Tuesday, December 5, 2006

Pekan III

Khazanah Modern

7. Filsafat Sebagai Kesangsian Meditatif

Bayangkan suatu pohon. Mungkin lukisan yang saya buat di sini (lihat Gambar III.1) akan mempermudah anda (walau ini juga menunjukkan bahwa anda tidak harus menjadi seniman untuk menjadi filsuf!). Nah, bagaimana filsafat itu menyerupai pohon? Sesungguhnya, ada banyak contoh kemungkinan penerapan analogi ini. Salah satu cara yang menarik dikemukakan oleh seorang filsuf yang ide–idenya akan kita bahas pada jam kuliah ini. Ia menyusun versinya sendiri mengenai mitos yang memandu kuliah ini, dengan mengklaim bahwa filsafat itu seperti pohon yang mempunyai metafisika sebagai akar–akarnya, fisika sebagai batangnya, dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang–cabangnya. Dalam hal ini, yang semestinya merupakan pemikiran yang akurat tentang bagaimana filsafat berfungsi pada abad ke tujuhbelas, daun–daun pohonnya kemungkinan besar berkorelasi dengan pengetahuan, kendati filsuf yang kita bicarakan tidak menyangkut-pautkan analoginya sejauh itu. Demi maksud kita di Bagian Satu matakuliah ini, kita sekurang–kurangnya bisa setuju bahwa metafisika tentu saja mempunyai fungsi yang serupa dengan akar-akar pohon. Setelah kita tuntaskan sembilan kuliah pertama kita, saya harap alasan–alasan untuk itu cukup jelas. Namun pada saatnya nanti, saya akan menyarankan revisi terhadap beberapa aspek lain pada versi mitos ini, supaya tidak ketinggalan zaman (lihat Gambar III.1).

Ilmu

Fisika

Metafisika

Gambar III.1: Pohon Filsafat Ala Descartes

Nama filsuf tersebut yang akan segera anda akrabi lantaran sumbangan yang ia berikan di bidang matematika ialah René Descartes (1596–1650). Ia tidak hanya turut mengembangkan aljabar lebih lanjut, tetapi juga menemukan sistem koordinat geometri yang kita pelajari di sekolah. Ketika ia beralih perhatian ke filsafat, ia mengakui adanya masalah yang melekat dalam tradisi filsafat.

Selama duaribu tahun, sistem Plato dan Aristoteles sedikit-banyak telah mendominasi semua pemikiran filosofis di Barat. Tatkala agama Nasrani muncul di kancah [filsafat untuk pertama kalinya], sebagian besar pater gereja mengambil beberapa versi idealisme Platonik sebagai basis bagi teologi mereka. Kecenderungan itu memuncak pada sistem filosofis dan teologis yang dibangun oleh St. Agustinus (354–430), yang pengaruhnya sepeninggalnya sedemikian dominan selama masa yang disebut Zaman Kegelapan sehingga Aristoteles benar–benar terlupakan di Eropa. Untungnya, cendekiawan–cendekiawan Muslim melestarikan tulisan–tulisan Aristoteles selama periode itu, terutama dengan bahasa Arab, yang menggunakannya sebagai landasan untuk penyusunan berbagai bentuk filsafat dan teologi Islam. Akhirnya, realisme Aristoteles kembali ke Eropa, terutama melalui karya St. Thomas Aquinas (1225–1274), yang sistem teologis berskala besarnya terus menjadi sumber teologi Katolik hingga hari ini. Sampai waktu Descartes terjun ke kancah [filsafat], tidak ada alternatif signifikan yang ditawarkan selain aliran idealis (Platonik–Agustinian) dan realis (Aristotelian–Thomis). Adakah sesuatu yang salah pada dua sistem ini yang menghalangi timbulnya kemajuan filsafat dari para filsuf lain?

Descartes yakin, kedua tradisi tersebut menderita cacat yang sama. Kebuntuan itu tercipta oleh kurangnya kebenaran mutlak total yang bisa berfungsi sebagai titik tolak yang tak terbantahkan untuk penyusunan sistem pengetahuan tulen (yaitu ilmu). Wawasan ini menimbulkan pertanyaan baru di benak Descartes: bagaimana bisa kepastian mutlak semacam itu dibuktikan? Metode dialog Plato ataupun metode teleologis Aristoteles tidak mampu menghasilkan pondasi yang kokoh bagi suatu ilmu yang benar–benar ketat. Lantas, bagaimana bisa pondasi semacam itu didapatkan? Dalam perenungan terhadap pertanyaan ini, Descartes menemukan ide baru yang akan memungkinkan kita untuk menetapkan kepastian untuk sekali ini dan selamanya. Dengan mengganti dialog dengan meditasi menyendiri, metode barunya adalah kesangsian (doubt). Dengan secara sistematis menyangsikan segala sesuatu mengenai dunia dan mengenai kita sendiri yang, menurut perkirakan kita, kita ketahui, kita berharap memperoleh sesuatu yang akan mustahil untuk diragukan. Ini kemudian bisa berfungsi sebagai titik pijak pasti secara mutlak bagi pembangunan sistem filosofis positif.

Lantas, apa yang bisa kita ragukan? Bagaimana mengenai indera kita? Dapatkah anda mempercayai indera anda? Pada suatu hari, tidak lama setelah saya berpindah ke Hong Kong, saya berbelanja dengan keluarga saya di mal setempat. Setelah beberapa saat, kami mulai mencari tempat untuk makan. Seraya berjalan menuju suatu toserba yang memiliki kedai–kedai makan yang berderetan di depan, saya perhatikan sebuah etalase makanan Jepang yang amat menggiurkan. Saya sangat lapar, sampai-sampai mulut saya mulai basah oleh air liur. Kami sepakat untuk makan di sini saja, walau agak ramai. Ketika kami mendekat, saya betul–betul terkesan oleh makanan yang tampak bermutu tinggi yang mereka pajang di etalase. Hanya saja, tatkala kami sampai di kasir, baru saya sadari bahwa makanan di etalase itu bukan makanan sama sekali, melainkan plastik! Indera saya telah dibodohi sepenuhnya oleh kecerdikan agen pemasaran. Dan dengan ketawa kalian, saya bisa mengatakan bahwa banyak di antara kalian yang pernah membuat kekeliruan serupa.

Di “meditasi” pertama dari enam meditasi yang dipaparkan dalam Meditations on First Philosophy, Descartes mulai mencari kepastian dengan memanfaatkan pengalaman terkelabui yang sedikit-banyak universal tersebut untuk menaruh kesangsian akan keandalan indera kita. Jika kita terkelabuhi pada satu contoh itu, bagaimana kita tahu bahwa kita tidak terkelabui dengan lebih sering? Memang, jika segala kesan yang tertanam melalui indera kita mungkin merupakan kesan yang salah, maka tampaknya tidak ada peluang untuk mendapatkan kepastian apa saja di indera kita. Itu menodai realisme Aristotelian, karena realisme ini didasarkan pada asumsi bahwa substansi, sebagaimana yang dicerap terutama melalui indera kita, pada hakikatnya nyata.

Bagaimana mengenai idea kita? Barangkali Plato benar sepenuhnya, dan idea kita merupakan pondasi yang tepat bagi semua pengetahuan. Namun Descartes mendapati bahwa menaruh keraguan pada bidang ini mudah juga. Bahkan ide–ide yang bagi kita tampaknya pasti, ide-ide yang kesangsiannya tak pernah terbayangkan, bisa diragukan bila kita upayakan. Sebagai misal, ada banyak cara menaruh kesangsian pada pengalaman kita sehari-hari yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita pernah bermimpi yang melanggar hukum–hukum keruangan semisal gravitasi (umpamanya, ketika dalam mimpi kita terbang) atau bermimpi yang waktu di dalamnya kelihatan lebih lambat atau lebih cepat daripada ketika kita tidak tidur. Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman kita sehari–hari bukan mimpi belaka, bahwa sewaktu–waktu kita akan bangun dari mimpi ini? Barangkali ada jin jahat yang memperdaya kita semua sehingga kita salah menduga bahwa mimpi panjang ini merupakan dunia nyata kita. Walaupun tidak ada jin jahat itu, kita semua pernah mengalami keinsafan secara mendadak bahwa suatu ide yang karena kita kira benar kita pegang teguh ternyata salah. Ide apa pun bisa berbalik menjadi ilusi semacam itu, sehingga tidak ada ide yang tercegah dari kemungkinan ilusi. Karenanya, idealisme Plato tidak lebih berguna daripada realisme Aristoteles dalam pencarian kita akan sesuatu yang pasti mutlak.

Bagaimana mengenai matematika? Descartes sendiri ialah seorang matematikawan dan tentu saja mempercayai kebenaran matematika. Bahkan, ada banyak filsuf yang semasa hidupnya memanfaatkan metode matematis dalam berfilsafat. Adakah kemungkinan untuk meragukan bahwa, sebagai misal, 2+2=4? Saya imbau anda memikirkannya sendiri agar anda tergerak untuk membaca buku Descartes demi anda sendiri. Di sini cukup saya katakan, Descartes percaya bahwa matematika pun tidak bisa menyediakan pondasi yang pasti mutlak bagi pengetahuan.

Adakah sesuatu yang mustahil untuk diragukan? Kala Descartes berbaring di ranjangnya di ruang yang gelap dengan melakukan eksperimen pemikiran yang mendalam, tiba–tiba ia menemukan jawaban yang ia cari–cari. Ia dapati, ia tidak bisa menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Ini karena kesangsian itu mustahil eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian! Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, menurut Descartes dalam meditasinya yang kedua, sehingga pemikiran pasti menjadi dasar pembuktian kepastian akan eksistensinya sendiri. Karenanya, ia mengajukan pepatah yang kini terkenal, “saya berpikir; karena itu, saya ada” (dalam bahasa latin, Cogito ergo sum). Eksistensi “yang-berada yang berpikir” (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua pengetahuan. “Saya” atau “ego” bertempat di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak bergantung pada jenis iman apa pun, karena ketidakberadaannya itu mustahil selama saya tahu bahwa saya berpikir.

Begitu mencapai simpulan tersebut, Descartes menyadari bahwa itu mengundang masalah baru yang perlu dipecahkan. Descartes sendiri menolak berpihak kepada Plato yang memperlakukan badan sebagai ilusi, karena sebagai ilmuwan ia percaya bahwa badan itu sama nyatanya dengan benak. Ia justru mengambil sudut pandang metafisis yang dikenal sebagai “dualisme”, yang berarti bahwa baik benak maupun badan itu sama–sama dipandang nyata. Yang pertama merupakan “substansi pikir“ (res cogitans), sedangkan yang kedua merupakan “substansi ekstensi“ (res extensa). Sekalipun demikian, sekarang ia menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang badan kita, beserta keseluruhan alam ekstensi, tak pernah bisa sepasti pengetahuan kita tentang alam pikir kita. Kalau begitu, realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa? Bagaimana badan dan benak itu berkaitan?

Pertanyaan pertama dijawab oleh Descartes di meditasinya yang ketiga dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun suatu argumentasi yang kini disebut “argumen ontologis” tentang eksistensi Tuhan (yakni argumen yang hanya memanfaatkan pemahaman yang tepat mengenai konsep “Tuhan”). Bukti yang ia ajukan itu semacam ini: kita semua di dalam diri kita mempunyai idea “kesempurnaan”; setiap orang tahu bahwa “ego” yang ia yakini keberadaannya (yaitu benaknya sendiri) bukanlah Yang-Berada sempurna;i[1] sekalipun begitu, Yang-Berada sempurna ini pasti eksis pada aktualnya, karena kalau tidak, ia akan kurang sempurna. Artinya, jika konsep kita tentang Yang-Berada yang paling sempurna itu mengacu pada suatu Yang-Berada yang pada kenyataannya tidak eksis, maka Yang-Berada ini tidak akan sesempurna Yang-Berada sempurna yang benar–benar eksis. Lalu Descartes menyatakan bahwa, karena dengan jalan itu kita bisa yakin bahwa suatu Yang-Berada sempurna (“Tuhan”) itu eksis, dan karena Yang-Berada semacam ini pasti baik supaya sempurna, kita pun bisa yakin bahwa Yang-Berada semacam ini tidak akan menipu kita. Dalam menanggapi kritik-kritik yang mengira bahwa argumen semacam itu tak berujung-pangkal (yaitu bahwa argumen itu telah mengasumsikan hal yang hendak ia buktikan), Descartes memanfaatkan gagasan tentang “idea bawaan” (idea-idea yang hadir di benak kita pada waktu kita lahir, dan karenanya otentik sendiri), yang menegaskan bahwa “Tuhan” merupakan idea bawaan seperti halnya idea “ego” saya sendiri.

Kendati kita bisa menerima penjelasan teologis Descartes tentang alasan agar kita dapat mempercayai realitas dunia eksternal, masih ada persoalan tentang bagaimana pada aktualnya benak kita berkaitan dengan badan kita, jika memang keduanya pada hakikatnya merupakan dua substansi yang berbeda. Solusi Descartes atas masalah ini tidak begitu disetujui oleh rekan–rekannya sesama filsuf. Ia menduga bahwa suatu kelenjar kecil di dasar otak, yang disebut “kelenjar kerucut” bertanggung jawab untuk memastikan hubungan sebab-akibat antara benak dan badan. Pada zaman Descartes, ide yang dominan tentang badan manusia adalah bahwa badan itu mesin yang hidup, sehingga kapan saja suatu bagian bergerak, pergerakannya pasti disebabkan oleh suatu proses mekanis sedemikian rupa, sehingga beberapa bagian lain “tergeser” ke dalamnya sebagaimana adanya. Jadi, Descartes mengklaim bahwa bila benak ingin badan melakukan sesuatu, ini mempengaruhi kelenjar kerucutnya, entah bagaimana, sehingga memulai suatu reaksi berantai yang berakhir pada berlangsungnya tindakan yang dikehendaki. Jadi, jika benak saya menyuruh saya untuk melempar sepotong kapur tulis ini ke udara, gagasan ini berputar–putar di benak saya sampai mencapai cukup kekuatan untuk menimbulkan dampak yang signifikan, lalu gagasan ini memintas menuju kelenjar kerucut saya, yang menyampaikan serangkaian pergerakan melalui leher saya dan turun ke lengan saya, sampai akhirnya lengan saya mematuhi perintah itu, seperti ini!

Setelah menjelaskan dua cara utama Descartes dalam mempertahankan dualisme metafisisnya, sekarang kita bisa meringkas teorinya sebagai berikut:ii[2]

benak

res cogitans

(argumen

ontologis)

masalah

Tuhan benak-badan kelenjar kerucut

(penjelasan

biologis)

badan

res extensa

Gambar III.2: Solusi Descartes atas Masalah Benak-Badan

Dualisme Descartes mengandung beberapa konsekuensi penting. Untuk satu hal, paham ini mengganti definisi Aristoteles tentang manusia sebagai “hewan rasional” dengan gagasan tentang benak yang tertanam di mesin jasmani. Di bidang ilmu alam, gagasan ini berpengaruh besar dengan menyediakan pandangan kealaman bagi para ilmuwan yang memungkinkan mereka untuk mencapai (atau sekurang–kurangnya percaya bahwa mereka bisa mencapai) perspektif yang pada keseluruhannya obyektif tentang dunia eksternal, yang secara keseluruhan meredam segala pengaruh yang mungkin terdapat pada benak pengamat sendiri tentang pengetahuan yang kita capai. Dalam pengertian ini, dualisme Descartes bisa dianggap sebagai pembuka jalan bagi ilmu Newtonian. Pandangan bahwa ego manusia mengendalikan dunia material, walau kini dipersoalkan oleh banyak pemikir modern (lihat Kuliah 18, misalnya), merupakan pandangan yang memungkinkan teknologi berkembang dengan sangat pesat pada tigaratus tahun terakhir.

Selama menyangkut metafisika, konsekuensi dualisme Descartes yang paling signifikan adalah bahwa dualisme ini memicu kontroversi baru, yang biasanya dikenal sebagai “masalah benak-badan”. Pandangan Descartes sendiri tampaknya sangat tidak masuk akal; namun adakah cara yang lebih baik untuk menjelaskan kesalingaruhan yang tampak antara benak dan badan? Perdebatan perihal jawaban yang tepat atas pertanyaan ini mulai berlangsung tidak lama kemudian dan sesungguhnya masih terjadi di beberapa lingkungan filosofis saat ini. Sebagai contoh, salah satu buku yang paling berpengaruh yang ditulis oleh seorang filsuf analitik abad keduapuluh, Gilbert Ryle, The Concept of Mind, bermula dengan argumen bahwa dualisme Descartes didasarkan pada “kekeliruan kategori” dan bahwa pemahaman yang tepat tentang cara pemakaian kata–kata seperti “benak” dan “badan” bisa memecahkan seluruh masalah benak–badan seketika dan selamanya.

Kontroversi benak–badan mencapai puncaknya segera sesudah penerbitan karya Descartes, Meditations. Kita tidak punya waktu untuk analisis yang mendalam terhadap argumen–argumen yang mengemuka tadi. Namun demikian, memberi tinjauan singkat perihal lima alternatif yang paling menonjol terhadap posisi Descartes, yang masing–masing disajikan beserta penganjurnya yang paling berpengaruh, itu mungkin sangat berguna. Mereka ialah:

(1) Materialisme: Thomas Hobbes (1588–1679) menyatakan bahwa yang sebenarnya eksis itu hanya materi. Benak itu hanya konfigurasi bahan (atau materi) otak secara khusus. Karena itu, tidak ada masalah interaksi, karena pada keseluruhannya sistem itu bersifat fisis. Pandangan ini serupa, walau tidak persis sama, dengan realisme Aristoteles.

(2) Immaterialisme: George Berkeley (1685–1753) menyatakan bahwa sebenarnya yang eksis itu hanya persepsi. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa eksistensi materi itu mandiri di luar benak pencerap. Karena itu, tidak ada masalah interaksi, karena pada keseluruhannya sistem itu bersifat spiritual. Pandangan ini serupa, walau tidak persis sama, dengan idealisme Plato.

(3) Paralelisme: Nicolas Malebranche (1638–1715) menyatakan bahwa sesungguhnya benak dan badan itu merupakan substansi yang terpisah, tetapi pada aktualnya tidak berinteraksi. Benak dan badan kelihatannya berinteraksi manakala pikiran, benak dan tindakan badan itu berjalan sejajar satu sama lain; namun dalam kejadian seperti ini, persesuaiannya diatur langsung oleh Tuhan.

(4) Teori Aspek Ganda: Benedictus de Spinoza (1632-1677) menyatakan bahwa benak dan badan (seperti semua materi dan spirit) adalah dua aspek dari satu realitas dasar, yang bisa disebut “Tuhan” atau “Alam”, tergantung pada bagaimana subyek memandangnya. Realitas adalah seperti sekeping uang logam dengan dua muka yang cukup berlainan, tetapi keduanya sama–sama benar sebagai deskripsi tentang koin ini.

(5) Epifenomenalisme: David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa benak itu bukan apa–apa kecuali sebundel persepsi yang muncul dari badan. Di kemudian hari, para filsuf mempertajam pandangan ini dengan menyatakan bahwa badan (terutama otak) merupakan realitas utama, tetapi badan ini menciptakan benak. Sebagian filsuf menyatakan bahwa begitu benak muncul, benak itu mempunyai realitas sendiri.

Saya hendak menyimpulkan kuliah ini dengan mengemukakan satu perbedaan yang sangat signifikan antara metafisika Descartes dan metafisika Plato-Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles, dan bagi hampir semua filsuf selama duaribu tahun sepeninggal mereka, jawaban atas pertanyaan dasar epistemologi (“Apa yang bisa saya ketahui?”) tergantung pada jawaban terdahulu atas pertanyaan dasar metafisika (“Apa yang pada hakikatnya nyata?”) Bagi Descartes, justru sebaliknyalah yang benar. Sebagaimana yang telah kita amati, ia memulai penyelidikannya dengan menanyakan apa yang bisa kita ketahui dengan pasti, dan hanya atas dasar jawaban atas pertanyaan inilah ia menyusun dualisme metafisisnya.

Seperti yang akan kita lihat di Kuliah 8, metafisikawan berikutnya yang gagasannya akan kita ulas juga memberi prioritas pada epistemologi. Karena itu dengan menjajagi kuliah tersebut sepintas lalu, kita dapat memanfaatkan salib sebagai peta pertalian antara metode–metode yang diterapkan oleh empat metafisikawan yang kita pelajari di Bagian Satu ini:

Dialog Plato

prioritas pada

metafisika

Ilmu Aristoteles Kritik Kant

prioritas pada

epistemologi

Kesangsian Descartes

Gambar III.3: Empat Metode Filosofis Pokok

Salah satu bahaya besar bagi mahasiswa pemula dalam studi fisafat adalah bahwa mereka mungkin dijejali dengan anekaragam sudut pandang dan pendapat yang terungkap pada bidang studi yang ia kaji, semisal metafisika. Meskipun peta–peta seperti di atas itu tak pelak lagi terlampau menyederhanakan pertalian yang rumit di antara empat filsuf tersebut, peta-peta itu bisa membantu kita untuk mendapatkan pegangan tentang persamaan dan perbedaan mereka, di samping menyiratkan wawasan yang lebih luas tentang berbagai hal. Umpamanya, diagram tersebut menyiratkan bahwa perkembangan filsafat Barat dapat dianggap sebagai proses yang berjalan pelan–pelan, sebagaimana adanya, dari wawasan yang tertinggi dan paling jauh ke landasan penalaran insani yang terdalam. Di dua kuliah mendatang, kita akan membahas lebih lanjut siratan ini yang akan memberi kita paparan yang akurat mengenai kontribusi Kant terhadap akar–akar pohon filosofis kita.

8. Filsafat Sebagai Kritik Transendental

Filsuf terakhir yang ide-idenya tentang metafisika akan kita bahas secara rinci di Bagian Satu matakuliah ini ialah orang yang pengaruhnya terhadap filsafat pada duaratus tahun terakhir ini, baik di Barat maupun di Timur, tak bisa diremehkan. Ia hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles: seorang pemikir yang ide-idenya harus diterima atau ditolak, tetapi tidak bisa diabaikan. Bahkan, ada yang menyatakan, dengan sah, bahwa filsafat di duaratus tahun ini bagaikan serangkaian catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya! Ada pula yang memandang bahwa sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: suatu sistem acuan intelektual yang berlaku. (Skolastikawan ialah para teolog abad pertengahan yang menggunakan filsafat untuk menafsirkan agama Kristen, yang juga berspekulasi pada persoalan–persoalan seperti berapa banyak malaikat yang dapat melewati sebuah lubang jarum. Skolastikisme mencapai puncaknya pada karya Thomas Aquinas, namun menjadi kurang berpengaruh setelah Descartes tampil.) Seperti Aristoteles, pemikir besar ini menulis tentang hampir semua tema pokok filsafat dan mempunyai pengaruh yang segera dan bertahan lama terhadap cara pikir orang–orang—filsuf dan non-filsuf. Kita akan sering menilik pemikir ini pada kuliah–kuliah mendatang, namun hari ini kita hanya akan memperhatikan segi filsafatnya yang paling dekat hubungannya dengan metafisika.

Dialah Immanuel Kant (1724–1804) yang lahir dari keluarga kelas pekerja di Königsberg (kini Kaliningrad), kota pelabuhan Prusia. Ia hidup dengan tenang, teratur, tak pernah kawin, tak pernah bepergian lebih dari limapuluh kilometer dari tempat kelahirannya sepanjang hayatnya. Kant sering menjadi subyek karikatur secara agak tak wajar, semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai–sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari! Akan tetapi, saya lebih menganggap bahwa cerita semacam itu mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri. Ini karena, seperti yang akan kita amati, barangkali pandangan filosofis Kant bersifat sitematis sepenuhnya, yang diatur dengan suatu pola ide teratur yang saling berkaitan. Sesudah ia meninggal, epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan “Sang Filsuf“—sebuah sebutan yang tepat, dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant.

Kant terdorong untuk menggagas metode filosofis baru itu karena alasan yang sama dengan alasan Descartes: ia bertanya dalam hati mengapa ilmu–ilmu lain maju pesat, tetapi metafisika tidak demikian. Sekalipun begitu, jawabannya atas pertanyaan ini bukan hanya mengabaikan masalah benak-badan seluruhnya, melainkan juga kontribusi utama Descartes lainnya: yakni keyakinannya akan obyektivitas mutlak dunia eksternal.iii[3] Kant mengajukan pertanyaan baru: benarkah anggapan Descartes (dan kebanyakan filsuf lainnya) bahwa obyek yang kita alami dan menjadi kita ketahui merupakan benda di dalam lubuknya (thing in itself)? Istilah “benda di dalam lubuknya” merupakan istilah teknis yang ia pakai untuk membahas hakikat realitas terdalam; ini berarti “benda di alam, yang dipandang lepas dari kondisi-kondisi yang memungkinkan diketahuinya segala sesuatu tentang benda ini.” Dengan adanya definisi ini, tegas Kant, benda di dalam lubuknya pasti tak terketahui. Dengan berlawanan sama sekali dengan Descartes, yang mensyaratkan bahwa titik awalnya adalah unit pengetahuan yang kepastiannya mutlak, titik tolak sisten pemikiran filosofis Kant adalah yakin akan realitas benda-benda yang di dalam lubuknya masing-masing tak terketahui. (Ini hanya salah satu perbedaan metode filosofis antara Descartes dan Kant yang saling bertentangan.)

Kant menamai sendiri cara berfilsafatnya: metode “Kritis”. Judul tiga buku utamanya, yang di dalamnya ia kembangkan Sistemnya, masing-masing dimulai dengan kata “Kritik”. Setiap buku itu menggunakan “sudut pandang” yang berlainan; masing-masing menghadapi semua pertanyaan masing-masing dengan ujung pandang khusus. Kritik pertamanya, (CPR), pusat perhatian kita pada kuliah ini, mengambil sudut pandang teoretis. Ini berarti jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan ini berkenaan dengan pengetahuan kita. Dua Kritik lainnya, seperti yang akan kita amati pada waktunya nanti, kadang-kadang menjawab pertanyaan yang sama itu dengan cara yang berbeda, karena mengambil sudut pandang yang berbeda. Oleh sebab itu, mengakui perbedaan antara sudut-sudut pandang itu penting sekali demi ketepatan pemahaman tentang filsafat Kant. Kita dapat menggambarkan kesalingterkaitan antara tiga bagian dari Sistem Kant dengan cara sebagai berikut:

I. Kritik Akal Murni

(Critique of Pure Reason)

sudut pandang teoretis

III. Kritik Penimbangan

(Critique of Judgment)

sudut pandang yudisial

II. Kritik Akal Praktis

(Critique of Practical Reason)

sudut pandang praktis

Gambar III.4: Kritik Kant dan Sudut Pandangnya

Pembandingan Gambar iii.4 dengan Gambar ii.6 menyiratkan bahwa metode Kritis merupakan bentuk baru metode Sokratik. perhatian utama Sokrates adalah mencermati diri-sendiri dan orang lain dalam pencarian kealiman, sedangkan metode Kritis Kant menghajatkan pemeriksaan terhadap akal itu sendiri. Dengan kata lain, “kritik” yang benar, bagi Kant, adalah suatu proses yang dengannya akal bertanya kepada akal itu sendiri mengenai jangkauan dan batas-batas kekuatannya sendiri. Tujuan pemeriksaan diri tersebut adalah menemukan, untuk sekali dan selamanya, semua tapal batas antara apa yang bisa dan yang tak bisa dicapai oleh akal manusia. di setiap “pengetahuan”, kita mencapai “kondisi-transendental”—begitulah Kant menyebutnya—pengetahuan empiris. Jadi, metode kritisnya mensyaratkan “refleksi transendental”, yang arti sederhananya adalah memikirkan kondisi-niscaya (atau syarat-perlu) posibilitas pengalaman. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti benar; kalau tidak, pengalaman itu sendiri akan mustahil. Kant menyebut bahwa segala yang di luar tapal batas itu “transenden”; karena manusia tak pernah mengalami hal-hal sedemikian itu, yang disebut “nomena”, hal-hal tersebut tak bisa diketahui sama sekali oleh akal manusia. Akan tetapi, segala yang di dalam tapal batas itu menegaskan hal-hal yang terbuka untuk dipelajari melalui “refleksi empiris” umum. Obyek yang bisa diketahui secara empiris ini ia sebut “fenomena”. Pembedaan antara obyek empiris, “benda” transenden, dan perspektif transendental itu, seperti yang tampak di Gambar III.5, merupakan salah satu pembedaan terpenting di keseluruhan sistem teoretis Kant.

kondisi transendental

benda” transendental

yang tak terketahui

(nomena)

obyek empiris

yang bisa diketahui

(fenomena)

Gambar III.5: Tapal Batas Transendental Ala Kant

Pada ketiga Kritik masing-masing, Kant menampilkan tipe pemeriksaan-diri-akal yang berbeda-beda; ia menyelidiki tapal batas antara apa yang bisa dan yang tak bisa kita ketahui (teoretis) di Kritik pertama, antara apa yang harus dan yang jangan sampai kita lakukan (praktis) di Kritik kedua, dan antara apa yang bisa dan yang tak bisa kita harapkan (yudisial) di Kritik ketiga. Katanya, tiga perkara ini bisa dirangkum sebagai upaya untuk memahami identitas “manusia”; jadi, empat pertanyaan yang terlihat di Gambar III.6 memaparkan hubungan yang sistematis antara unit-unit karya filosofisnya sendiri. Pertalian antara empat pertanyaan tersebut perlu diperhatikan manakala kita membahas Kant (terutama pada Kuliah 22, 29, 32, 33), karena ia sendiri mengingatkan bahwa demi memahami ide-idenya dengan tepat, pembacanya harus menangkap “ide keseluruhannya” (CPR 37).

Apakah manusia itu?

Apa yang bisa Apa yang bisa

saya harapkan? saya ketahui?

Apa yang harus saya lakukan?

Gambar III.6: Empat Pertanyaan Filosofis Ala Kant

Metode baru Immanuel Kant mensyaratkan bahwa kita melihat kebenaran di kedua sisi yang bertolak belakang, mengakui bahwa itu saling membatasi, dan, akibatnya, mengambil sudut pandang yang mengiyakan hal-hal yang sah di kedua sisi itu.iv[4] Dengan mengharap bahwa anda ingat akan Kuliah 7, [perhatikanlah bahwa] metode baru ini berlawanan tajam dengan metode Descartes; metode Descartes memandang salah Plato atau pun Aristoteles, sedangkan metode Kant memandang benar keduanya, seperti yang terlihat di bawah ini:

Dialog Plato

perspektif

transendental

Kesangsian Descartes Kritik Kant

(keduanya salah) (keduanya benar)

perspektif

empiris

Teleologi Aristoteles

Gambar III.7: Descartes Lawan Kant tentang Plato Dan Aristoteles

Menurut Kant, baik Plato maupun Aristoteles membuat kekeliruan, sebagaimana sebagian besar filsuf Barat lainnya, yang berupa pengabaian sudut pandang yang berkebalikan dan pengambilan posisi ekstrim yang akhirnya hanya mengungkap setengah kebenaran. Jika pandangan Kant tentang “benda di dalam lubuknya” benar, maka kata-kata Plato benar bahwa obyek-obyek pengalaman hanya merupakan penampakan dari benda di dalam lubuknya; karena kala mengatakannya, ia mengambil perspektif “transendental” Kant. Begitu pula, kata-kata Aristoteles pun benar bahwa penampakan merupakan obyek sejati ilmu (yakni pengetahuan); karena kala mengatakannya, ia mengambil perspektif “empiris” Kant. Pada keduanya, kekeliruan mereka disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka belum mengakui kebebalan mereka perihal benda di dalam lubuknya. Kelalaian inilah yang menyebabkan Plato berkeyakinan keliru bahwa kita bisa mencapai pengetahuan mutlak dari idea belaka dan inilah yang menyebabkan Aristoteles berkeyakinan keliru bahwa substansi merupakan realitas terdalam. Jadi, metode Kritis mendorong kita untuk tidak hanya mensintesis idealisme Plato dan realisme Aristoteles, tetapi juga menjelaskan kebenaran keduanya, yang melestarikan paham-paham ini sedemikian lama, dan juga kekeliruan yang menyebabkan paham-paham itu berpembawaan tidak memuaskan. Nah, mari kitas selidiki bagaimana Kant menyelesaikan tugas itu.

Pada Pengantar Kritik pertama edisi kedua, Kant beralih ke ilmu-ilmu yang mapan dengan harapan mendapatkan gelagat kesuksesan ilmu-ilmu itu. Ia dapati, logika bisa menjadi ilmu yang eksak hanya bila bidang penyelidikannya dibatasi dengan jelas (CPR 18). Matematika berkembang hanya kala orang-orang mulai mencari karakteristik yang niscaya dan semestawi yang terkandung dalam obyek-obyek yang kita pertalikan, bukan hanya karakteristik aksidentalnya (19). Ilmu-ilmu alamiah berhasil hanya tatkala berjalan menurut rencana yang ditentukan lebih dahulu (20). Dengan dilengkapi dengan isyarat-isyarat ini, Kant memperoleh satu gelagat akhir dengan beralih ke seorang ilmuwan istimewa, yang wawasan hebatnya banyak mengubah cara pandang kita terhadap alam semesta.

Dialah Nicolaus Copernicas (1473-1543), seorang astronom Polandia yang berani mempersoalkan asumsi yang telah lama dianut bahwa bumi adalah piringan datar yang terletak di tengah-tengah alam semesta. Ia yakin, anggapan itu menjauhkan kita dari penjelasan mengapa sebagian planet bergerak memutar tatkala berjalan melewati langit dari malam ke malam, dan kemudian memutar lagi untuk melanjutkan perjalanan searah dengan bintang-bintang. Maka ia memutuskan untuk mencoba asumsi bahwa matahari pada aktualnya berada di tengah-tengah alam semesta, sedangkan bumi dan planet-planet lain semuanya adalah bola bundar yang berputar mengelilingi matahari. Dengan menggunakan asumsi baru ini, bersama-sama dengan klaim bahwa bumi pun berputar mengelilingi porosnya sendiri, ia merasa dapat menjelaskan secara matematis bagaimana semua planet pada kenyataannya selalu bergerak di suatu orbit yang menyerupai lingkaran, walaupun kelihatannya arahnya berbeda bila diamati oleh pengamat di bumi.

Kant menyarankan, kita sebaiknya mencoba eksperimen serupa terhadap metafisika (lihat Gambar III.8).v[5] Para filsuf di masa lalu bukan hanya selalu menganggap benda di dalam lubuknya bisa diketahui, melainkan juga selalu menganggap pengetahuan kita pasti dengan sendirinya cocok dengan obyek, bukan sebaliknya. Mengapa tidak mencoba asumsi yang sebaliknya? Mungkin di metafisika, seperti di astronomi, peri yang benar tentang apa yang kelihatannya benar itu berbeda dengan peri yang benar tentang apa yang pada kenyataannya benar. Dengan kata lain, Kant mengusulkan agar perihal metafisika, yang lebih tepat mungkin mengatakan bahwa obyek-obyek dengan sendirinya cocok dengan pengetahuan subyek (yakni cocok dengan benak manusia)!

Matahari Bumi

Bumi Matahari

(a) Penampakan (b) Realitas

Kunci:

Matahari = obyek

Bumi = subyek

pergerakan = sumber pengetahuan

diam = cocok dengan sumber tersebut

Gambar III.8: Revolusi Copernican Kant

Perspektif transendental” baru ini mungkin kedengarannya cukup ganjil. Bagaimana bisa dimengerti, sebagai misal, bahwa pengetahuan saya tentang kapur tulis ini bukan bergantung pada kapur tulis itu sendiri, melainkan pada benak saya? Menurut cara pikir (empiris) kita sehari-hari, pengetahuan saya bahwa kapur tulis ini putih tentu saja sama sekali tidak berasal dari penemuan oleh benak; namun pada faktanya, bisa diamati dengan gamblang bahwa kapur tulis ini tampak putih. Kant tidak pernah menyangkal kebenarannya. Yang ia sangkal adalah bahwa penampakan semacam itu merupakan realitas metafisisnya; penampakan itu justru berada dalam ranah fisika dan ilmu [alamiah] lainnya. Intinya adalah bahwa terdapat realitas transendental lain yang sama-sama sah sebagai cara pikir tentang obyek-obyek yang terungkap dengan lebih mendalam, dan bahwa bila kita berpikir dengan cara ini, ketika kita berpikir tentang kebenaran apa yang niscaya perihal pengalaman kita tentang sepotong kapur tulis ini, maka ternyata bahwa unsur-unsur pengetahuan kita ini berasal dari benak kita, bukan dari obyek itu sendiri. Oleh sebab itu, yang empiris dan yang transendental harus diakui sebagai dua sisi suatu koin, dua perspektif, yang keduanya memberi kita cara pandang yang benar terhadap dunia nyata, namun terbatas.

Lantas, apa saja syarat-transendental posibilitas pengalaman? Dengan kata lain, unsur-unsur apa sajakah yang keniscayaannya mutlak yang, menurut Kant, “pergerakannya” merupakan tapal batas antara pengetahuan kita yang nirmustahil dan kebebalan kita yang niscaya? Setengah bagian pertama dari Critique of Pure Reason berupaya menemukan dan membuktikan kesahihah-niscaya serangkaian syarat-syarat itu. Dalam proses pemenuhan tugas ini, Kant mengemukakan bahwa semua pengetauan empiris tersusun dari dua unsur: intuisi dan konsep. Intuisi adalah segala hal yang “diberikan” kepada indera kita, dan merupakan material di luar benak (yang menghasilkan pengetahuan kita). Demi maksud kita di sini, kita bisa memandang “intuisi” sebagai “cara kerja indera kita”. Konsep adalah kata atau pikiran yang kita pakai untuk mengelola intuisi kita secara aktif menurut berbagai aturan berpikir.

Kant berupaya membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan “bentuk intuisi” transendental, sedangkan sejumlah duabelas kategori tertentu merupakan “bentuk konsepsi” transendental. Kategori-kategori itu tertata dalam empat kelompok yang disebut “kuantitas”, “kualitas”, “relasi”, dan “modalitas”, yang masing-masing terdiri dari tiga kategori, seperti yang tampak pada Gambar III.9. Pada jam kuliah ini kita bebas mengabaikan rincian bagian-bagian dari teori Kant ini tanpa risiko, karena Kuliah 21 akan mencakup tinjauan yang lebih mendalam terhadap kategori terpenting, kausalitas. Lagipula, sebagaimana yang akan kita kaji di Pekan V, memahami bentuk logis serangkaian kategori tersebut lebih penting daripada memahami alasan Kant mengapa ia memilih duabelas kategori ini. Yang pokok dalam hal ini adalah memahami fungsi kategori-kategori tersebut, di samping ruang dan waktu, bentuk intuisinya yang berposisi berimbang.

nasib

aktualitas kesatuan

posibilitas Modalitas Kuantitas pluralitas

timbal-balik totalitas

kausalitas Relasi Kualitas realitas

substansi negasi

batasan

Gambar III.9: Pembagian Kategori Lipat-Duabelas Ala Kant

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap teori Kant tentang forma intuisi dan forma konsepsi, kita harus cermat dalam menanggapi pertanyaan seperti “Bagaimana mungkin saya tahu segalanya tentang sepotong kapur tulis ini?” dengan mempertimbangkan apakah ini pertanyaan empiris ataukah transendental. Jika transendental, maka jawabannya, menurut Kant, adalah bahwa benak kita sendiri memaksakan suatu kerangka ruang dan waktu atas obyek itu, sehingga melalui kerangka ini kita mampu mencerap keberadaannya, dan suatu kerangka kategori, sehingga melalui kerangka ini kita mampu memikirkan hakikatnya. Saya pikir kita semua akan setuju bahwa jika sepotong kapur tulis ini tidak terlihat oleh kita di ruang dan waktu kita, maka kita takkan bisa mencerapnya, dan bahwa kita memerlukan suatu konsep (“kapur tulis”), di samping memerlukan aturan-aturan umum perihal berpikir, dengan maksud mendapatkan pengetahuan apa saja tentang cerapan ini (atau lainnya). Pemeriksaan atas tatapikir semacam itu akan menjadi salah satu dari tugas utama kita di Bagian Dua.

Klaim Kant yang paling kontroversial adalah bahwa kedua kondisi-niscaya pengetahuan tersebut tidak bisa dijelaskan kecuali bila kita mengakui bahwa keduanya berakar pada benak manusia itu sendiri. Karena para filsuf saja selama duaratus tahun telah bersilang pendapat tentang apakah klaim yang disebut “Revolusi Copernican” dalam dunia filsafat ini pada kenyataannya masuk akal ataukah tidak, saya yakin kita tidak akan menyudahi persoalan ini sekarang; akan tetapi, saya harap anda sendiri memikirkan persoalan ini dengan lebih cermat. Di Kuliah 9 mendatang, saya akan membahas beberapa implikasi metafisis dari Kritik pertama dan mengulas secara singkat bagaimana Kant mempengaruhi metafisika selama duaratus tahun terakhir ini. Klaim saya nanti adalah bahwa pandangan Kant menggambarkan wawasan Sokrates, yang tersaji dalam bentuk benih, dalam versi yang dewasa sepenuhnya.

9. Filsafat Selepas Kritik

Khazanah epistemologis Kant segera berdampak kuat terhadap semua bidang penyelidikan filosofis, yang mendatangkan suatu zaman [baru] yang disebut “era modern” filsafat Barat dan membangkitkan serangkaian panjang filsafat “pascamodern” atau “pasca-Kritis”. Sebelum menyinggung bagaimana Kant mempengaruhi perkembangan metafisika sepeninggalnya, saya akan secara singkat memeriksa implikasi metafisis, yang diyakini oleh Kant sendiri, dari epistemologinya.

Kant mengemukakan bahwa kondisi transendental pengetahuan (yakni ruang dan waktu dan kategori-kategori) memancangkan tapal batas mutlak yang memungkinkan kita untuk menimbang realitas yang bisa dan yang tidak bisa kita ketahui. Segala konsep yang tidak disertai dengan intuisi yang bersesuaian dengan ini, atau segala intuisi yang tidak bisa dikonsepkan, tidak akan bisa digunakan untuk membangun pengetahuan. Namun demikian, manakala seseorang memperoleh suatu pengetehuan empiris, akalnya tak pelak lagi membangun “idea-idea” tertentu tentang hal-hal yang berada di luar tapal batas pengetahuan kita. Menurut Kant, yang terpenting dalam hal ini adalah idea-idea metafisis tentang “Tuhan, kebebasan, dan keabadian”: akal memaksa kita untuk mengasumsikan keberadaan tiga idea tersebut, namun kita tak dapat membuktikan bahwa ketiganya merupakan obyek yang realitasnya kita ketahui. Kenyataan bahwa kita bebal perihal tiga aspek terpenting kehidupan manusia itu merupakan masalah, sebagaimana yang terlukis dalam Gambar III.10, yang solusinya merupakan tugas utama filsafat.

ruang dan waktu

Tuhan, kebebasan,

dan keabadian

idea-idea

pengetahuan empiris

kebebalan-niscaya

(“iman”)

12 kategori

Gambar III.10: Masalah “Idea-Idea” Kantian

Kant sendiri memecahkan masalah tersebut dengan menuntut bahwa kita harus mengubah sudut pandang pemikiran kita bila kita berhasrat untuk mengiyakan keyakinan kita akan idea-idea tersebut. Pada Kuliah 22 dan 29 kita akan menelaah dua contoh tindakan yang ia sarankan. Untuk kali ini, cukup dikatakan bahwa Kant sendiri yakin bahwa pengakuan batas-batas pengetahuan sangat baik demi metafisika. Dalam CPR 29, ia mengakui, “Saya telah … mendapati bahwa kita perlu menolak pengetahuan, supaya ada ruang bagi keyakinan.” Suatu pengakuan keterbatasan akal secara jujur dan berani mungkin membuat tugas filsafat lebih sulit dan rawan, tetapi sebagaimana yang akan kita pelajari di Kuliah 32 dan 33, inilah cara terbaik (kalau bukan satu-satunya cara) untuk melanggengkan kebermaknaan hidup manusia.

Sekarang kita bisa merangkum corak utama metafisika Kant yang berkenaan dengan empat ajaran fundamental berikut ini:

1. Realitas hakiki (“transenden”)—yakni realitas yang lepas dari kondisi-kondisi yang membatasi kita dalam mempelajarinya—merupakan benda di dalam lubuknya yang tak bisa diketahui.

2. Realitas empiris—yakni aspek-khusus pengetahuan kita—ditentukan oleh “penampakan” yang kita alami (bandingkan Aristoteles).

3. Realitas transendental-yakni aspek-umum pengetahuan kita (terutama ruang dan waktu sebagai “forma intuisi”, dan duabelas kategori sebagai “forma pikiran”)—ditentukan oleh subyek yang mengetahuinya (bandingkan Plato).

4. Pengetahuan itu tentu menimbulkan ide-ide mengenai realitas hakiki yang bolehjadi, sekiranya kita bisa mengetahuinya; namun upaya untuk membuktikan ide-ide ini menyebabkan akal menjadi berkontradiksi-diri, sehingga ide-ide ini tidak akan menjadi unit-unit pengetahuan ilmiah.

Implikasi dari Sistem filsafat Kant yang mencuat dari ajaran-ajaran tersebut berlipat-lipat. Dalam hal ini, mari kita amati empat implikasinya yang paling signifikan bagi metafisika.

Pertama, bila kita pikir Sokrates menanam “benih” di sejarah filsafat Barat dengan gagasannya bahwa para filsuf harus bertolak dari pengakuan hal-hal yang tidak mereka ketahui, maka pohon yang tumbuh dari benih ini berbuah untuk pertama kalinya bersama-sama dengan Kant. Kant setuju bahwa filsafat bermula dengan pengakuan kebebalan; sesungguhnya, ia pun menegaskan bahwa “manfaat yang tak terhitung nilainya” dari Kritik Pertama adalah “bahwa semua keberatan atas moralitas dan agama akan terbungkam selamanya, dan [kebungkaman] ini dalam nuansa Sokratik, yakni [terbungkam] oleh bukti terjelas yang berupa kebebalan pengamat obyek” (CPR 30). Namun ia melangkah lebih jauh daripada Sokrates dengan menetapkan garis pemisah yang tajam, tapal batas yang berada tepat di antara kawasan “kebebalan-niscaya” dan “pengetahuan-nirmustahil”: kita mungkin dapat memikirkan suatu konsep yang tidak bisa diintuisikan, atau merasakan suatu intuisi yang tidak bisa dikoneptualkan; namun kita hanya bisa mengetahui hal-hal yang tampak dalam bentuk yang terbuka terhadap intuisi dan konsepsi. Selanjutnya, Kant memperbedakan antara dua tipe kebebalan (605-606): kebebalan-aksidental dalam hal persoalan empiris mesti mendorong kita untuk memperluas pengetahuan kita, sedangkan kebebalan-niscaya dalam hal persoalan metafisis mesti mendorong kita untuk melampaui pengetahuan menuju tujuan praktis berfilsafat—yakni untuk hidup dengan lebih baik.

Oleh sebab itu, berkat Kant, metafisika akhirnya mencapai kedewasaan. Setelah selama duaribu tahun para filsuf berupaya memberantas kebebalan-niscaya dengan pengetahuan metafisis, Kant menuntaskan daur historis filsafat Barat dan, dengan demikian, menguak sejumlah masalah yang benar-benar baru. Ini karena implikasi berikutnya dari Sistem Kant adalah bahwa kini kita harus mendapatkan jalan untuk menanggulangi kebebalan-niscaya kita. Bagaimana kita bisa berfilsafat tanpa berpengetahuan tentang realitas terdalam? Duaratus tahun terakhir ini filsafat merupakan serentetan berbagai usulan tentang bagaimana hal itu bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Solusi Kant sendiri, teori “Copernican”-nya bahwa si subyek membaca kondisi transendental pengetahuan pada obyek, ditolak oleh kebanyakan filsuf sepeninggalnya. Akan tetapi, saya pikir sebaiknya kita tidak buru-buru menolak teori yang kedengarannya agak ganjil itu. Seperti halnya “cogito” Descartes melapangkan jalan bagi fisika Newtonian, saya yakin revolusi Copernican Kant melapangkan jalan bagi relativitas dan mekanika kuantum yang sama-sama berpandangan bahwa si pengamat turut-serta dalam pembentukan pengetahuan.

Lantaran Kant telah menetapkan batas-batas pengetahuan manusia secara sedemikian tajam, kita bisa mengatakan bahwa filsafat menjadi lebih lengkap dengan kehadiran Kant daripada sebelumnya. Kant sendiri sangat menyadari aspek Sistemnya itu (CPR 10):

I have made completeness my chief aim, and I venture to assert that there is not a single metaphysical problem which has not been solved, or for the solution of which the key at least has not been supplied.

(Saya telah menuntaskan sasaran utama saya, dan saya terjun untuk menegaskan bahwa tidak ada satu masalah metafisis yang belum terpecahkan, atau sekurang-kurangnya solusi yang kuncinya belum tersedia.)

Menariknya, bila anda menoleh ke bahasan kita tentang mitos di Kuliah 3, anda mungkin ingat bahwa mitos apa pun merupakan sesuatu yang terkurung dalam batas-batas [lihat Gambar I.7]. Jadi, saya pikir, benarlah pernyataan bahwa dengan kehadiran Kant, filsafat Barat mengalami suatu “pergeseran paradigma” sehingga kita bisa mengatakan, Kant memberi filsafat suatu “mitos” baru—mitos tentang benda di dalam lubuknya. Tentu saja, selama kita memperlakukan ini sebagai mitos yang “tercerahkan”—yakni selama kita selalu mengingat kemitosannya, sehingga tidak memperlakukannya sebagai kebenaran mutlak, tetapi sebagai asumsi dasar yang dipungut secara longgar berdasarkan keyakinan—kita bisa menghindari banyak kesukaran yang “hidup di dalam mitos”, kecuali kalau tak terelakkan.

Implikasi keempat dari filsafat Kant adalah bahwa tuntutannya akan kawasan kebebalan-niscaya manusia itu menjadikan filsufnya rendah hati. Ini tampaknya mungkin mengejutkan, terutama bagi anda yang telah membaca beberapa tulisan Kant sendiri, karena jelas-jelas Kant tidak bebal perihal kehebatan prestasinya sendiri. Pada beberapa kesempatan, ia dengan bangga mengklaim bahwa Sistemnya lebih unggul daripada sistem-sistem para filsuf terdahulu semuanya. Yang saya tunjukkan di sini adalah bahwa, sementara kebanyakan filsuf memanfaatkan ide-ide spekulatif tertentu, yang memerlukan akses ke beberapa jenis pengetahuan transenden yang istimewa yang tidak bisa diakses oleh orang awam, filsafat Kant mengganti itu semua dengan hipotesis-hipotesis. Ia menempatkan para filsuf pada umumnya secara sejajar, bahkan juga sejajar dengan para non-filsuf, bila mengenai kemampuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai persoalan-persoalan metafisis yang paling dasar. Implikasi dari filsafatnya ini acapkali terlewatkan, juga oleh mereka yang bertahun-tahun mengkaji tulisan-tulisannya, karena Kant mengungkap ide-idenya dengan peristilahan yang serumit itu. Sekalipun demikian, Kant menyatakan aspek “rendah hati” dari Sistem Kritisnya dengan cukup jelas beberapa kali. Salah satu contoh terbaiknya, menjelang halaman terakhir Kritik pertama (651-652), dikutip dengan seutuhnya:

But, it will be said, is this all that pure reason achieves in opening up prospects beyond the limits of experience? … Surely the common understanding could have achieved as much, without appealing to philosophers for counsel in the matter.

I shall not dwell here upon the service which philosophy has done to human reason through the laborious efforts of its criticism, granting even that in the end it should turn out to be merely negative … But I may at once reply: Do you really require that a mode of knowledge which concerns all men should transcend the common understanding, and should only be revealed to you by philosophers? Precisely what you find fault with is the best confirmation of the correctness of the [Critical philosophy]. For we have thereby revealed to us, what could not at the start have been foreseen, namely, that in matters which concern all men without distinction nature is not guilty of any partial distribution of her gifts, and that in regard to the essential ends of human nature the highest philosophy cannot advance further than is possible under the guidance which nature has bestowed even upon the most ordinary understanding.

(Namun akan dikatakan, sungguhkah akal murni itu berhasil menyingkap tabir melantas batas-batas pengalaman? … Pikiran awam tentu bisa juga sampai di situ tanpa memohon wejangan kepada para filsuf dalam hal itu.

Di sini saya tidak akan berpanjang-tutur tentang jasa filsafat yang telah dihibahkan kepada akal manusia melalui jerih payah kritikannya, yang juga memberi sesuatu yang pada akhirnya menjadi negatif belaka … Akan tetapi, saya bisa menukas seketika: Sesungguhnyakah anda menghajatkan bahwa ragam pengetahuan yang menyangkut semua orang harus melampaui pikiran awam, dan hanya bisa tersingkap kepada anda oleh para filsuf? Kesalahan yang anda dapati dengan cermat itu merupakan pengukuhan terbaik perihal kebenaran [filsafat Kritis]. Lantaran dengan demikian, kita mengungkap sendiri hal-hal yang pada awalnya tak terduga, yakni bahwa dalam hal-hal yang menyangkut semua manusia tanpa pandang bulu, alam tidak bersalah atas segala distribusi parsialnya, dan bahwa berkenaan dengan tujuan esensial bawaan manusia, filsafat tertinggi tidak mampu melangkah lebih jauh daripada yang mungkin [dicapai], di bawah panduan yang dilimpahkan oleh alam, oleh pikiran yang paling awam sekalipun.)

Dengan kata lain, filsafat itu istimewa bukan karena membolehkan kita untuk berbangga mengklaim tingkat pengetahuan yang lebih tinggi daripada orang awam, melainkan karena merendahkan hati kita dengan memperlihatkan terbatasnya semua pengetahuan kita.

Sayangnya, terdapat banyak filsuf sepeninggal Kant yang menolak untuk menerima implikasi penting dari sistemnya itu. Sejarah metafisika selama duaratus tahun terakhir ini justru banyak berisi aneka upaya untuk menghindari implikasi yang menggemaskan itu, bahwa para filsuf berkewajiban untuk rendah hati agar menjadi filsuf yang baik. Filsuf-filsuf telah mencoba lari dari konsekuensi itu dengan menyangkal, memberangus, atau menyalahartikan satu atau beberapa sudut pandang yang berusaha dipertahankan oleh Kant dengan keseimbangan yang rawan. Tokoh-tokoh kunci dalam empat pergerakan pasca-Kantian, yaitu idealisme Jerman, eksistensialisme (baik versi pesimistik/ateistik maupun optimistik/teistik), analisis linguistik, dan filsafat hermeneutik, akan diulas secara singkat pada sisa waktu jam kuliah ini.

Para idealis Jerman (yang paling terkemuka ialah Fichte, Schelling, Hegel, dan Marx) merupakan contoh pasca-Kantian pertama dan paling terkenal yang berusaha memperoleh kembali kemampuan manusia untuk mengetahui realitas terdalam. Johann Fichte (1762-1814) pada mulanya oleh banyak orang dikira berkarakter sebagai pengganti pilihan Kant; akan tetapi, ia segera jelas-jelas putus dari Kant, dengan mengemukakan bahwa “ego transendental” pada aktualnya menghasilkan dunia ilmiah seluruhnya di luar dunia itu sendiri. Jadi, “benda di dalam lubuknya” yang bermasalah bisa dibuang karena segala yang keberadaannya lepas dari benak kita tidak diperlukan lagi. Friedrich Schelling (1775-1854) tergolong dalam Pergerakan Romantik dan sekaligus sebagai idealis; buktinya adalah penekanannya pada seni, perasaan, dan keragaman individu. Bukunya, System of Transcendental Idealism (1800), menguraikan posisi yang mirip dengan pandangan Fichte, dengan berpikiran bahwa ego itu “bertempat sendiri” (yakni membuat diri memasuki obyek), sehingga mencipatakan dunia eksternal dan menetapkan sendiri tugas untuk mengetahuinya. Kedua pandangan itu menolak mentah-mentah keberadaan realisme empiris Kant.

Idealisme Jerman mencapai puncaknya pada Georg Friedrich Hegel (1770-1831), yang kontribusi utamanya adalah membawa sejarah ke dalam pusat perhatian metafisika. Ia mengemukakan bahwa proses tiga-tahap yang digunakan oleh Fichte dan Schelling (itu sendiri yang berakar kuat di Sistem Kant [lihat, umpamanya, Gambar III.1]) merupakan pola pasti dan logis yang memberi tahu kita bagaimana sesungguhnya sejarah berkembang. Itu memungkinkan kita untuk memperoleh akses apriori ke realitas hakiki dalam suatu forma yang oleh Hegel disebut “Spirit Mutlak“. (Kita akan melihat lebih dekat logika Hegelian pada Kuliah 12.) Tokoh yang bisa dianggap penyimpul tradisi ini ialah Karl Marx (1818-1883), bukan lantaran ia idealis, melainkan karena ia menyusun keseluruhan filsafatnya sebagai reaksi melawan sistem Hegelian. Ironisnya, hal itu mengharuskan dia untuk menerima asumsi-asumsi utama Hegel, termasuk mitos dasarnya bahwa kenyataan terdalam bisa diketahui melalui perkembangan historis. Namun lantaran fokusnya bukan metafisika, melainkan filsafat politik, kita menunda pembahasan lebih lanjut ide-ide Marx hingga Pekan IX.

Dua filsuf Amerika, C.S. Peirce (1839-1914) dan John Dewey (1850-1952), walau bukan bagian dari idealisme Jerman, juga dipengaruhi oleh Hegel dalam mengembangkan pragmatisme, suatu pendekatan filsafat yang lebih menekankan pengertian awam daripada teori-teori metafisis seperti itu. Realitas tidak banyak ditentukan melalui penalaran filosofis, tetapi melalui penyelidikan hal-hal yang berjalan di dunia empiris. Persoalan realitas terdalam sedikit-banyak diabaikan. Secara demikian, pragmatisme tidak selalu anti-Kantian, tetapi juga tidak sepenuhnya mengambil posisi Kant (bandingkan dengan Kuliah 22 dan 29).

Reaksi lain terhadap penyangkalan mutlak Hegel atas batas-batas Kantian menghasilkan eksistensialisme—kendati dalam hal ini mitos Hegel tentang sentralitas sejarah itu sendiri dipersoalkan dengan lebih mendasar. Dua tokoh utama paham ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) dan Søren Kierkegaard (1813-1855), yang mengembangkan alternatif terhadap Hegel; yang pertama bercorak pesimistik, yang kedua bercorak optimistik. Daripada Hegel, Schopenhauer lebih percaya kepada Kant; namun Schopenhauer memodifikasi Sistem Kant dengan menghubungkan alam benda di dalam lubuknya dengan suatu “kehendak” bawah-sadar yang mencakup segala hal yang tidak hanya berhubungan dengan persoalan moral, sebagaimana argumen Kant (lihat Kuliah 22). Ia yakin bahwa konflik antara kehendak ini dan alam eksternal menyebabkan penderitaan yang tak terelakkan, dan bahwa penderitaan ini merupakan makna sejati kehidupan. Kierkegaard juga menyerang Hegel dengan kembali kepada Kant, tetapi dengan jalan yang lebih optimistik, dengan mengakui penderitaan hidup sebagai kekuatan yang mengarahkan kita kepada Tuhan dan karenanya mesti dilalui. Posisinya akan menjadi fokus perhatian kita di Kuliah 34.

Para pelopor tersebut selanjutnya mempengaruhi dua filsuf yang mengembangkan eksistensialisme dengan lebih eksplisit: Friedrich Nietzsche (1844-1900) dan Paul Tillich (1886-1971). Nietzsche, yang amat dipengaruhi oleh pesimisme suram Schopenhauer, menyusun suatu filsafat moral yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kant, yang menjadi persemaian bagi hampir semua versi ateistik eksistensialisme yang selama seabad ini subur. Tillich, yang amat dipengaruhi oleh Kierkegaard, ialah filsuf-teolog yang mengembangkan kerangka eksistensialis dengan arah “optimistik” (yakni dibuktikan kebenarannya secara teologis) yang paling lengkap. Nietzsche akan menjadi fokus perhatian kita pada Kuliah 23, sedangkan Tillich pada Kuliah 17, 30, 31, dan 34.

Yang banyak berlawanan dengan eksistensialisme selama seabad ini adalah filsafat analitik. Seperti yang akan kita amati di Kuliah 16, dua penggerak utamanya ialah Bertrand Russel (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam tradisi ini mereka sering dipandang sebagai penerus langsung langkah-langkah Kant; akan tetapi, klaim ini didasarkan pada interpretasi yang amat anti-metafisis bahwa Kant mengenyahkan metafisika tanpa menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Untungnya, semakin banyak filsuf Anglo-Amerika [dan beberapa tipe filsuf lainnya] yang mengakui bahwa dikotomi lama antara pendekatan filsafat yang eksistensial dan analitik itu tidak sah—suatu perkembangan yang saya pikir sebaiknya disebut dengan satu kata saja, “baik” (bandingkan Gambar I.2)!

Salah seorang filsuf yang sering dianggap eksistensialis walaupun ia berupaya tidak mengaitkan diri dengan pergerakan itu ialah Martin Heidegger (1889-1976). Pendekatannya terhadap filsafat, yang akan disinggung secara singkat di Kuliah 17 dan 34, melahirkan salah satu dari perkembangan yang paling berpengaruh di paruh-kedua abad keduapuluh: filsafat hermeneutik. Kuliah 18 akan memeriksa lebih rinci bagaimana Hans Georg Gadamer (1900- ) menyusun suatu teori interpretasi yang masih sangat berpengaruh hingga hari ini. Salah satu dari alasan utama berpengaruhnya teori ini, menurut saya, adalah bahwa teori ini tidak berfokus pada persoalan tradisional metafisika. Bahkan, pada titik yang paling ekstrim, filsafat hermeneutik membangkitkan suatu pergerakan yang disebut “dekonstruksionisme”, yang dipelopori oleh filsuf-filsuf seperti Jacques Derrida (1930- ), yang percaya bahwa bukan hanya metafisika, melainkan filsafat itu sendiri pun telah tamat. Karena kita akan membahas ide-ide ini dengan lebih lengkap di Kuliah 18 dan 24, ide-ide ini tidak perlu dirangkum di sini.

Bila anda menempuh matakuliah metafisika, dosen anda mungkin akan berfokus pada masalah-masalah dasar tertentu yang cenderung menarik minat para metafisikawan kontemporer. Masalah-masalah itu pada khususnya berkaitan dengan salah satu dari empat “realitas” berikut ini: (1) hakikat benda-benda fisik dan persepsi kita perihal benda-benda ini (warna, misalnya); (2) hakikat benak dan identifikasi yang tepat perihal obyek-obyek mental; (3) hakikat ruang dan waktu, dan hubungan-hubungan di dalam ruang dan waktu (umpamanya: kausalitas, nasib, dan kebebasan); dan (4) hakikat entitas-entitas abstrak (contohnya: bilangan, dunia nirmustahil, dan Tuhan). Masalah sedemikian itu tidak baru; kita telah menyinggung sebagian besar dari masalah-masalah itu dalam pembahasan kita tentang metafisika klasik dan modern pada dua pekan terakhir ini, walau kadang-kadang dengan istilah lain: sifat metafisika (debat idealisme-realisme, misalnya), kodrat manusia (debat benak-badan, misalnya), dan sebagainya. Nama-namanya bisa berubah, dan metode yang dipakai oleh para filsuf kontemporer untuk menghadapi masalah-masalah tersebut cenderung semakin rumit, namun tema-tema pokoknya masih belum berubah.

Lantas, bagaimana masa depan “akar-akar” filsafat itu kala kita masuki milenium baru ini? Terdapat banyak hal yang dijalani demi metafisika selama seabad ini yang sayangnya [hanya] sedikit lebih baik daripada kemunduran pada filsafat Skolastik yang secara khas dipraktekkan di Abad Pertengahan. Di zaman ini agaknya sungguh-sungguh tiada filsafat yang diperuntukkan bagi setiap orang yang berada di luar dunia akademis. Saya yakin, satu-satunya cara untuk mencegah akhir yang tragis itu adalah belajar dari ajaran Kant yang dicoba disampaikan di Kritik pertamanya. Tujuan penyusunan epistemologinya, yang oleh banyak filsuf masih diakui sebagai yang paling lengkap dan beralasan kuat, adalah meletakkan metafisika “pada jalan ilmu yang meyakinkan” (CPR 21). Maksudnya adalah bahwa kita menelaah metafisika itu semata-mata untuk mengakui kebebalan kita akan realitas terdalam. Segera sesudah ini diselesaikan, kita jangan sampai tergoda untuk terus mencari jawaban di tempat yang salah, agar tidak mencabut akar pohon kita (yang berarti menumbangkannya) atau pun menanam kepala kita sendiri di tanah (yang berarti mematikan potensinya akan wawasan yang lebih lanjut). Sebagai tukarannya, untuk mendapatkan sesuatu yang menyerupai “pengetahuan” tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan tentang kebermaknaan-hidup harus dijawab, satu-satunya jalan adalah menerima bahwa jawaban-jawaban itu tidak mungkin terdapat di metafisika, tetapi di bagian lain dari pohon filsafat. Memahami bagaimana itu menjadi nirmustahil merupakan perhatian utama kita di Bagian Dua dan di keseluruhan matakuliah ini.

PERTANYAAN PERAMBAH

  1. 1. A. Apakah anda merasa pasti atas apa saja?

B. Mungkinkah bahwa 2+2=4 bisa diragukan?

..............................

..............................

  1. 2. A. Mungkinkah realitas terdalam bisa diketahui?

B. Tepatkah filsuf memanfaatkan keimanan?

..............................

..............................

  1. 3. A. Mitos lama apakah yang digantikan oleh filsafat Kant?

B. Apakah benak itu pada aktualnya memaksakan sesuatu pada obyek yang kita alami?

..............................

..............................

  1. 4. A. Metode filsafat yang ideal itu yang bagaimanakah?

B. Apakah rendah hati itu? Bisakah rendah hati itu dijalani dengan lengkap?

..............................

..............................

BACAAN ANJURAN

  1. 1. Renè Descartes, Meditations on First Philosophy 2nd Edition, terj. Laurence J. Lafleur (New York: Bobbs-Merrill, 1960[1951]).vi[6]

  2. 2. Gilbert Ryle, The Concept of Mind (New York: Barnes & Noble, 1949), Bab I, “Descartes’ Myth”, pp. 13-25.

  3. 3. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, “Preface” (kedua edisi) (CPR 7-37).vii[7]

  4. 4. Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. Lewis White Beck (New York: The Bobbs-Merrill Company, 1950).viii[8]

  5. 5. Stephen Palmquist, Kant’s System of Perspectives: An architectonic interpretation of the Critical philosophy (Lanham: University Press of America, 1993), Bab IV-VI, pp. 107-193.ix[9]

  6. 6. Will Durant, The Story of Philosophy: The lives and opinions of the greater philosophers 3rd Edition (New York: Simon and Schuster, 1982[1928]).

  7. 7. John Passmore, A Hundred Years of Philosophy 2nd Edition (Harmondsworth: Penguin, 1966[1957]).

  8. 8. Michael Jubien, Contemporary Metaphysics: An introduction (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1997).

Catatan Penerjemah




i[1] Anak-kalimat ini merupakan saduran, sepersetujuan Palmquist, dari teks “no human being is perfect, so the perfect Being is not the “I” of whose existence I am certain;”

ii[2] Palmquist belum menjelaskan arti garis putus-putus yang terdapat di dalam gambar. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Garis putus-putus itu untuk menunjukkan penekanan perbedaan dua metode “pemecahan” masalah benak-badan. Argumen yang berbasis “Tuhan” adalah yang rasional, yang karenanya berfokus pada apa yang disediakan oleh benak kepada kita. Argumen berbasis “kelenjar kerucut” adalah yang biologis, yang berfokus pada apa yang disediakan oleh badan kepada kita. Garis putus-putus itu juga menunjukkan bahwa kedua argumen tersebut merupakan upaya untuk menjembatani celah di situ, namun gagal lantaran masing-masing hanya berfokus pada satu sisi persamaan.

iii[3] Menurut Palmquist, “obyektivitas mutlak” bisa dibaca sebagai “eksistensi yang independen secara mutlak”. Intinya, dengan mendalilkan bahwa dunia mental kita terpisah total dari dunia fisis, namun bersikeras bahwa kedua jenis dunia ini sama nyatanya (walau substansinya berlainan), pada dasarnya Descartes menetapkan sesuatu yang di kemudian hari dikenal sebagai “pandangan dunia ilmiah”.

iv[4] Tentu saja ada kemungkinan bahwa satu sisi benar total, sedangkan sisi lainnya salah total, atau bahwa kedua sisi salah total. Jika itu terjadi, maka “metode Kritis” tidak dibutuhkan. Akan tetapi, dalam pandangan Palmquist, kasus semacam itu relatif jarang. Yang ia maksud (dan yang sekarang ia terangkan di kelasnya, tahun 2001) adalah bahwa dalam pembahasan filosofis yang serius, ketika dua pihak, atau lebih, yakin bahwa klaim mereka (yang berlawanan) masing-masing benar, pemicu perdebatan itu hampir selalu berupa perbedaan perspektif. Ia mengharap bahwa pembaca mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang berdebat itu sama-sama memiliki “fakta yang benar” namun masih tidak sepakat. Singkatnya, metode Kritis adalah alat filosofis (untuk menilai perspektif), bukan alat ilmiah (untuk menilai fakta).

v[5] Perihal Gambar III.8a, saya mempunyai wawasan sebagai berikut. Gambar ini, bila Matahari merupakan forma obyek, yang dikombinasikan dengan satu gambar bumi yang dikelilingi oleh bulan (= bahan obyek), melambangkan idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Plato mungkin mengklaim bahwa kita biasanya hidup di “malam hari” dengan sinar bulan yang hanya merupakan pantulan (ilusi) dari sumber sinar sejati. Padahal, menurut Plato, realitas universal (tunggal) itu terdapat di “siang hari” dengan cahaya matahari yang merupakan sumber sinar sejati. Akan tetapi, Aristoteles mungkin melihat bahwa matahari merupakan salah satu bintang, dan bahwa bintang-bintang dan bulan lebih terlihat di malam hari. Maka Aristoteles memandang bahwa realitas-realitas partikular (jamak) itu justru terdapat di “malam hari”.

Wawasan tersebut disetujui oleh Palmquist. Bahkan ia menilai bahwa upaya pengaitan “gua Plato” dengan Gambar III.8 adalah “hebat”, sedangkan pembandingan gambar tersebut dengan realisme Aristoteles bisa dinilai “bagus”).

vi[6] Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/iep/text/descart/des-med.htm

vii[7] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/cpr/prefs.html

viii[8] Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/iep/text/kant/prolegom/prolegom.htm

ix[9] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP4.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP5.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP6.html

No comments: