagai persepsi intelektual lainnya. Kesimpulannya, pengindraan dan penalaran sama-sama tidak dapat dipercaya sehingga tinggalah keraguan yang tersisa dalam dirinya.

Berikut adalah tanggapan-tanggapan atas argumen di atas:

I . Tujuan argumen di atas ialah untuk menegaskan kesahihan skeptisisme dan pengetahuan tentang kebenarannya melalui suatu penalaran. Se­tidak-tidaknya, argumen itu dirancang untuk membuat lawan diskusi menerima pokok soal yang diajukan, supaya dia mendapatkan penge­tahuan tentang kesahihan klaim-klaim para skeptis. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bilamana para skeptis berpendapat bahwa memperoleh pengetahuan mutlak tidak mungkin?

2. Temuan mengenai kekeliruan persepsi indriawi dan intelektual berakibat pada pengetahuan bahwa persepsi-persepsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Dan hal itu meniscayakan penerimaan pada keberadaan pengetahuan tentang kekeliruan persepsi.

3. Implikasi lain dari temuan itu ialah pengetahuan akan adanya kenyataan yang-dalam kasus ini-tidak sesuai dengan persepsi yang keliru tersebut. Jika tidak demikian, gagasan mengenai kekeliruan persepsi tidak akan pernah ada.

4. Implikasi lainnya ialah pengetahuan kita bahwa persepsi yang keliru dan bentuk mentalnya bertentangan dengan keadaan sesungguhnya (actuality).

5. Dan terakhir, keberadaan orang yang mempersepsi secara keliru, demikian pula indra dan akalnya, mestilah diterima secara mutlak.

6. Penalaran di atas itu sendiri pada dasarnya bersifat rasional (mekipun sangat rancu dan menyesatkan). Mengandalkannya dalam kaitan ini berarti menganggap akal dan hasil-hasil persepsinya sebagai bisa dipercaya.

7. Lebih dari itu, satu pengetahuan lain telah diasumsikan di sini, yaitu pengetahuan bahwa persepsi-persepsi yang keliru (mistaken perceptions), karena keliru, tidaklah mungkin benar (true). Jadi, argumen para skeptis itu sendiri sebenarnya mengimplikasikan penerimaan pada sejumlah contoh pengetahuan-pasti. Lalu, bagaimana mungkin orang bisa secara mutlak menolak kemungkinan pengetahuan atau meragukannya?

Semua jawaban di atas telah mematahkan argumen para skeptis. Dalam menganalisis dan menonjolkan kerancuannya, kita berhasil membuktikan kesahihan dan kekeliruan persepsi indriawi dengan bantuan penalaran. Sebagaimana telah disebutkan, adalah salah jika kita menduga bahwa temuan mengenai adanya kekeliruan dalam sejumlah persepsi intelektual dapat menular pada semua persepsi intelektual lainnya, lantaran keke­liruan seperti itu hanya mungkin terjadi pada persepsi-persepsi spekulatif atau selain yang swabukti. Sebaliknya, proposisi-proposisi swabukti yang menjadi landasan pembuktian filosofis sama sekali tidak mungkin keliru. Penjelasan tentang keterjagaan proposisi-proposisi ini dari kekeliruan akan kita beberkan pada Pelajaran 19.

kritik Positivisme (Bahan kuliah / epistemologi)

ok
Dengan Asma-Nya yang maha Indah

Mustahilnya Positivisme

doktrin empirisme dan positivisme bersandar pada beberapa proposisi dasar berikut ini.

I. pengalaman inderawi adalah sumber pertama pengetahuan manusia, dan tidak ada pengetahuan rasional apa pun yang mendahului pengalaman.

2. pengalaman inderawi adalah asas satu-satunya untuk menegaskan (men-tashdiq, to assent) kebenaran suatu proposisi.

dalam bentuk eKStrimnya, suatu proposisi dianggap mempunyai makna jika ia dapat ditasdik secara empirik)

3.suatu prosisi, jika mungkin mencapai pengalaman inderawi yang memberi petunjuk tentan;nya, meskipun kita tidak memiliki pengalaman seperti itu, mempunyai arti dan perlu dibahas_

jjelas proposisi-proposisi ini mustahil Buktinya? Terlalu banyak. Tapi di sini akan diberikan beberapa bukti yang cukup simpel.

pertama, karena dalam pengamatan pengalaman apa pun, mau tidak mau kita mesti menerima prinsip non-kontradiksi terlebih dahulu, sehingga kita bisa mengidentifikasi bahwa A-A, dan A bukanlah bukan A. Tanpa menerima prinsip ini terlebih dahulu, - yang'jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, tidak_m__u_ng_kin mengidentifikasi semua pengalaman indera, sehingga semua pengalaman indera kehilangan maknanya.

kedua; pengalaman inderawi kehilangan seluruh makna obyektifnya tanpa menerima terlebih dahulu prinsip kausalitas. Apa yang diterima mata adalah image / bayangan, bukan benda yang dilihatnya sebagai dirinya sendiri. Prinsip kausalitaslah yang memberikan suatu relasi antara image dengan benda sebenarnya, bahwa image adalah suatu akibat yang disebabkan oleh benda yang dilihat.' Tanpa menerima prinsip kausalitas, - yang jelas merupakan prinsip niscaya rasional tak terindera-, seluruh penangkapan image indera kita tidak memestikan apa pun tentang apa yang diindera !

ketiga, bahkan pengalaman inderawi saja tidak mampu mentahkik (membenarkan, menegaskan) adanya matter. Karena seperti yang dikatakan tadi, tanpa prinsip kausalitas, hasil pengalaman indera tak lain hanya kesan-kesan subyektif yang tidak menunjukkan adanya apa pun yang diindera.

keempat, dan bagaimana mungkin pengalaman inderawi membuktikan kesalahan inheren pada penginderaan dengan dirinya sendiri ? Apa beda oase fata morgana dengan oase sejati bagi indera penglihatan kita? Bagaimana mungkin sesuatu yang mungkin salah mem-benar-kan (men-tashdiq) kebenaran dirinya sendiri?

kelima, sehingga bagaimana mungkin semua eksperimen dilakukan? Jika keberadaan mated saja tidak mampu ditahkik dan kesalahan inheren tak bisa teratasi.

keenam,. dan bahkan bukankah semua proposisi yang dinyatakanptersebut tidak dapat diindera ? Sehingga jika mereka termasuk pengetahuan primer (sumber pengetahuan), maka karena proposi pertama mempersyaratkan keter-indera-an sumber-sumber pengetahuan, jelas menurut dirinya sendiri seluruh proposisi ini bukan pengetahuan primer. Atau pun, jika mereka rnerupakan suatuu penge!ahuan yang perlu di-tashdiq, proposisi kedua meniadakan kemungkinan untuk men-tashdiq ketiga proposisi ini. Dan, mari kita persilahkan para positivis menjelaskan kemungkinan membenarkan untuk melakukan suatu eksperimen untuk menguji kebenaran ketiga proposis'aini berdasarkan proposisi ketiga?

ada satu pertanyaan yang penting, mungkin. Kenapa mereka terjebak ke dalam pemikiran se-naif itu? Suatu analisa historis pra­renaissance membuat saya, -yang bodoh dan hina ini-, memberanikan diri untuk membuat satu hipotesis sederhana. pemahaman dogmatis keagamaan Eropa pra-Renaissance yang menekan akal manusia dan kemanusiaan membuat akal manusia mencari kemerdekaan dirinya pada zaman Renaissance dengan semangat anti-agama, sebagaimana sebelumnya 'agama' telah menegaskan otoritasnya yang mutlak dan memojokkan 'akal'. Dan ini adalah akar dari sekularisme I

wallahu a'lam

Tuesday, June 5, 2007

Kritik Teologi

Kritik Teologi:

Menggugat Kerancuan Nalar Berketuhanan dan Stagnasi Kemasyarakatan *

" Makalah ini disampaikan pada seminar Filsafat Islam Kritis Revolusioner (FIKR) yang diselenggarakan I HMI Cabany DEPOK tanggal 1417 Juni 2000 di Pusat Studi Jepang Fak, Sastra UI, Depok.


Corak pemahaman teologis tertentu temyata berperan penting dalam mengkonstruksi relasi-relasi sosial yang khas dalam kehidupan konkret suatu masyarakat. Dalam kasus Indonesia, teologi Asy'ariyyin telah begitu jauh merasuki jiwa masyarakat dan melahirkan banyak kerancuan sosio politik yang fenomenal. Penulis berupaya membongkar berbagai irasionalitas dan kelemahan teologi -yang disebutnya bersifat formal-tradisionak­ini, sembari pula mengajukan sebuah formula teologi alternatif-kritis yang membebaskan.

adakah teologi yang mencerahkan intelek dan sekaligus membebaskan dari belenggu-belenggu mental dan sosial yang selama ini memasung potensi kreatif dan progresif kita?


I. Prolog

Marilah kita mulai kajian teologi kritis ini dengan mensketsa berbagai fenomena kehidupan sehari-hari, yang konkret dan nyata, tidak dibuat-buat, tidak direka-reka, tidak ditebak-tebak. Langkah ini adalah ciri pertama teologi kritis, yaitu refleksi yang bertitik tolak dart kenyataan rill dan bermuara pula pada kenyataan rill. Teologi kritis menentang keras setiap refleksi yang direka-reka tanpa dasar realitas, sekaligus sangat menentang setiap pemikiran yang memusuhi kehidupan nyata, yang menelikung daya kritis akal, mengelabui kemurnian fitrah, memistifikasi (melegitimasi) status quo. Teologi kritis bangkit melawan teologi formal- tradisional yang membunuh potensi kreatif manusia atas nama "Tuhan. Teologi kritis menentang setiap pandangan agama yang melarikan diri dari kehidupan nyata (escapism) atas nama Tuhan, akhirat, apalagi hanya atas nama kewalian Kyai-Ulama.

Fenomena 1

Hampir semua kasus yang menyangkut tragedi kemanusiaan di negeri kita tidak kunjung tuntas, entah karena dipetieskan, ditutup-tutupi, diperdagangkan, dengan konsesi­ konsesi politik-ekonomi, ataupun karena intervensi pihak­pihak yang dominan, termasuk para investor asing. Kita tidak perlu menengok peristiwa masa lalu seperti pembunuhan Marsinah dan wartawan Udin, pembantaian Tanjung Priok dan Lampung, perampasan tanah dan perkebunan rakyat oleh negara seperti kasus Kedung Ornbo, Cimacan, BUMN perkebunan (PTP), dan lain sebagainya. Tidak perlu kita ungkap kasus-kasus penjarahan kekayaan alam yang melimpah ruah oleh para konglomerat pemegang HPH dan perusahaan­perusahaan (domestik dan asing) di Aceh, Riau, Kalimantan, Papua, yang sekaligus menyingkirkan penduduk setempat dan meracuni mereka dengan limbah-limbah berbahaya (asap kebakaran hutan, kasus Freeport, Indorayon, dan sebagainya). Semua kasus ini raib begitu saja tanpa penyelesaian yang tuntas dan transparan. Cukuplah bagi kita untuk menengok tragedi­tragedi kemanusiaan semenjak gerakan reformasi bergulir, seperti tragedi Mei 1998, Trisakti, Semanggi, perampokan ratusan triliun rupiah dana BLBI oleh puluhan bank, dan teristimewa macetnya pengusutan praktik KKN dan pelanggaran HAM rezim Suharto. Rezim Gus Dur yang diharapkan dapat menunaikan amanah gerakan reformasi untuk mengikis praktik KKN justru menambah hanyak persoalan. Sebut saja kasus PLN (menolak menggunakan pendekatan hukum, tapi menggunakan pola lobi dan konsesi ? ) Malah rezim sekarang ini tidak jauh berbeda dengan rezim Orde Baru dan Orde Lama yang mensubordinasi hukum di bawah supremasi politik dan kekuasaan. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita yang katanya bangsa religius sulit sekali menerapkan supremasi hukum? Sejak proklamasi (terutama setelah masa demokrasi terpimpin 1957) sampai sekarang yang terjadi adalah supremasi militer, politik, ataupun ekonomi. Nilai-nilai budaya dan pandangan hidup manakah yang menyulitkan kita untuk menyatakan bahwa:

1. Semua orang mulai dari presiden sampai tukang becak sama kedudukannya di mata hukum.

2. Penegakan hukum di atas segala kepentingan politik serta ekonomi, dan tidak dapat ditawar-tawar lagi (seperti Syahril Sabirin sekarang ini).

3. Hukum adalah penegakkan nilai keadilan.

4. Keadilan adalah tonggak utama bangunan masyarakat, apapun agama dan teologi yang dianut masyarakat.

5. Keadilan adalah tanah subur bagi tumbuhnya nilai-nilai moral lain seperti kebaikan, kejujuran, kesucian, keberanian (lihat QS. 16:90) Sejauh mana fenomena ini terkait dengan teologi formal- tradisional ?

Fenomena 2

Ketertinggalan bangsa kita, khususnya umat Islam, dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah tak terbantahkan. Etos keilmuan masyarakat kita sangat rendah. Belum tumbuh tradisi intelektual dan diskursus-diskursus ilmiah dalam lembaga-lembaga pendidikan yang menggairahkan masyarakat kita sehingga memicu untuk selalu memperluas wawasan dan menuntut ilmu setinggi-tingginya. Pertimbangan ekonomi (perut), sosial (popularitas), dan politik (kekuasaan) jauh lebih diutamakan ketimbang urusan pendidikan dan pengembangan SDM yang unggul. Kita bisa lihat pada alokasi anggaran pendidikan dalam APBN sejak Orla sampai sekarang tidak pernah mencapai di atas 7%. Padahal, APBN

negara-negara Asia tenggara saja menCapal rata-rata 20-25%.

Secara global Cak Nur pernah menulis, "... sekarang ini dunia Is­lam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terbelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru yang Protestan; Eropa Selatan dan Amerika Selatan yang Katholik: Eropa Timur yang Katholik Ortodox; Israel yang Yahudi; India yang Hindu; Cina, Korea Selatan, Taiwan Hongkong, Singapura yang Budhis Konfusianis; Jepang yang Budhis Taois; Thailand yang Budhis. Praktis di semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dalam sains dan teknologi."2 Cukup mengherankan bagaimana etos keilmuan dan tradisi intelektual Islam yang begitu tinggi pada abad 8-14 M sirna begitu saja. Pesantren-pesantren yang pasti mengetahui sabda Nabi Saww, "tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat", justru membelenggu potensi kreatif anak didik. Lembaga­lembaga pendidikan kita telah melakukan learning shut down (pembisuan kebutuhan belajar) karena dipasung konsep­konsep dogmatis seperti takdir, nasib, pasrah, pahala, surga. Selain pula metode pengajaran yang bersifat kultus individu pada guru, dosen, kiai, ulama yang selalu dianggap benar. Tidak ada budaya kritis dalam masyarakat kita. Sejauh mana fenomena ini terkait dengan teologi ?

Fenomena 3

Anda letih dan frustrasi dengan program-program pemberdayaan dan pengembangan SDM karena sulit memperoleh dukungan masyarakat? Alihkan perhatian dan tenaga kreatif anda pada bidang politik atau ritual religius! Buat parpol yang mengatasnamakan rakyat, atau buat proposal mendirikan masjid, bimbingan haji, dan lomba tilawatil Quran, atau ritual-ritual lainnya. Dipastikan Anda jauh lebih mudah menggalang dana, bantuan moril, dan sebagainya. Kenapa? Masyarakat kita akan mendukung siapapun, entah koruptor ataupun penguasa lalim, yang mendirikan masjid atau naik haji meski dengan hasil rampokan uang rakyat. Alasannya, bukankah masjid adalah simbol kekuasaan Tuhan dan penyembahan manusia yang hina penuh dosa kepada Tuhan Yang Suci? Sebaliknya masyarakat kita (termasuk pemerintah) kikir membelanjakan hartanya untuk membangun perpustakaan, sekolah yang bermutu, apalagi yang namanya litbang-litbang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Membeli komputer canggih oke, tapi mendirikan pusat penelitian pengembangan komputer, nanti dulu! Membangun masjid oke, tapi memberdayakan marbot (pengurus masjid), pedagang kecil, petani, buruh, nanti dulu! Kenapa? Karena membangun masjid dianggap melayani Tuhan, sedang memberdayakan orang lemah, hanya melayani manusia, tidak lebih dari itu. Sejauh mana fenomena ini relevan dengan teologi ?

Fenomena 4

Seorang pejabat tinggi negara kita dua bulan yang lalu pernah berkata, "Kami ini kan manusia biasa, wajar kami keliru. Hanya Tuhan yang sempurna sajalah yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa kita". Dua bulan sebelumnya seorang menteri juga pernah berkomentar agak mirip. Ketika para wartawan menanyakan ketidakjelasan dan inkonsistensi pemerintah RI dalam menjalankan program ekonomi nasional, sang menteri terdesak dan tidak punya jawaban argumentatif lagi. Lalu la dengan lirih berkata, "Sudahlah, percayalah kepada kami. Anda tahu siapa presiden kita sekarang. Beliau kan selama ini jujur dan dekat dengan rakyat. Kenapa kita tidak percayakan saja kepadanya?" Adakah relevansinya fenomena ini dengan teologi ?

Fenomena 5

Seorang sarjana dari desa tiba-tiba saja telah menjadi direktur perusahaan besar; lengkap dengan simbol seorang eksekutif sukses: ponsel, mobil mewah, rumah berkolam renang, dan pacar / istri cantik. demikian gambaran sebuah sinetron . Sinetron-sinetron lainnya yang menguasai layar TV tak kalah irasional dan irealistis. Mereka menjual mimpi-mimpi indah dan imajinasi-imajinasi yang mematikan kreativitas melalui tokoh-tokoh jin, tuyul, manusia super, atau lampu aladin. Ketika dikritik keras bahwa film-filmnya hanya menjual mimpi-mimpi kosong yang meninabobokan masyarakat, sang produser Raam Punjabi membela diri dengan berkata, "Ya, saya memproduksi film seperti itu karena laku dan diminati publik. Masyarakat kita tidak suka melihat kenyataan yang sesungguhnya bahwa mereka tengah mengalami kesulitan hidup." Benarkah masyarakat kita tidak berani menghadapi kenyataan atau realitas, malah lari darinya, kemudian berpaling pada mimpi-mimpi yang dijajakan sinetron, judi arisan berantai, dan sebagainya? Adakah relevansi fenomena ini dengan teologi ?

II. Membedah Teologi Formal Tradisional

Kelima fenomena di atas perlu kita angkat untuk keperluan analisis pandangan hidup dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut masyarakat. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, sistem kepercayaan masyarakat turut mengkonstitusi (memberikan bentuk) pandangan hidup dan nilai-nilai sosial yang pada gilirannya berdampak pada tataran sosial dan praksis. Sistem kepercayaan yang mengendap dalam alam kesadaran atau ketidaksadaran masyarakat itulah yang kita sebut sebagai teologi formal-tradisional. Apa yang dimaksud

dengan teologi formal- tradisional? Tak lain dari teologi yang dianut secara turun temurun tanpa pernah melakukan kajian ilmiah kritis. Disebut formal karena sistem kepercayaan ini lebih berfungsi sebagai simbol identitas kelompok/mazhab daripada sumber pemahaman yang konstruktif terhadap nilai­nilai agama itu sendiri. Misalnya, kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah (aswaja) mengklaim diri sebagai pengikut Asy'ari atau Maturidi, tanpa pernah mengkaji secara kritis faktor-faktor

sejarah, sosial politik, dan budaya yang ikut mengkonstruksi teologi-asy'ari . Demikian i pula dengann kaum cendekiawan yang merasa bangga dan mengklaim diri sebagai pengikut Mu'tazilah, lebih sebagai simbol kaum rasionalis yang merupakan ciri Mu'tazilah, daripada pemahaman otentik terhadap Tuhan (Zat, Sifat, Perbuatan). Kelima fenomena yang dipaparkan di atas lebih berkaitan dengan teologi yang dianut mayoritas bangsa kita, yaitu Asy'ari. Kita menganalisis fenomena-fenomena itu secara relatif dan mendasar, serta mengkaji relevansi fenomena tersebut dengan teologi mayoritas umat Islam dewasa ini. Sebagaimana kita ketahui, teologi Asy'ari menjadi teologi mayoritas setelah penguasa Abbasiyah Al-Mutawakkil menjadikan Asy'ari sebagai teologi resmi kekhalifahan, dan menganiaya tokoh-tokoh teologi lainnya, serta membakar buku-buku yang dianggap bertentangan dengan teologi resmi. Teologi ini juga memperoleh justifikasi yang lebih kuat setelah Al-Ghazali menyatakan diri sebagai pengikut Asy'ari serta memadukan teologi ini dengan ajaran tasawufnya (abad 12 M).

Fenomena 1: Teologi Kekuasaan Voluntarisme

Kesulitan kita menerapkan supremasi hukum ada kaitannya dengan teologi yang dianut mayoritas umat Islam, yaitu Asy'ari. Teologi ini menjadikan sifat Tuhan Yang Mahakuasa dan berkehendak apa saja sebagai sifat yang utama di atas sifat­sifat lainnya, seperti Mahaadil, Mahabijak, Maha Pengasih dan Penyayarrg. Oleh karena itu, kata 'Kuasa' dan 'Kehendak' menjadi kata kunci teologi Asy'ari. Frithjof Schuon menyebutnya teologi voluntarisme'3 Tesis utama teologi ini ada­lah Tuhan Yang Mahakuasa berkehendak apa saja, dan apapun yang terjadi di dunia adalah hasil kehendak Tuhan. 'Baik' dan 'buruk', keduanya diciptakan Tuhan. Asy'ari bahkan mengatakan, Tuhan dapat saja menghukum orang yang tak bersalah dan memasukkannya kedalam neraka jika la menghendaki, dan sebaliknya mengganjar orang fasiq dan zhalim ke dalam surga.

Pandangan Asy'ariyyin tentang Tuhan dengan gamblang menggambarkan Tuhan Raja Diraja Yang maha Berkehendak tanpa ada kriteria-kriteria rasional. Akal harus di tundukkan demi pengagungan kekuasaan Tuhan. Kriteria lain harus dicampakkan karena dianggap membatasi kekuasaan-Nya. Misalnya kriteria bahwa Tuhan pasti membalas kebaikan o­rang yang berbuat kebaikan; bahwa Tuhan adalah Zat Yang Mahaadil dan menepati janji, tidak mungkin Tuhan melanggar hukum-hukum yang Dia buat sendiri. Kriteria semacam ini ditolak Asy'ari. Dengan demikian, makna kata `Kuasa' oleh Asy'ari dipahami sebagai fakta yang diterima begitu saja (seringkali dianalogikan dengan raja yang berkuasa tanpa batas dan hukum); sebagai kata benda yang berkonotasi kepemilikan , hegemoni. Tidak ada nilai-nilai lain yang menyertai kekuasaan Tuhan seperti keadilan, kebijakan, kasih sayang. Kuasa lebih dipahami sebagai `Fakta' atau thing (sesuatu) daripada sebagai Nilai yang termanifestasikan (memancar) kepada segala sesuatu. Untuk membedakan kuasa dalam konsepsi fakta dengan nilai, kita dapat mengutip Sabda Nabi Suci saw, 1) al-11m nuurun" (ilmu adalah cahaya) dan sabda Sayyidina Ali kw, "Harta akan berkurang jika diberikan, sedang ilmu akan bertambah jika diberikan". Dari dua sabda ini ingin ditunjukkan bahwa apa yang disebut harta berkonotasi sebagai fakta atau thing. Sedangkan ilmu adalah nilai atau cahaya yang memancar ke segala arah tanpa mengurangi sumbernya. Asy'ari lebih melihat Tuhan sebagai thing, fakta. Oleh karena itu, untuk meneguhkan kekuasaan Tuhan, ia harus menafikan kebebasan kehendak manusia dan alam (hukum alam; Asy'ariyyah menolak prinsip kausalitas). Jelaslah teologi kekuasaan Voluntarisme ini merupakan lahan subur bagi sang penguasa untuk mengelabui rakyat dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan, takdir Tuhan terhadap segala perilaku hegemoniknya. Sang penguasa memaksa rakyat percaya bahwa, "Situasi Anda atau masyarakat Anda adalah situasi yang harus di terima karena merupakan manifestasi kehendak Tuhan. Itu adalah takdir dan nasib..." All Syariati menyebut konsepsi takdir dan nasib sebagai hcntrrk teologi persembahan Mu'awiyah. Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional ini merupakan sejarah persembahan kepada sang penguasa, pengabdian kepada para sultan Memuji sultan berarti sama dengan bersyukur kepada Tuhan. Sebaliknya, menentang sultan berarti menentang Tuhan. Bagaimana cara kerja teologi Asy'ari menghambat terciptanya supremasi hukum? Jawabannya bahwa, pertama, teologi Asy'ari menolak segala kriteria rasional terhadap konsepsi kuasa, sedangkan supremasi hukum justru bersandarkan pada kriteria-kriteria yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Kedua, teologi Asy'ari adalah teologi kekuasaan, sedangkan supremasi hukum menurut teologi keadilan yang merupakan teologi yang ditegakkan di atas nilai-nilai keadilan, rasionalitas, transparansi, dan dapat diuji (variability, flexifiable)

Fenomena 2: Teologi Sim Salabim

Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu pengetahuan terkait erat dengan teologi yang dianut mayoritas umat Islam. Watak esensial ilmu dengan watak esensial teologi Asy'ari sangat bertolak belakang. Perbedaan mendasar kedua paradigma itu adalah:

1. Ilmu pengetahuan tegak atas dasar prinsip kausalitas yang bisa dipelajari, sedangkan teologi Asy'ari justru menolak

prinsip kausalitas (teologi mukjizat, sim salabim).

2. Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan daya kritis, kreativitas, dan rasa ingin tahu manusia. Sementara teologi Asy'ari justru menekankan ketundukan manusia tanpa banyak menggunakan nalar.

3. Ilmu pengetahuan mengandalkan kegiatan ilmiah yang bekerja secara proses (process ori.ented). Adapun teologi Asy'ari lebih terfokus pada hasil (product oriented).

Fenomena 3: Teologi Dikotomis-Ritualisme

Kurangnya apresiasi terhadap program-program pemberdayaan SDM dibanding program-program ritual, berkorelasi erat dengan teologi Asy'ari. Fenomena ini merupakan implikasi alamiah dari pandangan Asy'ariyyin Yang kurang ; mengapresiasi potensi-potensi insaniah manusia.

manusia hanya dilihat sebagai budak atau pelayan Tuhan

Frithjof schuon menyebutkan bahwa teologi Asy'ari ini tidak memungkinkan manusia mencintai Tuhan, karena cinta mensyaratkan pengenalan dan apresiasi kepada Tuhan yang Maha Bijak, Indah, Mengetahui, Kasih. Untuk menunjukkan kekuasaan Tuhan, potensi manusia harus dinegasikan, kecuali budak Tuhan belaka. Asy'ari menganggap bahwa bila kita mengakui potensi-potensi insani yang kreatif, mandiri, bebas, maka kekuasaan Tuhan akan berkurang. Logika yang dipakai Asy'ari adalah logika biner (dikotomi), yaitu logika on-off (either or logic). Pilih Tuhan atau manusia saja. Logika biner ini juga digunakan Nietzsche dan Sartre. Asy'ari memilih Tuhan de­ngan menafikan manusia, sedangkan Nietzsche dan Sartre memilih manusia dan menafikan Tuhan.

Fenomena 4: Teologi Legitimatif (Mistis)

Ucapan kedua pejabat itu merepresentasikan cara pandang mayoritas masyarakat kita, yaitu membela diri dengan jalan mengalihkan persoalan kepada Tuhan atau penguasa. Ucapan pejabat yang pertama kerap kita dengar, yaitu berlindung di bawah nama Tuhan untuk menutupi kesalahan diri, atau atas nama makhluk yang hina penuh dosa (seraya menyebut Tuhan yang suci ) untuk membersihkan diri. Teknik ini disebut juga mistifikasi, karena membawa persoalan aktual yang nyata ke dalam wacana mistis, gaib yang tak bisa diverifikasi/ difalsifikasi. Karena tidak bisa diverifikasi, maka diri yang bersangkutan menjadi terlindungi/terselamatkan. Ucapan pejabat yang kedua lebih sebagai upaya pelarian dari tanggung jawab rasionalitas dan transparansi kebijakan de­ngan berlindung di bawah pernyataan "kehendak baik peng­uasa". Penguasa yang dianggap baik dan jujur tak perlu lagi diminta pertanggungjawaban yang reasonable dan transparan. Cukup kita yakini bahwa penguasa itu jujur, dan tinggal percaya saja kepadanya. Jika ada ucapan penguasa yang tidak dimengerti, maka anggap saja 'pemikiran penguasa itu melampaui pemikiran kita orang biasa', karenanya tidak perlu repot-repot mempertanyakan. Bahkan, jikapun keadaan telah sampai melahirkan indikator-indikator yang gamblang tentang kegagalan penguasa, maka kita tetap saja harus

'husnuzhan' (berprasangka baik) pada penguasa. Mungkin saja ini adalah proses awal yang membutuhkan pengorbanan kita semua. Logika mistifikasi untuk melegitimasi /status quo/ peng­uasa ini adalah sebagai berikut :

Premis mayor : Penguasa adalah orang baik dan selalu benar Premis Minor : Jika penguasa Salah, lihat premis mayor: Konklusi : Penguasa selalu baik dan benar

Dalam argumen yang digunakan logika legitimatif ini disebut argumentum ad hominem (kebenaran ditentukan manusia). Logika ini bertolak belakang dengan ucapan Sayyidina All, 'Carilah kebenaran, lalu nilailah manusia atas kriteria kebenaran itu'.

Fenomena 5: Teologi Eskapisme

Sikap dan cara pandang masyarakat kita yang mudah terbuai mimpi-mimpi indah merupakan implikasi lebih lanjut dari teologi sim salabim, teologi legitimatif. Karena menolak rasionalitas, keteraturan, dan kejelasan kriteria (transparancy), dan sebaliknya cenderung melegitimasi status quo yang ada, maka penganut teologi ini cenderung tidak berani menghadapi realitas. Mereka lebih senang mengkhayalkan realitas imajinatif melalui mimpi-mimpi dan penciptaan tokoh-tokoh ilusif -mitos seperti Ratu Adil, Nyi Roro Kidul. Masyarakat kita juga mudah sekali dibujuk dengan program­program irrasional seperti judi, arisan berantai, `nyepi', jampi­jampi, yang semuanya adalah pelarian dari kegagalan meraih cita-cita dalam konteks realitas nyata.

III. Teologi Alternatif: Teologi Kritis

Antitesis dari teologi formal-tradisional yang telah membelenggu potensi kreatif dan progresif umat Islam harus dicari, entah dengan penemuan atau melalui konstruksi di atas prinsip-prinsip Tauhid. Teologi alternatif itu dapat kita namakan teologi kritis. Disebut kritis karena menekankan daya nalar yang tajam , sikap yang selalu ingin tahu, dan sikap tengah antar nihilisme dan bsolutisme.disatu sisi kita meyakini ada kebenaran mutlak yaitu Tuhan. tapi disisi lain kita juga sadar relativitas diri dalam mencerap kebenaran sehingga tak pernah sempurna atau selesai. Oleh karena itu, konsekuensinya adalah sikap yang selalu terbuka, mencari ilmu tiada henti, selalu bergerak ke arah yang lebih baik/ sempurna.

Beberapa prinsip yang melandasi Teologi Kritis adalah :

1. Pandangan bahwa Tuhan bukan sebagai `Fakta' atau `Thing', tapi sebagai `Nilai' atau `Cahaya'. Allah swt sendiri memperkenalkan diriNya sebagai Cahaya (QS. 24:35), Tuhan Mahakuasa dengan Keadilan dan Kearifannya, Tuhan Adil dengan Kekuasaanya. Sifat-sifat Tuhan satu sama lain tidak terpisahkan. Tidak ada sifat yang saling mensubordinasi, rnelainkan aspek-aspek pemahaman terhadap Wujud Yang Satu. Sifat dan Zat Tuhan tidak terpisahkan, bahkan identik. Oleh karena itu, ketika Tuhan menepati janjiNya, itu tidak dipahami sebagai keterikatan Tuhan, melainkan sifat menepati janji (Adil) itu sendiri adalah esensi dari Wujud Tuhan sendiri. 'Alim, Hakim, Rahman, Rahim, adalah Tuhan itu sendiri.

2. Pandangan Tuhan sebagai `Nilai' bermakna juga bahwa Tuhan berhubungan erat dengan nilai-nilai eksistensial kita selaku makhlukNya. Nilai-nilai kita sebagai manusia adalah manifestasi sifat-sifat Tuhan, seperti keadilan, pengetahuan, kearifan, kebaikan, harapan kesempurnaan, kebenaran, kreativitas, kasih sayang, keindahan. Setidaknya, terdapat 6 gugus nilai:

I. Nilai Vital: hidup, kehendak, melihat, mendengar, mencipta.

2. Nilai etis: baik, adil, jujur, amanah, sabar.

3. Nilai estetis: indah, terpuji, keharmonisan. 4. Nilai intelektual: mengetahui, bijak, arif.

5. Nilai keagungan (jalal): kuasa, mulia, perkasa.

6. Nilai kudus (kesucian): suci, ikhlas, asketis, sederhana. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa n)elayani manusia berarti identik dengan melayani Tuhan. Menegakkart keadilan berarti ingin menghadirkan Tuhan, karena Tuhan adalah Al-'Adl. Menuntut ilmu bermakna mendekati Tuhan karena Tuhan adalah Al-'Alim.

3. sebagai konsekuensi logis dari prinsip kedua, teologi

kritis menolak logika dikotomis yang diciptakan Asy'ari. Ada lima (5) jenis dikotomi yang hendak dihilangkan, yaitu :

a. Tuhan-Alam (Alam adalah ayat-ayat, manifestasi sifat-sifat Tuhan).

b. Tuhan-Manusia (manusia adalah makhluk Tuhan yang pal­ing mulia)

c. Iman-Ilmu d. Ruh Jasad

e. Wahyu-Intelek (Intelek atau qalb adalah wahyu batin imanen)

4 Teologi kritis lebih menekankan isi dari pada formal ritual, artinya lebih memfokuskan diri kepada upaya menyingkap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dalam keseluruhan eksistensi, alias tidak hanya dalam ritual formal belaka. Menyingkap nama Tuhan tidak hanya dilakukan di masjid atau Ka'bah, tapi di mana dan kapan saja manusia berada dalam totalitas eksistensinya yang darinya termanifestasikan nama-nama Tuhan. Penyingkapan narna­nama Tuhan (Asma Al-Husna) itu juga dilakukan dengan seluruh fakultas dan potensi manusia yang terintegrasi, balk secara teoritis maupun praksis. Dzikir, tafakkur, amal shaleh (amal sosial) merupakan modus-modus penyingkapan nama-nama Tuhan.

5 Konsekuensi dari persoalan keempat adalah terbukanya peluang bagi siapa saja tanpa pandang mazhab, ideologi, dan bahkan agama, untuk masuk dalam anutan teologi kritis, teologi nilai, teologi cahaya, teologi rasional-iluminasionis, sepanjang ia menyingkap nama-nama Allah dalam kcseluruhan eksistensinya.