Tuesday, December 5, 2006

ONTOLOGI DAN TAKJUB BERKEHENINGAN

BAGIAN EMPAT: DAUN

ONTOLOGI DAN

TAKJUB BERKEHENINGAN



Pekan X

Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan

28. Apakah Keheningan Itu?

Pada tiga bagian pertama matakuliah ini kita telah menghadapi berbagai teori filsafat, yang diusulkan oleh filsuf-filsuf yang berupaya memecahkan beragam masalah. Keanekaragaman itu, yang tercampur-aduk oleh berbagai pendekatan yang tersedia untuk kita gunakan, merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap kesehatan pohon filsafat. Jika tidak ada yang dapat mempersatukan keragaman yang biasanya muncul dari pengalaman insani kita dan dari pemikiran kita terhadapnya, maka kita berada dalam bahaya akan bernasib seperti Nietzsche. Sebagaimana yang kita lihat di Kuliah 23, Nietzsche mencabut akar pohon filsafat dalam rangka membangunkan manusia modern dari keterlelapan tidur di bawah naungan pohon filsafat Sokrates. Namun sebagaimana tanda pertama kesekaratan dalam tanaman yang akarnya tercabut adalah bahwa daun-daunnya layu, begitu pula Nietzsche yang berupaya berfilsafat tanpa mendasarkan penalarannya pada suatu realitas hakiki berakhir tatkala pengalamannya sendiri runtuh dalam kegilaan menggemparkan yang tiada-henti.

Orang yang pencarian kealimannya berakhir dalam kegilaan itu tidak bersentuhan lagi dengan realitas yang membuat pencarian itu berguna. Untungnya, nasib tragis ini bukan tak terelakkan, asalkan kita belajar untuk menanggapi keragaman pikiran dan kehidupan dengan mengganti kegaduhan yang ditimbulkan oleh pilihan-pilihan yang kurang-lebih berlarut-larut yang tersedia di depan kita dengan suatu keheningan (silence) yang bisa menunjang kesatuan dan tujuan bagi eksistensi kita yang terpenggal. Karena alasan itu, saya akan mengawali bagian terakhir dari kuliah kita ini dengan meminta anda untuk menyarankan beberapa jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah keheningan itu?”

Kala anda pikirkan pertanyaan itu, biarlah saya ingatkan anda bahwa bagian dari pohon filsafat yang paling melambangkan kebutuhan kita akan prinsip pemersatuan dalam pemikiran kita dan daya pemersatu dalam kehidupan kita adalah daun-daun. Itu lantaran bila kita pandang pohon yang tak berdaun, perbedaan antara cabang-cabangnya tampak jelas; namun jika pohon tersebut mempunyai daun yang rimbun, maka cabang-cabangnya pada aktualnya kelihatan terhubung, seolah-olah daun-daun itu mencairkan ketegangan antarcabang dengan merangkul cabang-cabang itu dalam kesatuan yang lebih tinggi. Daun-daun suatu pohon, lebih dari bagian-bagian lainnya, memberi kita kesan bahwa pohon itu satu unit: khususnya bila kita memandang pohon itu dari jauh, daun-daun tersebut kehilangan ciri khas mereka dan saling mengaburkan. Bahkan, suatu pohon sering lebih sulit dibedakan dari yang lain bila tidak mempunyai daun. Untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi pohon, para ahli botani biasanya memanfaatkan daunnya.

Analogi tersebut menyiratkan salah satu prinsip terpenting yang akan kita bahas di Bagian IV ini; sebagaimana daun menentukan ciri khas pohon dan kesatuannya, bagian dari pohon filsafat yang sekarang mulai kita periksa pun hidup menurut prinsip “kesatuan dalam keragaman”. Karena “kesatuan” dan “keragaman” berlawanan, prinsip itu jelas mensyaratkan bahwa kita berpikir dengan memakai logika sintetik jika kita hendak memahaminya. Namun sebelum kita mulai memperhatikan beberapa contoh tentang bagaimana prinsip-prinsip itu berlaku, adakah yang yang punya ide tentang bagaimana kita dapat mendefinisikan keheningan?

Mahasiswa V. “Keheningan mengacu pada suatu lingkungan yang tanpa suara—atau setidak-tidaknya sangat lirih.”

Saya memang berharap ada yang menyatakan jawaban semacam itu, karena pernyataan tersebut memberi kita peluang untuk menjernihkan pertanyaan yang sebenarnya saya ajukan. Jawaban anda benar sekali; namun itu mendefinisikan keheningan dengan cara sepintas lalu. Pada permukaannya, keheningan memang hanya tiadanya suara. Jadi, umpamanya, jika beberapa di antara kalian mulai mengobrol ketika saya sedang berusaha menyampaikan kuliah ini, maka saya mungkin berseru “Silence please!”; [seruan] ini berarti sesuatu seperti “Harap tidak mengeluarkan suara!” Padahal, biasanya kata “keheningan” jauh lebih bermakna daripada itu.i[1] Bukankah ada beberapa jenis suara yang tidak mengusik keheningan kita? Bagaimana dengan lagu populer yang berjudul “Suara Keheningan”? Kalau keheningan ialah tiadanya suara, maka bagaimana keheningan itu sendiri mempunyai suara? Adakah yang mempunyai saran lain mengenai bagaimana kita bisa agak lebih mendalami makna keheningan? Apakah keheningan itu?

Mahasiswa W. “Tiada kegaduhan.”

Nah, ini definisi yang lebih berfaedah, khususnya jika kita mendefinisikan “kegaduhan” sebagai “suara yang mengganggu”. Lalu kita bisa melihat mengapa sebagian jenis suara pada aktualnya justru turut menciptakan keheningan dan tidak mengganggu. Contohnya, burung-burung yang berkicau di luar kelas ini barangkali lebih membuat suara daripada yang dibuat oleh dua atau tiga orang mahasiswa yang mengobrol sewaktu saya sedang mengajar. Namun saya tidak berpikiran bahwa kita semua akan mengatakan bahwa burung-burung itu menggaduhkan, selama burung-burung itu tidak menyaingi saya dalam menarik perhatian anda. Dengan cara yang sama, musik latar di suatu film membuat banyak suara; namun pada aktualnya musik ini turut menciptakan rasa hening di film tersebut jika digunakan dengan cara yang benar. Tetapi jika musik itu mengurangi perhatian kita terhadap adegan yang terjadi di layar, maka fungsinya mulai lebih menyerupai kegaduhan. Begitu pula, musik dapat merangsang percakapan antarteman; namun bila musik tersebut dimainkan ketika salah satunya sedang menyetel nada gitar, fungsinya barangkali lebih menyerupai kegaduhan. Perihal keheningan, contoh-contoh itu menyiratkan apa?

Mahasiswa X. “Itu sangat subyektif. Yang hening bagi saya mungkin gaduh bagi anda.”

Itu tergantung pada apa yang anda maksud dengan “subyektif”. Jadi, mari kita pertajam ide anda. Bilamana anda mengatakan bahwa keheningan itu “subyektif”, apakah itu hanya berarti bahwa orang-orang yang mengalami keheningan dengan cara-cara yang berlainan (sesuatu yang agak jelas), ataukah itu juga menyiratkan sesuatu tentang di mana keheningan itu berada pada aktualnya? Dengan kata lain, apa yang membuat perbedaan antara orang yang bisa mengalami keheningan dalam situasi tertentu sedangkan orang lain tidak bisa?

Mahasiswa X. “Itu pasti sesuatu di dalam orang itu. Ya, saya pikir itulah yang saya maksud dengan ‘subyektif’! Keheningan nyata adalah keheningan batiniah.”

Bagus! Itulah tepatnya pertanyaan asli saya: Apakah keheningan batiniah itu? Apa yang bisa kita lakukan di dalam diri kita sendiri untuk membudidayakan kepribadian yang memungkinkan kita untuk mengalami keheningan tatkala orang-orang lain terusik oleh suara-suara di sekitar kita? Bagaimana bisa yang menggaduhkan bagi orang lain menjadi seperti musik bagi telinga kita? Ini sajakah perbedaan dasar antara kepribadian-kepribadian manusia, ataukah ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan kita untuk mendengar suara keheningan?

Mahasiswa Y. “Saya dapati bahwa menjauhkan diri dari semua orang dan menyepi selama beberapa saat sering memberi saya kedamaian batin yang membantu saya menghadapi gangguan yang datang dari sangkut-paut saya dengan orang lain.”

Jenis pengalaman yang anda acu tersebut adalah sesuatu yang kadang-kadang disebut “kesendirian”. Kadang-kadang saya juga menyepi sendiri dengan nikmat; dan saya sepakat bahwa itu bisa mendorong perkembangan rasa keheningan batiniah. Namun anehnya, sebagian orang tidak suka menyendiri; mereka terlalu khawatir akan menjadi kesepian. Maka, apa perbedaan antara “menyepi” dan “kesepian”?

Mahasiswa Z. “Sebagian orang mampu menyepi dalam waktu yang lama tanpa merasa kesepian sama sekali; orang-orang lainnya merasa kesepian kendati bersama sekelompok teman.”

Jadi, apa yang menyebabkan dua jenis manusia tersebut berbeda sekali?

Mahasiswa Z. “Orang yang kesepian tampaknya kehilangan sesuatu di dalamnya. Bisakah kita menyebut [yang hilang] itu keheningan?”

Itu siratan yang baik, walaupun kita harus sadar bahwa kini kita bernalar dalam suatu lingkaran: kesendirian membantu kita dalam mengembangkan keheningan batiniah; keheningan batiniah membantu kita dalam kesendirian tanpa merasa kesepian. Jadi, itu masih belum banyak membantu kita jika kita menjadi kesepian dan/atau kekurangan hening batiniah saat ini. Namun demikian, itu pandangan yang baik karena menekankan hubungan yang erat antara kesendirian dan keheningan. Kesendirian dan keheningan biasanya berjalan seiring: kita memiliki keduanya atau kita tidak memiliki keduanya. Pada faktanya, mengalami yang satu tanpa mengalami yang lain itu biasanya merupakan tanda disintegrasi mental dan/atau spiritual: keheningan tanpa kesendirian menangkarkan kengerian; kesendirian tanpa keheningan menangkarkan kegilaan. Pada Kuliah 34 kita akan melihat lebih dekat wawasan-wawasan paradoksis yang bisa kita peroleh dari pengalaman insani yang juga umum itu.

Orang yang banyak mengisi waktunya dengan kesendirian dan keheningan kadang-kadang disebut “perenung”. Praktis perenung-perenung di semua tradisi agama besar telah bekerja keras untuk menjelaskan makna kesendirian dan keheningan dan bagaimana kita bisa merawat potensi pengalaman semacam itu. Di Cina kuno, Lao Tzu merupakan contoh yang baik tentang perenung semacam itu. Catatan puitisnya tentang bagaimana mengikuti “Tao” yang “tak-terungkap” penuh dengan nasihat praktis—walau sering dinyatakan dengan menggunakan logika sintetik—mengenai bagaimana kita dapat hidup dengan rendah hati, kesendirian, dan keheningan, termasuk di tengah-tengah kesibukan hidup sehari-hari yang jelas kelihatan. Buddha, tentu saja, merupakan contoh lain yang baik. Dan banyak yang lain bisa diambil dari Hindu, Islam,ii[2] dan berbagai agama lain.

Tradisi agama Yahudi dan Nasrani juga mempunyai sederet panjang perenung-perenung semacam itu. Salah seorang perenung Kristen yang paling berpengaruh di abad keduapuluh ialah Thomas Merton, yang tulisan-tulisannya mengilhami banyak orang untuk memperdalam pengalaman batiniah mereka. Suatu kutipan panjang dari buku kecilnya, Thoughts in Solitude, bisa membantu kita dalam memahami bagaimana kesendirian dan keheningan bekerja sana dalam pengalaman kita tentang tentang realitas yang disebut “Tuhan” oleh umat beragama:

As soon as you are really alone you are with God.

Some people live for God, some people live with God, some live in God.

Those who live for God, live with other people and live in the activities of their community. Their life is what they do.

Those who live with God also live for Him, but they do not live in what they do for Him, they live in what they are before Him. Their life is to reflect Him by their own simplicity and by the perfection of His being reflected in their poverty.

Those who live in God do not live with other men or in themselves still less in what they do, for He does all things in them.

Sitting under this tree I can live for God, or with Him, or in Him....

To live with Him it is necessary to refrain constantly from speech and to moderate our desires of communication with men, even about God.

Yet it is not hard to commune with other men and with Him, as long as we find them in Him.

Solitary life--essentially the most simple. Common life prepares for it in so far as we find God in the simplicity of common life--then seek Him more and find Him better in the greater simplicity of solitude.

But if our community life is intensely complicated--(through our own fault)--we are likely to become even more complicated in solitude.

Do not flee to solitude from the community. Find God first in the community, then He will lead you to solitude.

A man cannot understand the true value of silence unless he has a real respect for the validity of language: for the reality which is expressible in language is found, face to face and without any medium, in silence. Nor would we find this reality in itself, that is to say in its own silence, unless we were first brought there by language.

(Seketika seusai kau menyendiri sungguh-sungguh, engkau bersama Tuhan.

Sebagian orang hidup demi Tuhan, sebagian orang hidup dengan Tuhan, sebagian hidup di dalam Tuhan.

Yang hidup demi Tuhan, hidup dengan orang lain dan hidup dalam kegiatan komunitas mereka. Kehidupan mereka adalah apa yang mereka lakukan.

Yang hidup dengan Tuhan juga hidup demi Dia, tapi mereka tidak hidup dalam apa yang mereka lakukan demi Dia, mereka hidup dalam keberadaan mereka di muka Tuhan. Kehidupan mereka adalah untuk mencerminkan Tuhan dengan kesederhanaan mereka sendiri dan dengan kesempurnaan-Nya yang tercermin dalam kemiskinan mereka.

Yang hidup di dalam Tuhan tidak hidup dengan orang lain atau dalam diri mereka sendiri bahkan kurang dalam apa yang mereka lakukan, lantaran Ia melakukan segala hal di dalam mereka.

Dengan duduk di bawah pohon ini aku bisa hidup demi Tuhan, atau dengan Tuhan, atau di dalam Tuhan....

Untuk hidup dengan Dia, kita perlu menghindar terus dari wicara dan melunakkan keinginan menyatu kita dengan orang-orang, bahkan walau mengenai Tuhan.

Namun tidaklah sulit menyatu dengan mereka dan dengan Dia, selama kita dapati mereka di dalam Dia.

Kehidupan menyepi—pada dasarnya yang paling sederhana. Kehidupan bersama menyiapkannya selama kita dapati Tuhan di dalam kesederhanaan hidup bersama—maka carilah Dia lagi dan lebih baik dapati Dia di dalam kesederhanaan yang lebih bersahaja dengan kesendirian.

Tapi jika kehidupan komunitas kita sangat rumit—(melalui kesalahan kita)—kita bahkan mungkin menjadi lebih rumit di dalam kesendirian.

Jangan menyendiri jauh-jauh dari komunitas. Temukan Tuhan mula-mula di komunitas, lalu Ia akan membawamu ke kesendirian

Manusia tak mungkin memahami nilai sejati keheningan kecuali bila ia menaruh penghormatan nyata kepada kesahihan bahasa: karena realitas yang terungkap dalam bahasa terdapat, langsung dan tanpa perantara, dalam keheningan. Takkan kita dapati realitas itu di dalam lubuknya, yang berarti di dalam keheningannya sendiri, kecuali bila kita mula-mula membawa ke sana dengan bahasa.)

Paragraf terakhir ini mengingatkan kita kepada ide Wittgenstein tentang bahasa sebagai “tangga” yang harus dibuang bila kita mulai melihat bahwa benda-benda “memperlihatkan diri” kepada kita (lihat Gambar VI.1). Secara demikian, pasal ini menjelaskan bahwa kita harus belajar untuk berada dengan orang-orang sebelum kita memperoleh keuntungan dari menyendiri. Kesendirian dan keheningan menguntungkan kita hanya pada batas bahwa kita telah menjumpai realitas yang bersama-sama mempertahankan keragaman kehidupan kita dalam satu kesatuan yang mendasar.

Contoh lain dari tradisi Kristen muncul dalam sebuah buku populer yang berjudul Celebration of Discipline, karya Richard Foster. Buku ini ditulis bagi penganut Kristiani, sehingga sebagian bahasanya mungkin sulit ditangkap bagi yang non-Nasrani; sekalipun demikian, saya yakin buku itu mengandung wawasan-wawasan yang bisa berfaedah bagi siapa saja. Buku itu memaparkan duabelas “disiplin” khas (yang tertata, secara cukup signifikan, sebagai 12CR sempurna!), masing-masing bekerjasama untuk mengembangkan kepribadian batiniah yang kita bahas hari ini. Bab 7-nya, tentang pertalian yang erat antara kesendirian dan keheningan, pada khususnya relevan dengan pembahasan kita hari ini. Pada bab itu Foster menetapkan perbedaan yang bermanfaat antara kesendirian dan kesepian (CD 84): “Kesepian adalah kekosongan batiniah. Kesendirian adalah pemenuhan batiniah. Kesendirian bukanlah tempat, terutama, melainkan keadaan akal dan hati.” Dengan cara itu juga, kita bisa menambahkan bahwa “kegaduhan” adalah kekacauan batiniah, sedangkan “keheningan” adalah “kedamaian batiniah”. Namun kedamaian dan pemenuhan batiniah semacam itu tak bisa dicapai hanya dengan memerangi lawan-lawannya (yaitu kekacauan dan kesepian). Alih-alih, Foster mengemukakan bahwa [kedamaian dan pemenuhan batiniah] itu berkembang sedikit demi sedikit sebagai hasil dari disiplin-diri yang sinambung. Dengan demikian, sesudah mengutip pepatah lama, “orang yang membuka mulutnya, menutup matanya!”, Foster menjelaskan (86): “Tujuan keheningan dan kesendirian adalah mampu melihat dan mendengar. Kunci keheningan adalah mengendalikan, bukan meniadakan, kegaduhan.”

Hal-hal yang menekankan pengendalian kontemplatif terhadap kepribadian batiniah kita semacam itu kadang-kadang disebut “mistik”. Mistisis ialah orang-orang yang mengalami suatu daya yang mempersatukan keragaman pengalaman mereka sehari-hari dan, sebagai tanggapannya, mengubah cara hidup mereka. Dengan demikian, “visi” (SF 9) para mistisis memandang semua kehidupan sebagai suatu “hadiah terbesar, sehingga sikap yang paling tepat adalah bersyukur. ... Mengakui kehidupan sebagai hadiah terbesar adalah mengerti bahwa misteri yang melandasinya ... adalah dermawan, bagaimanapun. Menerimanya sebagai misteri adalah menghormati keindahan sifat-tabiatnya.” Kita tidak mempunyai hak untuk memiliki hadiah, tetapi harus dengan sabar menunggu pemberiannya, dan kemudian menerima atau menolaknya bilamana [hadiah] itu tiba. Disiplin-disiplin jalan hidup mistis itu untuk menyiapkan kita untuk menerima kedatangan hadiah misterius dari keheningan dan kesendirian.

Visi mistik tersebut juga mampu membantu kita dalam memahami sifat wawasan. Kita bisa mempersiapkan diri untuk menerima wawasan-wawasan; namun tak dapat mengendalikan dengan pasti, kapan atau bagaimana wawasan-wawasan itu sampai kepada kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah duduk di bawah pohon, sebagaimana demikianlah adanya, menunggu buah jatuh ke tangan kita yang terbuka, tepat seperti orang bijak yang terlukis dalam kover buku ini. Kontrol yang timbul dari disiplin spiritual itu bukanlah pengendalian terhadap realitas misterius yang memberi kita wawasan; alih-alih, kontrol itu mengendalikan tangan (dan otak) kita sendiri, yang biasanya terlalu sibuk (penuh dengan “kegaduhan”) untuk menerima apa-apa yang ditawarkan. Tema sedemikian itu juga terdapat pada The Giving Tree: karena tangan si bocah lelaki selalu penuh dengan kepentingan diri-sendiri, ia tak mampu untuk menerima cinta dan kebahagiaan yang ditawarkan oleh sang pohon. Karena itulah saya meminta anda untuk meluangkan waktu sejenak untuk bermeditasi dengan tenang sebelum anda pada aktualnya memulai proses penulisan lembar mawas. Selama menit-menit hening itu kita menyiapkan otak kita (di samping hati kita) untuk menerima wawasan-wawasan. Wawasan terpenting mungkin tidak tiba pada saat-saat hening tersebut; tetapi tanpa masa persiapan itu, perhatian kita akan terlalu sesak dengan urusan lain untuk menerima wawasan hakiki.

Begitu wawasan “mendatangi” kita, tentu saja kita jangan membiarkan itu berdebu di situ. Alih-alih, sebagaimana yang disarankan dalam Kuliah 18, tanggapan yang tepat adalah mengkritik wawasan tersebut. Kritisisme sedemikian itu tidak mensyaratkan bahwa kita menyangkal kesahihan wawasan asli (walau kadang-kadang penyangkalan mungkin tepat), tetapi harus selalu membantu kita dalam memisahkan hal-hal yang bisa kebenarannya bisa diketahui dari yang palsu atau yang tak bisa diketahui. Filsuf yang baik selalu berusaha menyeimbangkan tugas antara wawasan dan kritisisme, sehingga keduanya bekerjasama: bila wawasan-wawasan baru menerobos ke cara pikir lama, kita jangan menolak cara lama belaka, tetapi berupaya mensintesis [perspektif] yang lama dan yang baru, untuk membentuk satu keutuhan yang taat-asas. Lembar mawas terbaik selalu yang memanfaatkan kedua aktivitas komplementer tersebut, seperti yang tersirat oleh peta yang ditampilkan pada Gambar VI.5.

Dengan membandingkan peta itu dengan yang terdapat di Gambar VIII.4 dan IX.4, kita dapati bahwa pada faktanya ada dua tipe “penerobosan” filosofis yang cukup berbeda. Yang pertama adalah yang saya paparkan di atas: suatu misteri muncul sendiri melalui suatu wawasan (lihat Gambar X.1a). Namun asal-mula wawasan misterius hanya kentara sepenuhnya bila kita berusaha memahaminya dengan dayakritis kita. Tipe penerobosan kedua dicontohi oleh “transvaluasi nilai” ala Nietzsche, yang dengannya kita menjangkau kenyataan transendental dengan menggunakan dayanalar (akal) dan/atau dayamau (kehendak) kita sendiri (lihat Gambar X.1b). Namun melakukan hal itu menimbulkan pernyataan paradoksis yang menohok cara pikir lazim kita yang analitik. Karenanya, “misteri” merupakan kata terbaik untuk memerikan apa yang terjadi bila daya-daya sintetik kita memungkinkan kita untuk mengalami takjub berkeheningan, sedangkan “paradoks” merupakan kata terbaik untuk memerikan apa yang terjadi bila kita menggunakan daya-daya analitik kita dengan harapan memahami misteri itu. Dua tipe penerobosan itu bagaikan dua sisi daun, sebagaimana logika analitik dan sintetik dalam proses berpikir yang jalin-menjalin secara erat dalam pengalaman kita: keduanya bekerja bersama sebagai aspek-aspek komplementer dari suatu proses tunggal. Proses pemerolehan wawasan berawal secara khas sebagai intuisi hening yang menerobos pikiran kita; wawasan itu akan tetap misterius kecuali jika kita mengkritiknya. Bila wawasan terkritik itu menjadi tradisi yang mapan, ketakjuban lanjutannya bisa menghasilkan penalaran yang membawa kita ke suatu wawasan paradoksis yang bahkan lebih dalam. Bila kita benar-benar menggenggam paradoks ini di keheningan, keseluruhan proses itu berulang kembali dari awal! Pada masing-masing dari tiga pekan terakhir matakuliah ini, kita akan sengaja memisahkan proses itu dengan mula-mula berfokus pada “paradoks”, kemudian pada “misteri”. Dalam melakukannya, kita jangan lupa bahwa bentuk penerobosan yang berkebalikan itu selalu berlangsung dalam suatu jurus daur secara diam-diam.

keheningan

batiniah paradoks

wawasan akal

(atau kehendak)

misteri ketakjuban

kritisisme tradisi

(a) Misteri (b) Paradoks

Gambar X.1: Dua Jenis Penerobosan

Kata-kata seperti “misteri” dan “paradoks” bisa menimbulkan kesan bahwa wawasan yang muncul dari penerobosan semacam itu tidak terang. Keluhan ini saya dengar beberapa kali dari mahasiswa-mahasiswa Pengantar Filsafat. Namun tentu saja, ada kemungkinan bahwa penjelasan saya tentang suatu ide tidak terang, atau bahwa pemahaman mahasiswa tertentu tentang penjelasan yang terang mungkin tertutupi oleh berbagai hal; kita harus waspada, jangan sampai kita mengira bahwa niscaya ide-ide filosofis itu sendiri tidak terang. Begitu kita akui perbedaan antara dua jenis kejelasan, akan kita lihat bahwa pandangan-pandangan filosofis justru merupakan yang paling terang di antara semua ide!

Simaklah perbedaan antara mendung dan cerah. Pada cuaca mendung sinar matahari terhalang, sehingga benda-benda yang kita lihat di bawah cuaca ini tidak seterang dengan yang di bawah cuaca terang. Meskipun anda tidak pernah melihat bahwa benda-benda terlihat “lebih kabur” pada cuaca mendung, saya yakin anda memperhatikan bahwa bayangan benda-benda (kalau ada) tidak bisa dipandang dengan sangat terang, padahal bayangan-bayangan itu menjadi jelas dan tajam manakala matahari muncul. Ini sebuah tipe kejelasan. Akan tetapi, bagaimana dengan kemampuan kita memandang matahari itu sendiri? Pada cuaca cerah dengan disertai terik sinar matahari, kita sulit menatap matahari—bahkan, jika kita menatapnya terlalu lama, kita bisa menjadi buta! Sebaliknya, pada cuaca mendung kita dapat menengadah ke arah matahari dalam waktu yang lama tanpa kemusykilan. Tipe kejelasan yang kedua ini berbeda dengan yang pertama; pada tipe yang kedua ini, semakin terang sesuatu, semakin sukar bagi kita untuk mengamatinya. Dengan kata lain, pada hari yang terang, sumber cahaya tidak bisa dilihat lantaran terlalu terang; namun demikian, benda-benda yang diterangi olehnya bisa dipandang dengan lebih jelas.

Kejelasan filsafat sering bukan laksana benda-benda yang bisa kita lihat berkat adanya matahari, melainkan laksana matahari itu sendiri. Wawasan-wawasan kita yang paling mendalam dan paling berbobot ialah yang menjadi paling terang, dan yang karenanya kepastiannya paling mustahil untuk diragukan. Namun bila diminta untuk mengungkapkan wawasan semacam itu dengan kata-kata, kita acapkali tak mampu melakukannya tanpa kemusykilan luar biasa. Bila wawasan yang mendalam tidak begitu terang dalam benak kita, wawasan itu pada aktualnya lebih mudah untuk dipaparkan. Oleh sebab itu, tes sejati tentang kejelasan wawasan yang mendalam bukan seberapa baik kita bisa mengungkapkan wawasan itu sendiri, melainkan seberapa baik kita menggunakan wawasan itu untuk menerangi aspek-aspek pikiran dan pengalaman kita lainnya. Contohnya, ambillah gagasan bahwa “pengakuan kebebalan” merupakan titik-awal semua filsafat. Harapan saya adalah bahwa dalam beberapa hal pada bagian pertama dari matakuliah ini anda terpukul secara tiba-tiba oleh kebenaran ide tersebut: sementara barangkali anda tidak memahaminya sebelum menempuh matakuliah ini, sekarang (dengan asumsi bahwa gagasan itu kini telah menjadi wawasan bagi anda) anda yakin bahwa ide itu dapat menerangi pemahaman kita tentang apakah filsafat itu. Namun bila ada orang yang meminta anda dalam hal ini untuk menjelaskan tentang bagaimana mungkin anda mengakui kebebalan anda, bolehjadi anda akan diam seribu bahasa. Di satu sisi, anda bisa melihat dengan jelas hasil-hasil wawasan anda; namun di sisi lain, anda tak mampu menyatakan dengan pasti tentang apa yang memungkinkan anda [sampai] memiliki hadiah dari visi itu. Intinya, begitulah ciri khas ide filosofis pada umumnya: ide itu begitu terang-benderang sehingga kebenderangannya sering menyebabkan tiadanya orang yang tahan melihatnya secara langsung.

29. Finalitas dan Paradoks Keindahan

Saya mulai saja kuliah ini dengan berbagi pengalaman yang patut dikenang yang saya alami ketika saya tinggal di Inggris. Pada suatu dinihari di musim dingin bersalju, putri kecil saya terbangun dan menangis. Saat itu merupakan giliran “tugas malam” saya, sehingga saya bangkit dari ranjang dan menenangkan di sebaik mungkin. Tak lama kemudian, ia menjadi tenang dan segera tidur lagi. Biasanya pada kejadian semacam itu saya begitu lelah sehingga, tanpa kesulitan, saya tidur lagi setelah tugas terselesaikan. Namun waktu itu, saya beranjak keluar dari kamar. Walaupun saat itu masih amat gelap, saya memutuskan untuk duduk di ruang tamu, tidak kembali ke ranjang. Ketika saya memandang keluar melalui jendela apartemen hangat kami, saya melihat bahwa langit yang gelap mulai agak terang di sebelah timur. Di dalam atau pun di luar, semuanya sunyi. Tiga tingkat di bawah, di seberang pohon yang cabangnya hampir menyentuh jendela apartemen kami, jalan besar yang menuju pusat kota belum dipenuhi dengan keramaian lalu-lalang penglaju harian. Keindahan pemandangan yang lalu tersingkap di depan mata saya benar-benar tak terlupakan. Di seberang cabang-cabang pohon yang meranggas, di atas rumah-rumah di seberang jalan, tampak cahaya lembayung-tua yang lambat-laun menyorong hitam-langit ke sarangnya di barat. Sesaat kemudian, lembayung itu memudar menjadi merah-tua, lalu makin pudar menjadi jingga-muda. Ketika langit diterangi dengan campuran ajaib yang terdiri dari merah, jingga, dan kuning, seberkas cahaya biru-muda mulai naik, seakan-akan dari laut yang dalam. Begitu mempesona. Saya terpana, nyaris tak bisa beranjak.

Sewaktu saya duduk di sana dalam keheningan, di tapal batas antara malam dan siang, “waktu” itu sendiri tampaknya masih tetap tak beranjak di tengah-tengah perubahan yang tak-pernah-berubah yang tersingkap di depan saya. Saya ingat, saya mengira perubahan yang saya saksikan itu berlangsung selama satu jam atau lebih, namun ternyata itu terjadi selama kurang dari limabelas menit. Ketika akhirnya saya sadar, saya memutuskan untuk mencoba menangkap “momen” ini dengan kamera foto sebelum terlalu terlambat. Dengan cara itu mungkin orang yang pada waktu itu sedang tidur akhirnya bisa melihat pemandangan menakjubkan yang saya saksikan. Kamera bisa menjadi alat yang efektif bagi seniman, jika dipakai untuk mengubah pemandangan alam dengan cara sedemikian rupa sehingga menyingkapkan keindahan dasar yang akan tetap tersembunyi bagi mata telanjang. Akan tetapi, bila kita mesin tersebut dengan harapan menyalin keindahan pemandangan alam telah terwujud di depan kita, seringkali hasilnya adalah antitesis keindahan artistik. Sayangnya, potret yang saya hasilkan pagi itu mungkin lebih menggambarkan keindahan artistik daripada keindahan alam. (Salinan belaka dari alam sudah cukup buruk, namun salinan dari salinan tersebut bahkan lebih buruk. Bagaimanapun, saya telah menghasilkan tiruan foto saya itu dalam warna hitam-putih di sini, dengan harapan memancing imajinasi pembaca untuk mengisi warna-warnanya.)

[Potret Keindahan Alam]

Mari kita bayangkan saja bahwa foto ini sudah cukup baik sehingga [diasumsikan bahwa] anda bersentuhan dengan keindahan pengalaman-di-tapalbatas yang saya alami di pagi itu. Mengapa kita menimbang pemandangan semacam itu indah? Apa makna kata “keindahan” manakala kita menggunakannya dalam proposisi seperti “Terbitnya matahari itu indah”? Bagaimana penimbangan keindahan berhubungan dengan jenis penimbangan lain? Menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan tugas bidang filsafat yang disebut “estetika” (dari kata Yunani, aisthetikos, yang bermakna “pencerapan inderawi” (sense perception)). Daun-daun pengalaman yang tumbuh di cabang pohon filsafat ini begitu sehat, dan tak asing bagi kita, sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih dihadapi dengan menggunakan ontologi (studi tentang “yang-ada”) daripada dengan menggunakan ilmu. Dengan kata lain, walaupun kita takkan cukup berpengetahuan untuk menyusun ilmu keindahan, kita dapat cukup berpengalaman untuk menyusun ontologi keindahan. Itulah, pada faktanya, yang dilakukan oleh banyak filsuf ketika menangani pertanyaan-pertanyaan tentang estetika.

Pertanyaan estetik yang paling sering ditanyakan dalam lembar mawas mahasiswa adalah sesuatu seperti: Adakah standar obyektif bagi keindahan? atau Adakah pedoman pasti yang bisa kita manfaatkan untuk mengetes apakah penimbangan semacam itu benar atau salah? Mahasiswa-mahasiswa hampir selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan negatif. Namun para filsuf—terutama filsuf yang baik—tidak buru-buru mengasumsikan bahwa penimbangan estetik didasarkan pada tidak lebih daripada pendapat pribadi belaka. Upaya apa pun untuk menyusun ontologi keindahan akan mengasumsikan bahwa keindahan adalah sesuatu, dan mula-mula dan terutama akan berusaha untuk menemukan hakikat esensi yang tersembunyi itu. Maka, pada jam ini mari kita melihat salah satu contoh tentang bagaimana filsuf menjawab pertanyaan semacam itu.

Karena di beberapa kuliah terdahulu saya telah mengambil ide-ide Kant sebagai teladan dari filsafat yang “baik”, saya lagi-lagi akan menggunakan pendekatannya untuk menggambarkan bagaimana pertanyaan estetik bisa dijawab. Walaupun ada banyak pandangan filsuf lain yang layak untuk dipertimbangkan di sini, pandangan Kant, sebagaimana dalam banyak bidang penyelidikan filosofis lainnya, melambangkan titik balik dalam sejarah estetika, dan persoalan-persoalan yang ia geluti masih relevan dengan persoalan estetika kontemporer. Malahan, pemeriksaan terhadap pandangan estetiknya akan memungkinkan kita untuk memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang sistem filsafat kritisnya secara menyeluruh. Pada Kuliah 8 kita melihat bagaimana Kritik pertamanya menetapkan sudut pandang teoretis yang dipengaruhi oleh “fakultas” (yaitu daya mental) “kognisi” (atau pengetahuan). Pada Kuliah 22 kita memperhatikan bagaimana Kritik kedua Kant menentukan sudut pandang praktis khas yang dipengaruhi oleh daya “hasrat” (atau kehendak). Sekarang mari kita periksa bagaimana Kritik ketiga dan terakhir Kant, Critique of Judgment (1790) memerikan sebuah sudut pandang baru yang dipengaruhi oleh daya perasaan.

Karena dua daya pertama tersebut mengambil sudut pandang yang berlawanan, yakni teori dan praktek, Kant mengklaim bahwa sudut pandang ketiga dibutuhkan untuk membangun jembatan antara keduanya. Sudut pandang ketiga ini harus bebas (sebagaimana dalam penimbangan moral kita) dan, sekalipun begitu, juga harus didasarkan pada obyek yang inderawi (sensible) (sebagaimana dalam penimbangan kognitif kita). Dalam pengertiannya yang paling luas, “benda ketiga” dalam Sistem Kant ini selalu berisi pangalaman itu sendiri; namun dalam Kritik ketiga itu, fokus utamanya adalah tipe penimbangan tertentu, sehingga saya menyebut sudut pandang penengah ini “yudisial”. Sudut pandang yudisial berfokus pada penimbangan yang kita lakukan mengenai jenis pengalaman yang tidak dapat kita tafsirkan secara langsung dengan menggunakan pengetahuan ilmiah atau praktek moral—khususnya, penimbangan yang muncul dari daya kita yang merasa “nikmat atau pedih”. Jadi, jika kita pikir bahwa Kritik pertama Kant memandang pengalaman dari perspektif kepala dan Kritik kedua Kant memandang pengalaman dari perspektif perut, maka bisa kita bayangkan bahwa Kritik ketiga Kant memandang pengalaman dari perspektif hati, organ fisik yang biasanya diasosiasikan dengan perasaan kita. Seperti penimbangan moral yang bersesuaian dengan perut (lihat Kuliah 22), penimbangan estetik pun, menurut Kant, selalu nonkognitif—yakni tidak menghasilkan pengetahuan, yang dihasilkan oleh penimbangan logis (teoretis) (lihat antara lain, CJ 228). Dalam penimbangan logis, pemikiran kita mengendalikan imajinasi kita untuk mengungkap kebenaran, sedangkan dalam penimbangan estetik, imajinasi kita mengendalikan pemikiran kita untuk mengungkap keindahan. Catatan tentang pertalian antara tiga sistem Kant ini sekarang bisa kita pakai untuk membangun sintesis yang lebih rinci dari Gambar II.8 dan III.4:

I. Kepala: pengetahuan

(kebenaran yang timbul

dari keinderawian)

III. Hati: perasaan

(keindahan yang timbul

dari imajinasi)

II. Perut: kehendak

(kebaikan yang timbul

dari kebebasan)

Gambar X.2: Perasaaan sebagai Jembatan Kant antara Pengetahuan dan Kehendak

Ide utama yang mempengaruhi Kritik ketiga Kant adalah “finalitas” atau “kebermaksudan” (dua hasil penerjemahan kata Jerman, endlichkeit). Istilah ini mengacu pada perasaan yang kita miliki bahwa obyek atau peristiwa kontingen tertentu niscaya mengarah ke suatu tujuan atau ujung—yakni suatu maksud intrinsik yang harus dipenuhi untuk mewujudkan alasan final perihal keberadaan obyek atau peristiwa itu. Setengah bagian pertama dari buku tersebut berkenaan dengan finalitas “subyektif” yang kita alami manakala kita menimbang “keindahan” atau “keagungan” sesuatu. Setengah bagian kedua dari buku tersebut berkenaan dengan finalitas “obyektif” yang kita alami manakala hasil penimbangan kita adalah bahwa suatu obyek alamiah memiliki maksud atau rancangan. Pada jam ini kita hanya akan memiliki waktu untuk memeriksa dua contoh pertama Kant tentang finalitas subyektif.

Teori penimbangan estetik Kant didasarkan pada suatu 2LAR sempurna, yang menentukan perbedaan antara empat perasaan “yang menggirangkan” dalam obyek-obyek yang inderawi. Masing-masing menghasilkan tipe hasil penimbangan estetik yang berlainan: “suatu obyek diperhitungkan sebagai salah satu dari menyenangkan, indah, agung, dan baik (secara mutlak)” (CJ 266). Kant melihat kesesuaian langsung antara pembedaan ini, pembagian kategori berlipat-empat (lihat Gambar III.9), dan empat fakultas utama benak (keinderawian, pemahaman, penimbangan, dan akal): “yang-menyenangkan” adalah yang “menimbulkan kenikmatan seketika” (208) dan terutama berhubungan dengan kuantitas penimbangan, sebagaimana yang sepenuhnya terungkap dalam penginderaan; “yang-indah” mensyaratkan “kualitas” yang juga “bisa dipahami”; yang-agung memposisikan “hubungan” antara “yang inderawi” dan penggunaan pemahaman “yang mungkin adiinderawi” dalam penimbangan insani; yang-baik berisi “modalitas keniscayaan”, yang mensyaratkan siapa pun untuk sepakat dengan “penimbangan intelektual murni” (266-267, pemiringan huruf dari saya). Sementara yang-menyenangkan dan yang-indah keduanya dihasilkan dari “penimbangan rasa”, yang-agung dan yang-baik berakar di “perasaan intelektual, yang lebih tinggi” (192). Dengan menganggap bahwa itu menentukan sebutan pertama pada setiap unsur 2LAR, dengan sebutan kedua ditentukan oleh pertanyaan, “apakah bentuk kegirangan ini universal?”, kita dapat menyusun peta berikut ini:

Yang-baik

(intelek, universal)

kegirangan

berdasarkan-intelek

yang-agung yang-menyenangkan

(intelek, partikular) (rasa, partikular)

kegirangan

berdasarkan-indera

yang-indah

(rasa, universal)

Gambar X.3: Empat Bentuk Penimbangan Estetik Kant

Dalam upayanya untuk menjelaskan apa yang unik mengenai penimbangan keindahan, apa yang membuatnya berbeda dengan semua tipe penimbangan lain yang kita ajukan, Kant membuat perbedaan antara empat “momen” (atau anasir pokok) penimbangan rasa semacam itu. Itu semua bersesuaian, seperti lazimnya, dengan pola yang ditentukan oeh empat kategori yang merupakan perangkat spesialnya. Namun karena keindahan itu sendiri paling menyerupai kategori kualitas, ia memulai ontologinya tentang keindahan dengan deskripsi mengenai “momen kualitas” (CJ 203); ini menetapkan bahwa kegirangan yang dialami di suatu obyek yang dinilai indah harus tanpa kepentingan. “Kepentingan” adalah “kegirangan yang berhubungan dengan representasi dari eksistensi nyata kita mengenai suatu obyek” (204). Penimbangan yang menentukan “yang-menyenangkan dan yang-baik” keduanya “selalu berpasangan dengan suatu kepentingan di obyek itu” (209): yang terdahulu itu bergantung pada eksistensi sesuatu “yang kesenangannya ditemukan oleh indera dalam penginderaaan” (205), dan yang terkemudian itu pada eksistensi sesuatu “yang direkomendasikan oleh akal dengan konsepnya belaka” (207). Sebaliknya, peninmbangan keindahan, yang merupakan penimbangan murni terhadap rasa, “tidak bersandar pada kepentingan” (205n): orang yang membuat penilaian semacam itu harus memiliki “sikap tak peduli secara total” mengenai “eksistensi benda itu yang nyata” (205). Kalau tidak, Kant mengingatkan, penimbangan kita terhadap rasa akan “membias” demi kepentingan kita sendiri, bukannya menaksir apakah perasaan kita benar-benar dianggap sumber “keindahan” yang terpuji pada obyek itu.

Suatu ilustrasi akan turut menjernihkan tudingan Kant yang pertama itu, dan barangkali yang paling penting. Mari kita bayangkan tiga kemungkinan situasi tatkala seseorang mengacu pada “keindahan” matahari. Pertama, bayangkan bahwa cuacanya begitu cerah pagi ini sehingga anda memutuskan untuk membolos dan pergi ke pantai pada hari ini. Dalam kejadian ini, saat ini anda mungkin berbaring di hamparan pasir dengan sobat karib anda, menyerap kehangatan matahari. Jika anda menoleh ke kawan anda dan berkata “Matahari terasa indah saat ini”, maka, menurut Kant, anda menggunakan kata “indah” secara salah. Rasa nikmat anda ini merupakan hasil langsung dari kepentingan anda dalam keberadaan eksistensi matahari, yang ditimbulkan oleh penginderaan anda akan kehangatannya pada tubuh anda. Jadi, dalam situasi semacam itu lebih baik anda mengatakan bahwa matahari terasa “menyenangkan”. Untuk skenario kedua, bayangkan bahwa sekarang anda sedang berjalan-jalan dengan guru geografi anda, seraya membicarakan berbagai bentuk kehidupan di bumi. Tiba-tiba anda sadar bahwa matahari bersinar terang di sekeliling anda, lalu anda berseru, “Indah bukan, matahari melestarikan kehidupan di bumi?” Ini juga merupakan penggunaan kata “indah” secara salah. Lagi-lagi, rasa nikmat anda merupakan hasil langsung dari kepentingan anda dalam keberadaan matahari, namun saat ini kepentingan anda ditimbulkan oleh penangkapan intelektual anda terhadap kebaikan matahari. Skenario ketiga adalah yang saya paparkan di awal jam kuliah ini. Hanya jika, ketika saya duduk di sana menatap matahari yang sedang terbit, kenikmatan yang larut di dalam diri saya tidak berkaitan dengan keberadaan obyektif matahari, [dan] hanya jika penimbangan saya tidak didasarkan pada penginderaan yang menyenangkan saya (pada aktualnya saya sangat kedinginan pada waktu itu!) atau pun pada penghargaan saya terhadap faedah matahari ([pada waktu itu] saya terlalu lelah untuk berpikir dengan jernih!), benarkah seruan saya: “Matahari terbit ini indah!”? Namun jika penimbangan saya tidak didasarkan pada kepentingan saya sendiri di obyek itu, maka didasarkan pada apa? Kant menjawab pwertanyaan ini dalam pembahasannya tentang tiga ciri dasar khas lain yang terdapat pada penimbangan keindahan.

Walaupun penimbangan keindahan selalu subyektif, dan karenanya “tidak bersinggungan dengan Obyek” (CJ 215), Kant mengemukakan bahwa “kuantitas” penimbangan semacam itu mensyaratkan bahwa obyek apa pun “menimbulkan kenikmatan secara universal” (219). Oleh sebab itu, ciri khas kedua adalah jenis universalitas subyektif yang spesial. Sebaliknya, penimbangan terhadap yang-menyenangkan mengungkap suatu kegirangan yang subyektif tetapi tidak universal, dan penimbangan terhadap yang-baik mengungkap suatu kegirangan yang universal tetapi obyektif. Kriteria universalitas subyektif berarti bahwa seorang manusia harus menganggap bahwa suatu obyek adalah menggirangkan

as resting on what he may also presuppose in every other person; and therefore he must believe that he has reason for demanding a similar delight from everyone. Accordingly, he will speak of the beautiful as if beauty were a quality of the object and the judgment logical [even though it is not] ... (211).

(bila bergantung pada [sesuatu] yang juga bisa ia prakirakan pada semua orang lain; dan oleh sebab itu, ia pasti yakin bahwa ia mempunyai alasan untuk meminta [anggapan] kegirangan serupa dari semua orang. Secara demikian, ia akan membicarakan keindahan seolah-olah keindahan merupakan kualitas obyek dan [seolah-olah] penimbangannya logis ...) (211).

Tidak seperti penimbangan logis sejati, penimbangan rasa “tidak mendalilkan kesepakatan dari semua orang ...; [penimbangan] ini hanya mempertalikan kesepakatan ini dengan setiap orang” (216). Kita berasumsi setiap orang akan setuju bahwa matahari itu baik karena melangsungkan kehidupan, tetapi kita tidak beranggapan setiap orang akan sepakat bahwa mandi-matahari merupakan pengalaman yang menyenangkan. Dua jenis penimbangan ini sangat apa adanya. Namun bila kita menilai bahwa sesuatu itu indah, kita merasa setiap orang mestinya membuat penimbangan yang sama jika ditempatkan dalam posisi yang sama: kita mengambil “ide” bahwa penimbangan kita merentang “ke semua subyek, sama apa adanya dengan jika ini merupakan penimbangan obyektif” (285), walaupun kita mungkin mengetahui lebih baik bahwa, sebagaimana faktanya, setiap orang tidak sepakat.

Ciri khas semua penimbangan keindahan yang ketiga adalah mengenai hubungan “ujung-ujung” (CJ 219): obyek penimbangan semacam itu harus memperlihatkan “bentuk finalitas [yakni, kebermaksudan] ... yang lepas dari representasi suatu ujung [yakni, maksud]” (236). Paradoks ini mensyaratkan bahwa, dalam menilai bahwa suatu obyek adalah indah, kita mengakui bahwa itu eksis lantaran suatu alasan, karena kita mencerap kebermaksudan batiniah; sekalipun begitu, tidak ada maksud eksternal yang bisa didapatkan. Ini bukan ilusi, menurut Kant, melainkan bagian dari makna sesuatu yang disebut indah: menilai bahwa sesuatu indah berarti menilai bahwa itu menunjuk kepada diri-sendiri, bukan kepada suatu penginderaan yang menyenangkan atau keadaan yang baik pada urusan di luar obyek. Karena “landasan penentu” penimbangan semacam itu “adalah finalitas bentuk saja” (223), Kegirangan kita dalam sesuatu yang indah hanya didasarkan pada keyakinan bahwa “keadaan representasi itu sendiri” secara intrinsik selayaknya lestari (222). Sebaliknya, kegirangan kita dalam mengalami sesuatu yang menyenangkan atau yang baik itu ditentukan oleh tujuan eksternal yang dituju, seperti penginderaan yang menyenangkan terhadap rasa makanan yang tersaji dengan baik, atau kemampuan makanan untuk mengatasi rasa lapar kita. Dengan kata lain, kegirangan dalam yang-indah berarti kegirangan dalam sesuatu yang tidak hendak kita habiskan, tetapi kita lestarikan, sebagaimana dalam kejadian “momen nirwaktu” yang saya paparkan di permulaan kuliah ini.

Ciri khas keempat dan terakhirnya, “momen” modalitas dalam penimbangan keindahan apa pun, adalah bahwa pengalaman itu pasti menghasilkan “kegirangan-niscaya” (CJ 240). Kant secara berhati-hati menyatakan perbedaan antara “keniscayaan” pengetahuan empiris yang “obyektif teoretis”, “keniscayaan praktis” tindakan moral, dan keniscayaan “yang patut dicontoh” dari penimbangan estetik (236-237). Pengalaman girang dalam suatu obyek yang indah bisa dianggap sebagai contoh-niscaya hanya jika kita memprakirakan “eksistensi indera umum” (yaitu cara yang umum dalam mengindera alam), yang bersesuaian dengan “pemahaman umum” yang memungkinkan kita untuk sepakat pada penimbangan kognitif (238). (Omong-omong, yang terkemudian ini lebih dekat dengan gagasan tradisonal tentang “indera umum” daripada yang terdahulu.) Hampir semua orang skpetis yang paling ekstrim berasumsi bahwa indera umum ini merupakan “syarat-perlu untuk mengkomunikasikan pengetahuan kita”, sehingga itu bisa juga berfungsi sebagai norma ideal” yang merupakan basis bagi keperluan penimbangan estetik kita (239). Kant juga mengacu dengan cara serupa pada suatu “tipe-dasar rasa” yang berfungsi sebagai “model tertinggi” bagi penimbangan estetik, namun diperingatkan bahwa kemampuan orang-orang untuk mengaksesnya sangat bervariasi; “masing-masing orang memperanakkan [tipe-dasar ini] dalam kesadarannya sendiri” (232), karena inilah keterampilan yang harus diperoleh. Kant yakin, yang harus kita akses hanyalah “suara universal” yang memberitahu kita “satu-satunya kemungkinan penimbangan estetik yang bisa ... dinilai sahih bagi setiap orang” (216).

Nah, dengan memeriksa catatan Kant yang sering paradoksis tentang empat prinsip yang mendasar bagi hakikat penimbangan keindahan kita secara ontologis, kita dapat merangkum teorinya dengan peta ini:

kegirangan niscaya

kebermaksudan universalitas

tanpa maksud subyektif

kegirangan tanpa kepentingan

Gambar X.4: Empat Momen dalam Penimbangan Keindahan

Perhatikanlah bahwa dua ciri khas yang dipetakan pada garis datar keduanya diungkapkan dengan menggunakan logika sintetik, sedangkan yang pada garis tegak keduanya cocok dengan logika analitik.

Dengan diletakkan bersama-sama, empat ciri khas semua penimbangan keindahan tersebut menyiratkan bahwa penimbangan semacam itu tidak mengarah ke suatu maksud yang gamblang, tetapi pada suatu misteri yang tersembunyi sedalam-dalamnya di dalam obyek-obyek tertentu yang kita alami: ide-ide estetik kita “meregang di belakang sesuatu yang terletak di luar tapal batas pengalaman” (CJ 314). Di samping memakai istilah “finalitas” (atau kebermaksudan) untuk memerikan misteri itu, Kant juga mengklaim bahwa, pada hakikatnya, “yang-indah adalah simbol yang-baik secara moral” (353). Dengan demikian, ia tidak bermaksud bahwa pengalaman keindahan bagaimanapun bergantung pada pengalaman kebaikan, tetapi hanya bahwa, sebagaimana penghormatan kepada hukum moral memberi pijakan dalam kehendak kepada kebaikan moral, “analogi” antara keindahan dan moralitas pun memberi pijakan di alam kepada moralitas. Dalam melakukannya, pengalaman seperti itu bekerja untuk mencairkan ketegangan antara sudut pandang teoretis dan praktis kita (bandingkan Gambar VIII.2 dan X.2).

Sekarang marilah kita selangkah mundur dari teori Kant dan bertanya: Apakah ciri khas dasar semacam itu menetapkan standar obyektif yang dimiliki oelh keindahan? Ya dan tidak! Di sati sisi, ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa kita menggunakan kata “keindahan” dengan tepat pada waktu kita bersikap seolah-olah semua orang lain mestinya setuju. Artinya, penimbangan keindahan mensyaratkan bahwa kita mengambil sudut pandang “hati sehat” (common sense) yang universal—atau, sebagaimana kita bisa juga menyebutnya, sudut pandang penyatuan; melalui sudut pandang ini, keragaman pengalaman-biasa kita dimiliki bersama-sama dengan suatu perasaan tingkat-mendalam yang umum. Namun di sisi lain, Kant sepenuhnya mengakui bahwa perasaan ini subyektif, dan bahwa oleh sebab itu orang-orang pasti tidak sepakat tentang apa yang mestinya dianggap indah (239). Dalam kasus semacam ini, ia berargumen, jika kedua pihak itu menimbang secara benar-benar estetis, maka “keduanya ... menimbang secara benar” (231). Tentu saja, ini dimungkinkan hanya jika kita menafsirkan pengalaman semacam itu dengan menggunakan logika sintetik. Jadi, meskipun catatannya tentang empat unsur esensial dalam penimbangan keindahan tidak memberi kita suatu standar obyektif, dalam pengertian seperangkat kriteria universal yang dapat dipaksakan secara eksternal pada semua kemungkinan obyek, itu sungguh memberi kita suatu standar universal, dalam pengertian seperangkat kriteria yang bisa diterapkan secara internal pada semua kemungkinan subyek yang mengharapkan pengalaman keindahan. Dan ini bukan prestasi kecil!

Artinya, kemampuan kita untuk mengalami keindahan tidak banyak bergantung pada karakteristik obyektif obyek-obyek yang kita jumpai setiap hari, tetapi pada apakah kita mampu mengambil sudut pandang ini tatkala situasi yang sesuai dengan itu muncul sendiri. Dengan kata lain, sebagaimana semua pengalaman penyatuan yang akan kita periksa di Bagian Empat ini, pengalaman keindahan itu mungkin “menerpa” kita hanya bila kita siap secara internal untuk menerima misteri pemberian semacam itu. Oleh karena itu, bisa saja bahwa orang-orang yang tinggal di dekat saya pada pagi hari di musim dingin di Inggris tersebut, yang mungkin bangun pada waktu yang sama dengan saya, memandang keluar melalui jendela, dan memperhatikan bahwa tiada yang indah. Kalau saja saya bertemu dengan mereka, saya merasa sangat mantap bahwa mereka mestinya memperhatikan keindahan matahari yang sedang terbit tersebut, dan mereka akan memperhatikannya sekiranya memelihara secara memadai “hati sehat” yang memberi kita rasa keindahan; sekalipun demikian, saya tidak bisa memaksa mereka untuk menyetujui penimbangan saya.

Oleh sebab itu, ontologi keindahan ala Kant menyiratkan bahwa pepatah lama “rumput tetangga lebih hijau”iii[3] memiliki sedikit-banyak kebenaran. Akan tetapi, pepatah itu akan jelas-jelas disalahtafsirkan jika kita mengasosiasikannya dengan peribahasa relativistik seperti “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”,iv[4] dan diartikan bahwa “apa yang indah dan apa yang tidak indah menurut pikiran orang-orang yang berlainan tidak menjadi masalah, karena keindahan itu berbeda bagi setiap orang”. Dengan asumsi bahwa karena keindahan tidak ilmiah lalu itu pasti khayalan belaka, pandangan yang terlalu umum ini menyingkirkan keindahan paradoks yang membuatnya sebegitu adanya. Itu karena, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kant, sifat subyektif penimbangan-penimbangan semacam itu (yaitu fakta bahwa penimbangan-penimbangan itu bergantung terutama pada mata kita sendiri) tidak menyiratkan bahwa pengalaman kita perihal keindahan semuanya nisbi belaka; pengalaman semacam itu justru menempatkan kita ke dalam kontak dengan realitas mutlak, suatu misteri yang dilirik sekilas oleh imajinasi kita tetapi tidak bisa sepenuhnya ditangkap oleh pikiran kita. Hanya karena keindahan tidak berada di mata saya pada satu momen tertentu tidak berarti bahwa itu tidak di situ, [tetapi] menunggu diperhatikan dan dirasakan, hanya jika saya berkehendak untuk merasakan kehadirannya.

30. Persatuan-Kembali dan Misteri Cinta

Apakah cinta itu?

Menjawab pertanyaan ini penting, atau sekurang-kurangnya mestinya perlu, bagi semua orang, termasuk orang-orang yang tidak mengenal filsafat. Itu karena kita masing-masing pernah mengalami cinta beberapa kali di masa lalu, kendati pada umumnya diakui bahwa kesadaran kita tentang cinta sangat bervariasi. Sebagian orang merasa bahwa mereka jarang mengalami cinta yang lebih dari sekilas di sana sini, sedangkan sebagian lainnya merasa bahwa mereka harus menyembunyikan cinta, agar cinta itu tidak berhamburan seperti banjir bandang yang menyapu obyek-obyek yang dituju olehnya. Hampir semua orang setuju bahwa cinta merupakan aspek kehidupan manusia yang penting sekali, dan bahwa tanpa cinta, kehidupan yang maknawi sulit atau mustahil dijalani. Oleh sebab itu, tidaklah mengejutkan mendapati bahwa cinta biasanya merupakan salah satu topik yang paling sering dibahas (di samping kebenaran, keindahan, kematian, dan makna kehidupan) dalam lembar mawas mahasiswa.

Bilamana mahasiswa-mahasiswa menulis tentang cinta, biasanya ada kecenderungan untuk menekankan cinta romantik, dan karenanya memandang cinta terutama sebagai perasaan, yang tertuju secara eksklusif terhadap orang idaman yang dikenal selaku “kekasih”. Namun tentu saja, sebagaimana yang sering ditunjukkan, terdapat beraneka ragam tipe cinta. Dan sebagian dari tipe-tipe ini lebih tepat dideskripsikan dengan peristilahan komitmen, yang tertuju secara inklusif terhadap banyak orang yang bukan idaman. Salah satu cara yang paling lazim dalam menjawab pertanyaan tentang hakikat cinta adalah mengaku bebal, dengan mengemukakan bahwa tak seorang pun bisa mendefinisikan cinta, atau bahwa setiap orang memiliki definisi sendiri-sendiri, sehingga tidak ada definisi tunggal yang mencakup semua orang. Dalam satu hal, tiada keraguan bahwa itu benar: di antara semua pengalaman yang dimiliki oleh manusia, cinta tentu saja merupakan salah satu dari yang paling misterius; dan karena kita masing-masing pasti bergantung terutama pada pengalaman kita sendiri, memang ada berbagai ide tentang cinta hampir sebanyak orang yang memberi dan menerima cinta.

Di manakah hal itu melalaikan filsuf? Sia-siakah upaya untuk memberi catatan filosofis sejati tentang cinta—yakni yang memaparkan keserupaan dasar antara semua tipe cinta, dan faktor umum yang dalam semua definisi yang berterima? Begiutlah dalam suatu pengertian. Sebagaimana yang telah kita lihat pada banyak kesempatan, beberapa pengalaman tak pernah bisa dipaparkan secara mencukupi, khususnya dengan menggunakan logika analitik saja; dan dalam kasus semacam itu pada aktualnya kita menemukan bahwa kadang-kadang kita dapat memahami pengalaman kita secara lebih baik di keheningan daripada di kata-kata. Akan tetapi, dalam pengertian lain, filsuf tak pernah puas dengan keheningan lengkap, tetapi selalu berpegang harpan bahwa kata-kata agak bisa digunakan untuk mengungkap hal yang tak bisa terungkap. Inilah maksud bahasa simbolik, sebagaimana yang akan kita lihat dengan lebih penuh di Kuliah 31, dan dimungkinkan oleh logika sintetik. Asalkan kita tidak berharap untuk mencerap cinta selengkapnya, seolah-olah kita bisa menyederhanakannya menjadi rumus belaka, tetapi hanya berupaya untuk mempelajari apa yang dimaksud dengan dicerap oleh cinta, saya tidak melihat alasan mengapa kita tidak sebaiknya mencari filsafat cinta yang memungkinkan kita untuk memandang keragaman pengalaman manusiawi sebagai bagian dari suatu keutuhan yang menyatu.

Pada faktanya, ada banyak filsuf, dari Plato dan Aristoteles hingga saat ini, yang telah menyusun teori tentang cinta. Karena kita tidak punya waktu untuk memeriksa sejarah filsafat cinta seutuhnya, mari kita lihat lebih dekat ide seorang filsuf yang agak terkini, yang pencariannya akan makna cinta membawa dia ke beberapa simpulan yang amat memikat. Orang yang saya bicarakan ini ialah Paul Tillich, yang idenya tentang keimanan sebagaimana yang terungkap dengan menggunakan simbol-simbol kepedulian hakiki akan kita periksa di Kuliah 31. Buku kecilnya yang berwawasan luas, Love, Power, and Justice (1954), mencurahkan sebagian besar dari satu babnya untuk menjelaskan “Ontologi Cinta”. Istilah “ontologi” bisa didefnisikan secara agak sederhana sebagai “studi tentang yang-ada”. Sekalipun demikian, mari kita secara singkat melihat dengan lebih mendalam catatan tentang makna istilah ini yang muncul pada permulaan bab Tillich tentang cinta.

Catatan Tillich berawal dengan menyiratkan bahwa kata Yunani untuk “ontologi” sebaiknya diterjemahkan sebagai mengacu pada “’kata rasional’ [logos] yang mencerap ‘yang-ada saja’ [on]” (LPJ 18). Untuk memahami “kata” ini, ia secara paradoksis mengklaim, “ontologi mengajukan pertanyaan sederhana dan yang sulitnya tak terhingga: Apa maksud keberadaannya? Struktur [atau karakteristik] umum apa pada segala sesuatu yang ... turut serta dalam yang-ada?” (19). Ontologi mengakui bahwa yang-ada “beranekaragam”, tetapi berupaya untuk mempersatukan keragaman itu dengan memaparkan “tekstur [yang terdapat pada] yang-ada itu sendiri” (20). Setiap orang yang mempunyai pengetahuan terlibat dalam ontologi, karena “mengetahui berarti mengakui sesuatu sebagai ada.” Ia membedakan ontologi dari metafisika dengan jalan berikut ini:

... ontology is the foundation of metaphysics, but not metaphysics itself. Ontology asks the question of being, i.e. of something that is present to everybody at every moment. ... Ontology is descriptive, not speculative. It tries to find out which the basic structures of being are. And being is given to everybody who is and who therefore participates in being-itself. Ontology, in this sense, is analytical. It analyses the encountered reality, trying to find the structural elements which enable a being to participate in being. (23)

(... ontologi ialah pondasi metafisika, tetapi bukan metafisika itu sendiri. Ontologi mengajukan pertanyaan tentang yang-ada, yakni sesuatu yang muncul pada setiap orang pada setiap saat. ... Ontologi itu deskriptif, bukan spekulatif. [Ontologi] itu berusaha mencari tahu struktur dasar yang dimiliki oleh yang-ada. Adapun yang-ada tersaji pada setiap orang yang ada di dalam yang-ada itu sendiri dan yang karenanya turut serta di dalam yang-ada itu sendiri. Ontologi, dalam pengertian ini, adalah analitis. [Ontologi] itu menganalisis realitas yang dihadapi, dengan berupaya mendapatkan anasir struktural yang memungkinkan suatu yang-ada untuk turut serta di dalam yang-ada.) (23)

Walaupun Tillich tak pernah secara tersurat mengatakannya, pasal ini terang-terang menyiratkan bahwa ontologi itu analitik dan sekaligus aposteriori (lihat Gambar IV.4): seperti logika, ontologi itu “analitik”, namun tidak seperti logika, [ontologi] itu “deskriptif” (yakni secara aposteriori berfokus pada yang-merupakan (what is), bukan pada apa yang kita pikir). Sebaliknya, metafisika itu sintetik dan apriori (sekurang-kurangnya menurut Kant): metafisika mengajukan pertanyaan di seputar apa yang niscaya sebelum kita mengalami “yang-merupakan”, tetapi itu mensyaratkan bahwa kita melangkah keluar dari konsep-konsep analitis kita. Oleh sebab itu, daripada mengatakan bahwa ontologi adalah “pondasi” metafisika, akan lebih akurat mengatakan bahwa metafisika dan ontologi merupakan dua tugas yang bertolak belakang yang bagaimanapun saling bergantung, sebagaimana lawanan antara -- dan ++ saling bergantung, dan sebagaimana antara akar dan daun pohon.

Pasal yang mengandung deskripsi ontologis Tillich tentang cinta pada aktualnya cukup singkat. Awalnya adalah deskripsi tentang pertalian antara cinta dan kehidupan itu sendiri (LPJ 25): “Kehidupan merupakan yang-ada pada aktualnya, dan cinta merupakan dayapenggiring kehidupan.” Dengan kata lain, bila suatu yang-ada tidak lagi yang-mungkin belaka, dan menjadi aktual, kita dapat mengatakan bahwa itu “hidup”; dan daya inti yang menggiring yang-ada menuju kehidupan dan melalui kehidupan disebut “cinta”. Ini berarti yang-ada itu memerlukan cinta untuk menjadi “aktual”, dan melalui cinta kita mempelajari apa yang merupakan cinta pada kenyataannya. Tentu saja deskripsi itu begitu luas sehingga tampaknya hampir meliputi segala sesuatu! Maka Tillich mempersempit pemeriannya dengan suatu ide yang dipinjam langsung dari Symposium Plato:

Love is the drive towards the unity of the separated. Reunion presupposes separation of that which belongs essentially together.... [But] separation presupposes an original unity.... It is impossible to unite that which is essentially separated.... Therefore love cannot be described as the union of the strange but as the reunion of the estranged. Estrangement presupposes original oneness.

(Cinta merupakan penggiring ke arah kesatuan dari yang-terpisah. Persatuan-kembali memprakirakan pemisahan [hal-hal] yang merupakan kepunyaan bersama pada esensinya. ... (Namun] pemisahan memprakirakan suatu kesatuan orisinal. ... Mustahil disatukan [hal-hal] yang pada esensinya terpisah. ... Oleh karena itu, cinta tidak bisa dideskripsikan sebagai persatuan antara yang-asing, tetapi sebagai persatuan-kembali antara yang-terasing. Pengasingan itu memprakirakan kesatuan orisinal.)

Makna dasar pasal ini bisa dipahami dengan cukup efektif melalui pemetaan ide-ide kunci pada pasangan segitiga 1LSR yang terlihat pada Gambar V.7 (bandingkan Gambar III.7). Peta hasilnya, yang tersaji pada Gambar X.5, menggambarkan bagaimana pengasingan merupakan sebuah langkah-niscaya dalam proses cinta, proses yang membawa kembali dua lawanan (+ dan -) terasing, yang pernah melekat bersama dalam suatu kesatuan orisinal (0) yang misterius, secara bersama-sama ke dalam suatu “persatuan-kembali” (1). Hampir segala pasang lawanan apa pun bisa dipakai sebagai contoh proses itu. Namun terdapat contoh yang gambalang manakala seorang pria (+) dan seorang wanita (-) jatuh cinta. Dua pecinta ini, tatkala saling menatap, ingin lebih dekat dan ingin semakin dekat, sampai, kalau bisa, berbaur menjadi satu keberadaan (1). Bilamana mereka bersama-sama, mereka merasa seolah-olah kembali ke rumah lamanya (0); namun tampaknya selalu ada kendala yang pada puncaknya membuat mereka terasing. Oleh sebab itu, yang niscaya dalam pembahasan Tillich adalah bahwa persatuan-kembali itu sendiri bukan cinta, melainkan sasaran yang dituju oleh cinta. Cinta itu sendiri, yang-ada (being) pada cinta, merupakan daya penggiring ke arah persatuan-kembali. Artinya, kelirulah pemikiran bahwa cinta merupakan tujuan; cinta adalah daya pemersatu suatu pertalian, yang memungkinkan dua yang-ada untuk bergerak menuju tujuan yang lebih tinggi.

pria (+)

kesatuan puncak

asal pengasingan keterasingan cinta persatuan

(0) kembali (1)

wanita (-)

Gambar X.5: Ontologi Cinta Ala Tillich

Tillich mengingatkan para pembacanya untuk tidak membuat kekeliruan, jangan sampai mereka mengira bahwa sifat dasar deskripsi ontologisnya tentang cinta yang agak abstrak itu emosi yang sering kita asosiasikan dengan cinta. Cinta begitu saja bisa terjadi tanpa disertai dengan emosi apa pun. Akan tetapi, bila emosi menyertai cinta, kata Tillich, ontologi cinta membantu kita dalam menjelaskan mengapa itu muncul. Karena cinta adalah kemudi menuju persatuan-kembali, tentu saja dimungkinkan mencintai seseorang tanpa banyak berpikir tentang akan seperti apakah persatuan-kembali yang merupakan keadaan akhir itu. Jika itu terjadi, maka akan ada sedikit atau tidak ada emosi yang berhubungan dengan cinta, karena “cinta sebagai emosi adalah antisipasi terhadap persatuan-kembali” (LPJ 26). Sebaliknya, itu berarti bahwa seseorang yang sering membayangkan keadaan kesatuan dengan orang lain yang di masa depan meningkat akan mendapati bahwa begitu banyak emosi yang menyertai pengalaman pergerakan menuju persatuan-kembali itu (yaitu cinta).

Begitu hal itu diakui, timbullah suatu paradoks yang menarik ketika kita mempertimbangkan apa yang terjadi tatkala kita mengalami pemenuhan cinta: “Cinta yang penuh, pada saat yang sama, adalah kebahagiaan puncak dan akhir kebahagiaan. Pemisahan itu tak berdaya. Namun tanpa pemisahan tidak ada cinta atau pun kehidupan” (LPJ 27) Gagasan pokok Tillich di sini adalah bahwa hakikat antisipasi kita terhadap suatu tujuan adalah saat pencapaian tujuan itu, saat pemuasan yang paling memuaskan ialah saat awal rasa kekosongan dengan prospek bahwa tiada lagi tujuan yang diperjuangkan setelah itu. Itu memungkinkan kita untuk memahami mengapa tekanan romantik pada cinta sebagai perasaan bisa amat menyesatkan. Tentu saja, perasaan adalah penting karena ditimbulkan oleh antisipasi kita terhadap persatuan-kembali; dan jika kita tak pernah mengantisipasi tujuan ini, cinta kita kurang berkemungkinan untuk berkembang menuju ujungnya yang tepat. Namun bila cinta tidak dilandaskan secara lebih mendasar pada suatu komitmen kehendak, maka manakala “ujung kebahagiaan” tiba—karena tak terelakkan—kita akan terkena tanpa dinyana-nyana, dan bahkan mungkin mengira cinta kita telah pudar, hanya karena perasaan lama kita lenyap.

Hal itu mengungkap suatu wawasan yang amat praktis mengenai bagaimana kita mesti memandang pernikahan. Pecinta-pecinta yang memandang pernikahan sebagai tujuan akhir jalinan [cinta] mereka mungkin akan sangat terkejut begitu menyadari, biasanya tak lama seusai hari perkawinan, bahwa pernikahan tidak menyenangkan sama sekali: orang yang pernah dipandang selaku kekasih ideal pasti berubah menjadi orang biasa yang tak sempurna. Karenanya cerita cinta Hollywood pada khususnya amat menyesatkan: saya yakin kalian pernah melihat banyak film dan/atau membaca banyak novel yang mengisahkan pria dan wanita yang saling jatuh cinta, berusaha mengatasi berbagai kendala demi pemenuhan cinta mereka, akhirnya menkah, dan kemudian berangkat ke arah tenggelamnya matahari pada akhir film itu, untuk “hidup bahagia selamanya”. Pada akhir kisah semacam itu sebagian besar dari kita berkeinginan “sekiranya aku pun demikian ...”. Namun waspadalah: hal yang utuh tersebut merupakan impian yang mustahil, karena akhir cerita film tersebut mungkin mengawali perjuangan hidup kita!

Pelajaran yang diajarkan kepada kita adalah tetapkanlah tujuan-tujuan yang tinggi dalam penjalinan percintaan (bahkan, barangkali tujuan-tujuan mutlak), [sedemikian rupa] sehingga setiap langkah kecil di sepanjang jalan itu (setiap “persatuan-kembali mini”, kalau bisa disebut) bisa membawakan kebahagiaan luar biasa dan, di samping itu, melengkapi kebahagiaan yang dialami dalam proses penggiringan menuju langkah itu, tanpa mengikis basis jalinan cintanya. Dengan kata lain, selalu ada ruang bagi jalinan apa pun untuk tumbuh menuju tingkat cinta yang lebih mendalam: kita jangan sampai berharap untuk mencapai “cinta sejati”, karena cinta sejati ialah proses pencapaian menuju suatu tujuan puncak. Pemenuhan tujuan ini merupakan ujung cinta, dan karenanya hanya bisa tiba pada (atau sesudah) akhir kehidupan. Karena itulah, sebagaimana yang akan kita saksikan di Pekan XII, kematian merupakan topik yang amat penting dalam ontologi. Namun sementara itu, kita harus mengakui bahwa masalah kita tak terpecahkan oleh sekadar pemahaman terhadap hakikat ontologis cinta; proses pemahaman terhadap yang-merupakan cinta, seperti ontologi itu sendiri, adalah “suatu tugas tanpa akhir” (LPJ 20).

Seusai melengkapi paparannya tentang hakikat cinta, Tillich menjelaskan empat jalan terwujudnya cinta yang berlainan. Cinta itu sendiri merupakan “satu” jalan yang dimiliki oleh yang-ada (LPJ 27); itu selalu merupakan kendali menuju persatuan-kembali dari yang-terpisah. Namun kendali ini muncul dalam banyak bentuk yang berbeda-beda. Keempat bentuk yang dibahas oleh Tillich itu bisa dianggap sebagai sebuah 2LAR sempurna, yang tersusun dari dua pertanyaan: (1) Apakah bentuk cinta itu pribadi? dan (2) Apakah itu timpang (sebagai lawan dari saling memberi)? Secara demikian, bentuk-bentuk itu bisa dipetakan pada salibnya dengan cara berikut ini:

agape

(adipribadi, timpang)

eros epitimia

(lintaspribadi, (nirpribadi,

timpang saling memberi)

filia

(pribadi, saling memberi)

Gambar X.6: Empat Tipe Dasar Cinta

Peta ini menunjukkan bagaimana epitimia dan filia itu keduanya sama-sama mensyaratkan bahwa subyek yang mencintai dan obyek yang dicintai itu merupakan partisipan yang saling memberi (mutual) dalam jalinan cinta, sedangkan eros dan agape itu keduanya sama-sama mensyaratkan bahwa kedua pihak memiliki peran yang timpang (unequal); peta itu pun juga menunjukkan bagaimana eros dan epitimia sama-sama nirpribadi (impersonal), sedangkan agape dan filia sama-sama pribadi (personal). Pengertian bahwa “lintaspribadi” merupakan tipe cinta nirpribadi yang istimewa dan “adipribadi” merupakan tipe cinta pribadi yang istimewa akan menjadi jelas bila kita lihat dengan lebih dekat catatan Tillich tentang bagaimana tipe cinta masing-masing itu menggambarkan definisinya tentang esensi cinta.

Menurut Tillich (LPJ 28-30), kata Yunani “epithymia” (yang bermakna hasrat) kurang-lebih setara dengan istilah Latin “libido”, sebagaimana yang dipopulerkan oleh Freud (lihat DW 56-61). Istilah-istilah ini mengacu pada hasrat naluriah dasar yang memberi ciri khas semua binatang, khususnya kendali seksual. Di dalam lubuknya (dipandang lepas dari tipe cinta lainnya yang sering menyertainya dalam manusia yang-ada), epitimia itu nirpribadi secara mengakar. Dorengan seksual manusiawi, misalnya, pada prinsipnya bisa dipenuhi oleh kurang-lebih siapa saja, tanpa mempedulikan kepribadian mereka, sebagaimana rasa lapar bisa diatasi oleh tipe makanan apa pun, tanpa mempedulikan seberapa pahit rasanya. Biasanya, pihak-pihak yang berada dalam hasrat semacam itu saling memberi untuk memenuhi hasrat pihak lain. Dengan jalan ini, epitimia menimbulkan kenikmatan inderawi dalam proses penggiringan dua pihak yang terpisah menuju persatuan fisik. Namun Tillich mengemukakan bahwa dalam ungkapan yang tepat tentang cinta epitimia, “bukan kenikmatan semacam itu yang dihasrati, melainkan persatuanlah yang memenuhi hasrat tersebut.” Artinya, dua pecinta tersebut menghasrati persatuan-kembali, dan persatuan-kembali ini menghasilkan kenikmatan. Karenanya, hasrat hewani dasar tersebut mempunyai hak yang absah untuk disebut “cinta”, walaupun itu hanya mewakili tipe dasar cinta yang “paling rendah”.

Bila “epitimia” itu lebih dari sekadar ekspresi persatuan seksual dan dihaluskan dalam bentuk suatu kendali yang “menuju persatuan dengan bentuk-bentuk alam dan kebudayaan” (LPJ 30), itu lebih tepat untuk disebut “eros”. Kata Yunani ini (yang terkait secara agak menyesatkan dengan kata “erotis”) dipakai oleh Plato dan filsuf-filsuf Yunani kuno lainnya untuk memerikan pencarian persatuan secara filosofis dengan ide-ide—terutama dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Secara demikian, itu mengacu pada bentuk lintaspribadi cinta yang “memperjuangkan persatuan dengan yang merupakan pembawa nilai-nilai”. Tidak seperti epitimia, bentuk cinta nirpribadi yang lebih tinggi ini pada dasarnya berat sebelah atau timpang, dalam arti bahwa si “pecinta” berjuang menuju sesuatu yang tidak perlu menanggapi dengan suatu kendali mutual menuju kesatuannya sendiri. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan acapkali tidak bisa kita berlakukan ketika kita mencoba menangkapnya. Pernahkah anda tiba-tiba menyadari bahwa apa yang dulu anda pikir benar pada aktualnya palsu? Pernahkah anda berusaha melakukan sesuatu yang baik, namun akhirnya perilaku tersebut justru anda kenal sebagai salah? Atau pernahkah anda ditertawakan lantaran pilihan anda dalam berbusana, atau dalam sesuatu hal lain yang memerlukan penimbangan rasa? Jika ya, maka anda telah mengalami perjuangan yang secara tak terelakkan menyertai kendali eros yang menuju persatuan kembali dengan obyek penilaian yang berkepala batu.

Tillich mengacu pada kesalingbergantungan mutual antara eros dan “philia” (kata Yunani untuk persahabatan) sebagai jalinan “kutub” (LPJ 31). Ini tercermin dalam Gambar X.6 oleh dengan bahwa kedua istilah ini muncul pada posisi “nirmurni” (+- dan -+) salib (walau saya akan mengacu pada ini sebagai bentuk kesalingbergantungan “kontradikter”). Sebagai cinta yang benar-benar “personal”, filia merupakan prasyarat bagi eros, karena orang tak bisa lewat dari yang nirpribadi ke yang melampaui yang pribadi sebelum orang itu mencapai keadaan-pribadi (personhood). Secara demikian, filia tidak hanya mengacu pada persahabatan konvensional, tetapi juga pada kendali mutual yang menuju kesatuan yang memberi ciri jalinan keluarga dan semua jalinan antarindividu lainnya dalam suatu kelompok umum. Sebagaimana yang diletakkan oleh Tillich (32): “Cinta sebagai filia itu memprakirakan sejumlah familiaritas dengan obyek cinta. Lantaran alasan inilah Aristoteles menegaskan bahwa filia itu hanya mungkin terjadi di antara pihak-pihak yang setara.”

Sementara tiga tipe cinta yang pertama itu berkaitan erat dengan pengalaman manusia, Tillich mengklaim bahwa tipe keempat, yang dikenal sebagai “agape” (kata Yunani untuk kasih yang dipakai terutama dalam Perjanjian Baru), berbeda jauh:

One could call agape the depth of love or love in relation to the ground of life [i.e., God]. One could say that in agape ultimate reality manifests itself and transforms life and love. Agape is love cutting into love, just as revelation is reason cutting into reason ... (LPJ 33)

(Kita bisa menyebut agape kedalaman cinta atau cinta dalam hubungannya dengan alas cinta [yaitu Tuhan]. Kita bisa mengatakan bahwa dalam agape, realitas terdalam itu muncul sendiri dan mengubah kehidupan dan cinta. Agape ialah cinta yang menerobos ke dalam cinta, sebagaimana wahyu ialah akal yang menerobos ke dalam akal ...) (LPJ 33)

Tidak seperti eros, yang melampaui filia dengan penggiringan menuju kesatuan lebih tinggi yang melampaui keadaan-pribadi, agape melampaui filia dengan penggiringan menuju kesatuan lebih tinggi yang [ada] di dalam keadaan-pribadi. Agape mencapai jenis cinta adipribadi ini melalui pembalikan tujuan yang ditetapkan oleh eros. Akan tetapi, agape itu seperti eros, sejauh keduanya memprakirakan suatu jalinan yang secara mendasar timpang antara yang-mencintai dan obyek cinta: sementara eros adalah pengendali orang yang kekurangan nilai yang menuju kesatuan dengan obyek yang bernilai secara intrinsik, agape adalah pengendali orang yang mempunyai nilai yang menuju kesatuan dengan obyek yang di dalam lubuknya tidak memiliki nilai bagi si pecinta. Inilah jenis cinta yang menurut orang-orang Nasrani dimiliki oleh Tuhan [yang diperuntukkan] bagi manusia dan yang mestinya kita miliki terhadap orang-orang yang secara alamiah takkan kita cintai. Dari sudut pandang ontologis, inilah tipe cinta yang paling berbobot, khususnya karena mempunyai status aposteriori analitik yang sama dengan status ontologi itu sendiri (bandingkan Gambar I.1, IV.4, dan X.7). Status ini diungkapkan dengan menggunakan logika sintetik dalam perintah Yesus bahwa kita harus mencintai musuh kita.

Untuk menyimpulkan kajian kita pekan ini tentang perasaan yang bersatu, mari kita memanfatkan ontologi cinta ala Tillich, dan terutama pandangannya tentang perbedaan antara agape dan eros, untuk dengan cara lain menyatakan persoalan yang saya kutip dari Lessing (melalui Kierkegaard) pada awal Kuliah 22. Masih ingatkah kalian akan pertanyaan itu? Kalau tidak, saya harap anda membuka dan membacanya lagi; kemudian, melupakannya kembali, kalian harus mencurahkan sedikit waktu untuk berpikir tentang bagaimana anda akan menanggapinya. Lessing, bersama-sama dengan Plato dan orang lain yang menekankan pencarian hal ideal yang “surgawi”, memilih pencarian sepanjang hayat. Menurut kalian, apa yang akan dipilih oleh Tillich? Begitu kita akui bahwa “pencarian sepanjang hayat” sangat bersesuaian dengan eros, sedangkan pemerolehan “semua kebenaran” bersesuaian dengan agape, jelaslah bahwa Tillich akan memandang keduanya sebagai komplementer. Kalau begitu, ide inti bahwa kita harus memilih salah satu itu merupakan suatu kekeliruan; lantaran masing-masing mempunyai tempat sendiri yang tepat dalam kehidupan.

Mengaitkan agape dan eros dengan keindahan dan keagungan bisa dengan tepat menggambarkan dua bentuk penerobosan (lihat Gambar X.1). Kita mengalami agape manakala Kebenaran tiba-tiba menerobos cara pikir kita sehari-hari dan meletakkan kita ke dalam suatu komunikasi dengan Misteri kehidupan. Agape bermula tatkala logika sintetik menerobos cara pikir kita sehari-hari, yang analitik, dengan suatu contoh hukum non-identitas yang konkret: [hukum] ini mengajarkan kita untuk menerima keindahan hal-hal yang kita kira buruk dalam diri kita sendiri dan dalam orang lain, dan/atau untuk menolak keburukan hal-hal yang kita kira indah (A=-A). Sebaliknya, kita menerima eros dengan secara aktif berburu pencarian abadi demi alat penerobosan tapal batas yang secara tradisional mengikat kita. Eros bermula dengan asumsi logika analitik; namun segera sesudah kita capai penerobosan, kita sadar bahka kita dapat membicarakan penerobosan ini hanya dengan menggunakan hukum kontradiksi yang paradoksis: [hukum] ini mengajarkan kita bahwa pencarian akan kebenaran mensyaratkan pengakuan luhur bahwa kebenaran bukan Kebenaran (A?A); kita takkan mampu maju kecuali jika kita memandang pencarian akan kebenaran harfiah sebagai bagian dari pencarian luhur akan Kebenaran simbolik. Jadi, kita dapat melukiskan pertalian komplementer antara eros, agape, keindahan, dan keagungan sebagai berikut:

agape keagungan

(A?A)

misteri paradoks

keindahan eros

(A=-A)

A?-A A=A

(a) Agape dan Keindahan (b) Eros dan Keagungan

Gambar X.7: Misteri dan Paradoks Cinta dan Keindahan

Pemeriksaan kita terhadap keindahan dan cinta pekan ini merupakan contoh bagaimana kita semua mengalami paradoks dan misteri persatuan perasaan. Pekan depan kita akan melihat bagaimana beragama pun membawa paradoks dan misteri. Untuk sekarang, biarlah saya mengulang salah satu pelajaran terpenting yang telah kita pelajari dari Tillich: bahwa baik kesatuan maupun keragaman, baik keyakinan kepada Kebenaran “surgawi” yang misterius maupun pencarian terhadap-Nya sepanjang hayat, pasti eksis secara berdampingan supaya cinta dalam perwujudannya yang paling penuh itu terus tumbuh dan subur. Oleh sebab itu, seharusnya jelas bahwa tidak ada jawaban langsung terhadap pertanyaan Lessing, lantaran tersirat bahwa, secara paradoksis, terus mengajukan pertanyaan itu lebih penting daripada menetapkan salah satu sisi sebagai jawaban yang benar secara eksklusif.

Pertanyaan Perambah

  1. 1. A. Apakah keheningan memiliki suara?

B. Bisakah wawasan dikendalikan?

..............................

..............................

  1. 2. A. Apa maksud perkataan bahwa kesatuan ada “dalam keragaman”?

B. Mungkinkah orang yang memiliki “semua kebenaran” masih mencari kebenaran?

..............................

..............................

  1. 3. A. Apakah keindahan hanya berhubungan dengan pencerapan inderawi?

B. Bisakah kita mengetahui bahwa obyek tertentu indah?

..............................

..............................

  1. 4. A. Mungkinkah ada ontologi benci?

B. Jika tujuan cinta takkan bisa tercapai, apa faedah mencintai?

..............................

..............................

Bacaan Anjuran

  1. 1. Richard Foster, Celebration of Discipline, Bab 7, “The Discipline of Solitude” (CD 84-85).

  2. 2. James P. Carse, The Silence of God: Meditations on prayer (New York: Macmillan, 1985).

  3. 3. Max Picard, The World of Silence (South Bend: Gateway Editions, 1952).

  4. 4. Immanuel Kant, Critique of Judgement, Bagian I, Critique of Aesthetic Judgement, §§1-22, “Analytic of the Beautiful” (CJ 203-244).v[5]

  5. 5. Erazim Kohák, The Embers and the Stars: A philosophical inquiry into the moral sense of nature (Chicago: University of Chicago Press, 1984).

  6. 6. Paul Tillich, Love, Power, and Justice, Bab II, “Being and Love” (LPJ 18-34).

  7. 7. Erich Fromm, The Art of Loving (London: George Allen & Unwin, 1957), terutama Bab I-II, “Is Love an Art?” dan “The Theory of Love”, pp. 9-61.

  8. 8. Stephen Palmquist, Dreams of Wholeness, Bab X, “Psychology of Love” (DW 211-235).vi[6]

Catatan Penerjemah




i[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, kata kata “hening” diartikan sebagai: (1) “jernih; bening; bersih;” dan (2) “diam; sunyi; sepi; lengang.” Tampaknya, arti yang lebih sesuai dengan kepentingan kita di sini adalah yang pertama, bukan yang kedua.

ii[2] Muhammad Rasulullah memperoleh wahyu pertama setelah melakukan beberapa kali perenungan dalam keheningan di Gua Hira (namun selekas wahyu berikutnya turun, yaitu Surat al-Muddatsir, Muhammad dilarang mengasingkan diri dari masyarakat). Perenungan yang dilakukan oleh Muhammad (dan menurut Al-Qur’an) lebih menonjolkan dzikir (yakni ingat akan Allah). Istilah islami untuk keheningan adalah “kekhusyukan” (yakni tidak memikirkan apa pun kecuali memikirkan Allah).

iii[3] Saduran dari “beauty is in the eye of the beholder”.

iv[4] Saduran dari “different strokes for different folks”.

v[5] Untuk alternatif, lihat http://www.vt.edu/vt98/academics/books/kant/judgemnt

vi[6] Buku ini sudah saya terjemahkan dan akan segera terbit dengan judul Bulat Mimpi Bulat Impian: Kuliah Pengantar Psikologi Menuju Kepribadian Religius.



No comments: