Tuesday, December 5, 2006

ILMU DAN CINTA KEALIMAN

BAGIAN TIGA: CABANG

ILMU DAN

CINTA KEALIMAN

Pekan VII

Filsafat Ilmu

19. Apakah Kealiman Itu?

Saya akan mengawali kuliah ini dengan memberi anda ikhtisar singkat isi buku yang saya sebut di akhir kuliah yang lalu, Jonathan Livingston Seagull, untuk kepentingan sebagian dari anda yang belum berkesempatan membacanya. Setelah itu, saya ingin mendengar jawaban dari anda yang sudah membaca cerita tersebut terhadap tiga pertanyaan berikut ini:

  1. 1) Dalam cerita ini, kata terbang melambangkan apa?

  2. 2) Mengenai perburuan kealiman, cerita ini mengatakan apa?

  3. 3) Ke mana Jonathan pergi di Bagian Dua?

Akhirnya, saya akan mengakhiri kuliah pada jam ini dengan menjelaskan bagaimana beberapa pelajaran yang terkandung dalam cerita ini berhubungan dengan berbagai persoalan yang akan kita periksa pada bagian ketiga dari matakuliah ini.

Buku kecil tersebut, Jonathan Livingston Seagull, mengisahkan seekor burung yang aneh—burung camar, seperti yang ditunjukkan oleh judulnya. Pada mulanya, burung yang bernama Jonathan ini melakukan eksperimen berbagai cara terbang. Sementara semua kawannya menggunakan keterampilan terbang mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidup mereka, Jonathan memandang bahwa terbang merupakan keterampilan yang harus dituntut demi cara terbang itu sendiri. Akan tetapi, ketika ia menguji-coba metode barunya untuk terbang dengan kecepatan tinggi, pemimpin-pemimpin kawanannya terusik, yang menanggapinya dengan mengasingkan dia ke “tebing-tebing yang jauh”. Setelah ia tinggal lama sendirian, dua ekor burung misterius datang dan membawanya ke tempat lain. Di Bagian Dua, Jonathan belajar tentang cara terbang baru yang tidak berfokus pada sayap dan bulu, tetapi pada pikiran dan imajinasi. Ia jauh lebih cepat daripada semua burung lain di dunia baru ini, ketika tiba-tiba ia memutuskan bahwa ia harus kembali ke dunia lamanya. Jadi, ia pulang ke tebing-tebing yang jauh tersebut. Kemudian bagian ketiga dan terakhir dari kisah ini menceritakan bagaimana ia mengumpulkan beberapa burung buangan [seperti dirinya] dan mulai mengajari mereka cara terbang dan cara memahami penerbangan. Tidak lama setelah mereka mempelajari beberapa keterampilan dasar, murid-muridnya bersama-sama dengan Jonathan pulang ke kawanan lamanya, yang dulu membuang mereka. Di situlah mereka menyelenggarakan kursus di pantai, dan akhirnya sebagian dari burung-burung dari kawanan lamanya menunjukkan minat untuk mempelajari cara terbang. Ketika mereka mulai belajar demi mereka sendiri, Jonathan membiarkan mereka tetap mandiri.

Nah, mari kita awali dengan pertanyaan pertama. Untuk melambangkan apa penerbangan dalam cerita itu? Siapa yang punya pandangan tentang hal ini? Omong-omong, jangan mengatakan “pencarian kealiman”, karena itu terlalu gamblang. Telah saya katakan, saya ingin kita memandang keseluruhan cerita itu lantaran memberi kita wawasan menuju pencarian kealiman; jadi, sekarang saya ingin [jawaban] kalian lebih spesifik. Kemudian, dalam pembahasan atas pertanyaan kedua, kita dapat mencoba menerapkan hal-hal yang kita pelajari dari simbolisme penerbangan pada persoalan hakikat mencintai kealiman.i[1] Nah, siapa mau menjawab lebih dahulu?

Mahasiswa N. “Kebebasan.”

Ya, saya kira itu tempat yang baik untuk bertolak. Bahkan tanpa membaca kisah itu, kita bisa menduga bahwa ini merupakan bagian dari simbolisme yang dimaksudkan, karena mengasosiasikan penerbangan burung dengan kebebasan itu cukup lazim. Barangkali ini merupakan bagian dari alasan pengarangnya yang lebih memilih menulis dongeng tentang burung daripada ikan atau anjing, misalnya. Cerita itu sendiri menguatkan hal ini dengan menuturkan betapa Jonathan memandang bahwa dirinya bebas dari hal-hal yang menjebak camar-camar lain menuju kehidupan yang sia-sia dan menyedihkan, seperti nafsu makan, keberterimaan, dan kekuasaan politik. Ketika ia belajar terbang, ia juga belajar untuk semakin membebaskan diri dari jebakan semacam itu; dan dalam melakukannya, ia belajar mengarungi hidup yang benar-benar maknawi. Di Bagian Dua ia bahkan belajar membebaskan diri dari kecenderungannya yang sudah berlangsung lama yang memandang bahwa terbang harfiah (yakni terbang dengan tubuh fisiknya) merupakan tujuan hidupnya yang terdalam.

Akan tetapi, kata “kebebasan” hampir menyerupai kata “kealiman” yang sulit dipahami. Jadi, adakah di antara kalian yang menemukan gelagat lain di cerita ini yang dapat membantu kita dalam memahami apakah kebebasan itu? Apa yang harus dilakukan oleh Jonathan supaya memperoleh wawasan tentang hakikat kebebasan?

Mahasiswa O. “Bagi saya, Jonathan tampaknya mencari hal-hal yang tidak diketahui. Dan ini selalu menuntut dia untuk menerobos batas-batas yang sebelumnya telah dipasang olehnya atau oleh burung-burung lainnya.”

Bagus sekali. Saya setuju bahwa unsur dari sesuatu yang tak diketahui itu memainkan peran penting di keseluruhan cerita tersebut. Jonathan berniat memburu tujuannya walaupun tampaknya ia tak pernah tahu apa kira-kira pelosok berikutnya—setidak-tidaknya sebelum ia kembali ke kawanannya di Bagian Tiga. Seperti kata anda, pencarian “kecepatan sempurna”-nya pada kenyataannya merupakan pencarian yang tak bisa tercapai. Akibatnya, secara paradoksis, ia mampu mencapai tujuannya hanya jika ia mau mengakhiri pandangan konvensionalnya mengenai bagaimana hal itu bisa dicapai, terutama asumsinya bahwa hal itu akan bisa dicapai dengan menggunakan “sayap dan bulu”. Begitu pula, saya pikir anda telah memilih kata-kata yang baik dengan tepat ketika anda mengatakan ia selalu “menerobos batas-batas …”. Pada faktanya, salah satu alasan mengapa penerbangan burung melambangkan kebebasan adalah bahwa burung-burung tampaknya telah menemukan rahasia pendobrakan rantai-rantai hukum gravitasi, yang membelenggu kita manusia di bumi dengan kencang. Lagipula, cerita itu sendiri menanamkan kesan bahwa penerobosan tapal batas lama merupakan salah satu kunci yang mendasar untuk menyelidiki diri sendiri. Apakah kalian memperhatikan bahwa, di Bagian Satu, Jonathan pada aktualnya mengacu pada salah satu penyelidikan utamanya mengenai penerbangan sebagai “penerobosan”? Lalu, di Bagian Dua, penemuannya bahwa “penerbangan” merupakan imajinasi itu bukan saja merupakan penerobosan tingkat keterampilannya, melainkan juga penerobosan pemahamannya. Adapun kepulangannya ke kawanannya di Bagian Tiga pun melambangkan sejenis penerobosan lain, yang juga berkaitan dengan simbolisme penerbangan sebagaimana yang dihadirkan di kisah tersebut.

Adakah yang memperhatikan bagaimana penerobosan Jonathan yang terakhir memberi kita cara lain untuk menjelaskan simbolisme penerbangan?

Mahasiswa P. “Kembalinya ia ke kawanannya pada akhir cerita tampaknya seperti tindakan pengorbanan nyata. Padahal, ia bisa terus belajar jauh lebih banyak jika ia tetap tinggal! Bisakah penerbangan melambangkan jenis pengorbanan diri?”

Memang bisa. Ingat, Jonathan banyak berkorban di awal cerita hanya untuk memulai pencarian kecepatan sempurna. Pada faktanya, ide ini diungkapkan dengan tepat di salah satu dari pasal favorit saya di keseluruhan buku ini, namun dengan kata-kata yang berbeda dengan yang anda pakai. Tepat seusai Jonathan melakukan penerobosan awalnya di Bagian Dua, gurunya, Chiang, berkata bahwa ia akan segera siap untuk mulai mengerjakan hal yang “paling sulit, paling bertenaga, dan paling kuat di antara semuanya. Engkau akan siap untuk mulai terbang melayang dan mengetahui makna kebaikan hati dan cinta” (JLS 83). Begitu pula, kata-kata terakhir Chiang kepada Jonathan adalah “timbulkan cinta selalu” (84). Jonathan memperlihatkan bahwa ia mulai mempelajari pelajaran ini ketika ia sendiri menjadi guru, pada mulanya selaku pengganti Chiang, dan kemudian, Di Bagian Tiga, bagi camar-camar yang memunggungi tebing-tebing yang jauh. Namun ia baru sepenuhnya menunjukkan betapa baik pelajaran “terbang melayang”-nya ketika pada aktualnya ia pulang ke kawanan lamanya yang pernah mengusirnya.

Pelajaran penting lain apa yang bisa kita pelajari dari simbol penerbangan? Di suatu kelas filsafat, salah satu jawaban gamblang, yang diusulkan oleh beberapa mahasiswa saya terdahulu, adalah bahwa penerbangan bagi burung bersesuaian dengan pemikiran, atau mungkin pemahaman-diri, bagi filsuf. Salah satu kemungkinan lain adalah bahwa keseluruhan cerita itu mengenai proses belajar pada umumnya, bagian dari kebebalan akan pengetahuan, yang tentu saja juga merupakan salah satu dari tema-tema utama yang kita kembangkan [sedikit demi sedikit] di matakuliah ini. Sebelum kita berlanjut ke pertanyaan kedua, apakah di antara kalian ada yang punya pandangan lain?

Mahasiswa Q. “Saya pikir, penerbangan melambangkan kesempurnaan karena cerita tersebut beberapa kali menyebut ‘kecepatan sempurna’. Kendati kita tak dapat terbang, kita bisa berupaya untuk menjadi sempurna dalam hal-hal yang dapat kita usahakan.”

Mungkin begitu, tetapi saya rasa kita harus waspada agar tidak salah paham akan jenis “kesempurnaan” yang dibicarakan.ii[2] Saya tidak memandang bahwa kata tersebut hanya mengacu pada yang benar atau yang baik sepanjang masa, kecuali, biarpun kadang-kadang bertentangan dengan “hukum sejati”, yakni “kebebasan”, kalau Jonathan berkewajiban mengikuti “Hukum Kawanan” (JLS 114). Betapapun, kesempurnaan itu amat sangat ideal untuk ditetapkan bagi diri sendiri. Apakah anda pikir pencarian kesempurnaan oleh Jonathan itu membuat dia baik? Apa yang bisa kita pelajari dari pengalaman-pengalamannya?

Mahasiswa Q. “Ya, tanpa tujuan itu, saya tidak menganggap bahwa kehidupan Jonathan amat maknawi. Saya rasa penerbanganlah yang menjadikan kehidupan Jonathan bermakna.”

Jadi, penerbangan bukan sekadar melambangkan pencarian kesempurnaan, melainkan pencarian jenis kesempurnaan yang bisa menganugerahkan makna nyata pada kehidupan duniawi kita secara lain. Ya, saya rasa itulah salah satu inti keseluruhan isi buku ini. Tidak setiap hal bisa berfungsi dengan jalan itu, dan ini berarti kita harus sangat berhati-hati dalam memilih obyek yang kita jadikan pencarian kehidupan kita. Jonathan sendiri, seperti yang telah saya katakan, mengubah cara pandangnya terhadap penerbangan beberapa kali di sepanjang cerita tersebut; setiap datang perubahan tersebut, keikutsertaan [Jonathan] dalam realitas maknawi semakin mendekati pencapaian tujuan terdalamnya.

Kita pada aktualnya telah mulai menjawab pertanyaan kedua, yaitu mengenai pelajaran-pelajaran khas cerita ini yang bisa mengajarkan perburuan kealiman kepada kita. Segala ihwal yang disebut sejauh ini berimplikasi bagi pertanyaan kedua; ihwal-ihwal tersebut mestinya cukup jelas tanpa perlu disinggung lagi. Jadi, sebagai ganti terhadap pengulangan hal-hal yang telah kita sebut, mari kita perhatikan apakah dari cerita itu kita bisa menarik wawasan lebih lanjut tentang hakikat kealiman. Jika kita mengasumsikan bahwa keseluruhan cerita itu mengenai sebuah perburuan kealiman individual, maka pelajaran apa yang bisa kita petik?

Mahasiswa R. “Mereka yang benar-benar serius dalam memburu kealiman mungkin menjalani kehidupan dengan sulit dan sendirian.”

Mengingat pengalaman Jonathan, kata-kata anda itu tentu terlihat benar. Malahan, mereka mungkin juga disalahpahami oleh yang lain. Jonathan disalahpahami tidak hanya di Bagian Pertama, oleh anggota-anggota kawanannya, tetapi juga di Bagian Dua oleh Sullivan temannya, dan di Bagian Tiga oleh sebagian muridnya. Namun harus kita ingat bahwa kesulitan yang disebabkan oleh kesukaran semacam itu, dalam ertian tertentu, “mudah” ditangani bagi mereka yang memandang tinggi tujuan perburuan kealiman. (Omong-omong, ini mirip dengan klaim Yesus—kendati banyak “kata keras” yang ia pakai untuk memerikan mereka yang menyaksikan “kerajaan Allah”—bahwa barangsiapa yang mengikuti kerajaan surgawi ini akan mendapati bahwa “Pikulanku nyaman, dan bebanku ringan” [Matt. 11:30]!) Jonathan ialah pelajar yang semacam ini karena ia tidak membiarkan beban yang sejelas itu membebani dia sepanjang waktu. Secara demikian pula, walaupun kehidupan orang yang memburu kealiman tampaknya terpencil menurut standar umum kita, cerita itu sendiri mengatakan bahwa Jonathan “menjalani kehidupan cerah yang lama” di tebing-tebing yang jauh; dan tak pelak, alasannya adalah bahwa kesulitan-kesulitannya [justru] mencucinya dari “kebosanan dan kekhawatiran dan kemarahan”, inilah “alasan-alasan bahwa kehidupan camar amat singkat” (JLS 41). Jika cerita itu berlaku untuk kehidupan nyata, maka segala kesulitan, kegagalan, dan penderitaan yang jelas-terlihat itu merupakan harga yang bernilai tinggi: tanpa itu semua, mustahil ada penerobosan.

Mahasiswa S. “Pencarian Jonathan tampaknya sinambung, kalau bukan tanpa akhir; ia memerlukan kekuatan kehendak untuk setia kepada tugas ini. Saya duga begitu pula untuk perburuan kealiman.”

Ya, memang. Namun apa yang memberi kita kekuatan untuk setia kepada tugas yang tanpa akhir semacam itu? Apa yang mencegah kita dari kehilangan harapan dan dari menyerah dalam keputusasaan? Apakah cerita itu memberi kita suatu isyarat [dalam hal ini]?

Mahasiswa S. “Saya percaya Jonathan mampu melanjutkan perburuan tujuannya semata-mata lantaran ia mampu melihat matra yang melampaui ruang dan waktu.”

Ini ihwal yang sangat penting. Namun pada aktualnya, jawaban itu membawa kita langsung ke pertanyaan ketiga; jadi, sebelum saya mengomentari jawaban anda, adakah pandangan-pandangan lain mengenai di manakah tempat asing yang dituju oleh Jonathan di Bagian Dua?

Mahasiswa T. “Tidakkah cerita itu mengatakan ia pergi ke surga? Saya mendapat kesan bahwa Jonathan dikira mati di akhir Bagian Satu, dan kedua camar [yang membawanya itu] seperti malaikat yang membawanya ke surga.”

Saya tidak terkejut cerita itu memberi anda kesan ini. Memang, tentu saja ini merupakan salah satu interpretasi yang bolehjadi, khususnya karena Jonathan sendiri pada aktualnya menafsirkan tempat barunya dengan cara ini pada awal-mula Bagian Dua, ketika ia berkata dalam hati “Jadi, inilah surga …” (JLS 57). Namun demikian, tidak lama kemudian (64), setelah menyadari bahwa ia belum mencapai tujuan akhirnya, Jonathan menanyai Chiang “dunia ini bukan surga sama sekali, bukan?” dan Chiang menjawab “tiada tempat semacam itu. Surga bukan tempat dan bukan waktu. Surga adalah kesempurnaan.” Sayangnya, ketika Chiang baru saja menjelaskan dengan lebih rinci apa sebenarnya surga itu, Jonathan menyela dia (79)—namun bukan sebelum Chiang berkesempatan untuk memberi tahu Jonathan bahwa kesempurnaan itu sangat berkaitan dengan cinta.

Jika tempat yang dituju oleh Jonathan di Bagian Dua bukan surga, karena cerita itu menggambarkan surga lebih sebagai keadaan, maka di manakah tempat itu? Atau, dengan kata lain, tempat itu melambangkan apa bagi kita?

Mahasiswa U. “Bagaimana mengenai ‘diri’ atau ‘benak’?”

Ini merupakan salah satu cara pandang yang baik, namun saya lebih suka mengatakan ia pergi menuju imajinasinya. Ini karena ia mampu melakukan hal-hal di tempat itu yang hanya bisa kita lakukan dalam imajinasi kita. Pada faktanya, salah satu gagasan utama Bagian Dua tampaknya adalah bahwa imajinasi itu sama nyatanya dengan bagian-bagian dari benak kita yang memberi kita pengetahuan tentang alam eksternal. Akan tetapi, betapapun kita hendak menafsirkan tempat itu, ini pastilah tempat yang dimensinya melampaui ruang dan waktu, dan tempat ini pasti lebih mudah kita jangkau daripada sebagian besar dimensi waktu. Jadi, jika kita mengatakan bahwa dalam Bagian Satu, Jonathan mendapati peti harta karun di dalam dirinya sendiri, tetapi peti ini masih terkunci, maka Bagian Dua merupakan tempat yang di dalamnya ia mendapati kuncinya, dalam imajinasi, atau jika anda lebih suka, dalam ide-ide yang terdapat di benaknya sendiri. Adapun di Bagian Tiga, ia membuka peti tersebut untuk membantu mereka yang pernah mengusirnya.

Dengan menggunakan eisegesis, kita juga dapat membandingkan tempat yang dituju oleh Jonathan dengan kelas Filsafat. Bagian Satu menyerupai kehidupan kalian masing-masing yang hingga sekarang hidup di alam nyata, tempat belajar kalian mengenai berbagai cara hidup. Namun di Bagian Dua, Jonathan belajar mengenai pembelajaran; aktivitas “urutan kedua” ini merupakan salah satu cara pemerian tugas filsafat. Interpretasi ini menyiratkan bahwa mempelajari filsafat bukanlah untuk menjadi filsuf profesional yang menulis makalah teknis yang membosankan yang tak terpahami oleh siapa pun, dengan niat menerbitkannya di jurnal-jurnal yang tidak dibaca oleh siapa pun; alih-alih, maksudnya adalah menyiapkan anda untuk kembali ke tempat anda sebelumnya (atau sekurang-kurangnya ke cakrawalanya), namun dengan pengertian yang baru ditemukan dari hubungan anda dengan realitas yang lebih tinggi, suatu realitas yang mampu memberdayakan anda sehingga dapat menuntut ilmu kealiman hingga embusan napas terakhir anda, apa pun profesi anda. Di sepanjang garis-garis yang sama, jika kita pikir bahwa tiga bagian dari cerita tersebut bersesuaian dengan tiga tipe keterampilan, yang timbul dari aspek fisik, mental, dan spiritual manusia (bandingkan Gambar II.8), maka kita dapat menggunakan Gambar VII.1 sebagai peta proses perkembangan yang terlukis dalam kisah kehidupan Jonathan tersebut.

II. keterampilan mental

(bandingkan “langit”)

III. keterampilan spiritual

(bandingkan cakrawala)

I. keterampilan fisik

(bandingkan bumi)

Gambar VII.1: Tiga Tahap Kehidupan Jonathan

Dengan menengok kembali hal-hal yang telah kita bahas hari ini, kita bisa menyadari tiga pelajaran penting mengenai kealiman ini yang harus kita ingat-ingat di sepanjang bagian ketiga dari matakuliah ini. Pertama, kealiman mensyaratkan pengakuan kita bahwa ada tapal batas antara pengetahuan kita dan kebebalan kita. Hal ini telah banyak kita pelajari dari telaah kita tentang metafisika di Bagian Satu. Kedua, kealiman menghajatkan kepercayaan kita bahwa, kendati ada kebebalan-niscaya kita, bisa saja didapatkan jalan untuk menerobos garis tapal batas ini. Kajian kita tentang logika sintetik di Bagian Dua telah mengajarkan juga pelajaran ini kepada kita. Akhirnya, pelajaran barunya adalah bahwa kita baru benar-benar mulai memahami apakah kealiman itu manakala kita mengakui bahwa, juga sesudah kita berhasil dalam penerobosan batas-batas kita terdahulu, kita harus kembali ke rumah asli kita. Akan tetapi, ada perbedaan krusial antara keadaan-asal kita dan keadaan kita sewaktu kita kembali: sekarang kita memiliki sedikit-banyak kesadaran (walaupun kita tidak dapat menyebutnya “pengetahuan”) akan kedua sisi tapal batas itu. Salah satu cara yang baik untuk menggambarkan hal ini adalah bahwa ketika kita pulang, kita masih tinggal, sebagaimana adanya, pada tapal batas (atau “cakrawala”), seperti yang terlukis di Gambar VII.2.

II. Penerobosan

III. Pengembalian

I. Pengakuan kebebalan

Gambar VII.2: Kealiman sebagai Pengembalian ke Tapal Batas

Mari kita perhatikan secara singkat dua kisah lain yang dengan sangat kuat menggambarkan pentingnya pengembalian ke tapal batas alam terdahulu kita untuk berbagi wawasan yang kita peroleh dengan menerobos tapal batas tersebut. [Cerita] pertama adalah satu bagian dari cerita Plato tentang gua (lihat Gambar II.7) yang belum saya sebut di Kuliah 5. Orang-orang yang bisa menemukan jalan keluar menuju cahaya mentari dan mampu melihat alam sebagaimana adanya, dengan mempelajari keahlian filosofis yang memperhatikan benda-benda menurut formanya, begitu terkesan dengan kekuatan matahari sehingga mereka terpaksa kembali ke gua dengan harapan membebaskan orang-orang yang masih terbelenggu di alam bayangan. Jadi, cerita Plato pada aktualnya mengikuti bentuk yang sama dengan yang terlihat di Gambar VII.2. [Cerita] kedua, yang disadur dari cerita karya G.K. Chesterton (lihat CO), cukup berbeda dengan cerita Plato dan Jonathan, tetapi memiliki pesan yang serupa.

Ada seorang anak yang dibesarkan di suatu desa kecil, terpencil di lembah antah-berantah. Pada masa kanak-kanaknya, ia sering mendengar cerita dari tetua desanya mengenai Gunung Besar yang berupa patung wajah orang. Pikirannya begitu terpenuhi dengan ketakjuban akan dongeng-dongeng yang ia dengar sehingga ia meninggalkan rumah, kendati masih belia, untuk mencari gunung masyhur tersebut. Namun demikian, sesudah bertahun-tahun melakukan pengembaraan yang menjemukan ke seluruh pelosok negeri, ia tak pernah menangkap isyarat akan patung yang ia cari. Dengan kekecewaan terhadap hal-hal yang kini ia anggap sebagai tipu muslihat yang muncul semasa remajanya, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Akan tetapi, tatkala mendekati desanya, ia terkejut mendapati bahwa gunung yang terlihat di belakang [desa] itu berwujud khas wajah orang! Semasa remaja, ia tak pernah bepergian cukup jauh dari rumah untuk melihat “gambaran seutuhnya”, dan begitu ia pergi, ia belum pernah menengok ke belakang. Kini, tentu saja, perjalanannya banyak mengubahnya sehingga ia tak akan menjalani kehidupan di desanya seperti sedia kala: kita bisa mengatakan, ia akan selalu tetap “di tapal batas”.

Nah, dengan memperhatikan wawasan baru ini, mari kita ingat bahwa Bagian Satu dan Dua dari matakuliah ini terutama berhadapan dengan dua bidang filsafat teoretis yang paling penting. Di Bagian Tiga dan Empat kita akan mengalihkan perhatian kita kepada dua bidang terpenting filsafat praktis. Yang pertama bisa disebut “filsafat terapan”, karena ini mensyaratkan bahwa kita menerapkan logika yang telah kita pelajari pada berbagai jenis ikhtiar manusia. Namun [bidang] ini bisa juga disebut ilmu, karena dalam hal masing-masing, tujuannya adalah menelurkan sejenis pengetahuan. Pada Bagian Tiga ini kita akan mengamati tiga cabang utama pohon filsafat: filsafat ilmu alamiah, ilmu moral, dan ilmu politis. Dalam hal masing-masing, tujuan kita adalah menemukan kondisi tapal batas yang bisa dilampaui (umpamanya dengan logika sintetik), namun masih merupakan rumah yang tepat bagi filsafat mana pun yang hendak memikirkan disiplin-disiplin ini. Dalam melakukannya, kita tidak banyak berbicara tentang kealiman begitu saja. Bagaimanapun, asumsi dasar di sepanjang pengamatan kita terhadap topik-topik ini adalah bahwa dalam pencarian posisi yang tepat bagi garis tapal batas, pada aktualnya kita melaksanakan salah satu dari tugas-tugas terpenting dalam pencarian kealiman.

20. Ilmu dan Anatomi Kealiman

Salah satu pelajaran terpenting yang kita pelajari dari bahasan kita di kuliah yang lalu adalah bahwa filsafat, sebagaimana belajar terbang, terutama merupakan keterampilan. Saya ingin memulai kuliah ini dengan menekankan gagasan tersebut, khususnya lantaran delapanbelas kuliah pertama kita terutama berhadapan dengan aspek teoretis pohon filsafat. Jika kajian anda tentang filsafat sejauh ini memberi anda kesan bahwa filsafat itu lebih berupa seperangkat teori atau doktrin daripada aktivitas, maka silakan melupakan kesan itu sekarang juga! Filsafat itu mula-mula dan terutama mengenai sesuatu yang dilakukan. Adapun belajar berfilsafat, dalam banyak hal, serupa dengan belajar bermain sepakbola atau bertutur bahasa. Ada teori-teori dan metode-metode tertentu yang harus dipelajari di sepanjang jalan ini; namun akhirnya anda tak akan menjadi pemain sepakbola yang baik tanpa melatih keterampilan anda di lapangan, dan anda tak akan mahir dalam suatu bahasa tanpa menjumpai beberapa orang yang berbicara dengan bahasa itu dan bercakap-cakap dengan mereka.

Contoh-contoh tentang permainan dan bahasa tersebut menyiratkan bahwa dua tahap penting untuk mempelajari keterampilan adalah praktek dan peniruan; hal ini berlaku pula pada keterampilan berfilsafat. Inilah alasan mengapa saya mendorong siapa saja yang mengambil matakuliah ini untuk menyisihkan waktu secara teratur untuk merenungkan masalah-masalah filosofis yang diangkat di kuliah-kuliah ini atau terdaftar di subbab “Pertanyaan Perambah” pada setiap akhir pekan, dan kemudian menulis lembar mawas sebagai respon. Lembar mawas merupakan peluang anda untuk berlatih berfilsafat. Namun, kecuali jika anda telah punya bakat berfisafat, praktek belaka tidak cukup untuk menuju kesuksesan. Anda juga perlu seseorang untuk ditiru. Dengan mengingat hal ini, saya harap bahwa karena anda mengikuti (atau membaca) kuliah-kuliah ini, anda lebih menaruh perhatian pada cara berfilsafat saya daripada menghafal “fakta-fakta” mengenai beragam filsuf. Akan tetapi, tepat seperti bahwa ada banyak strategi yang berlainan untuk bermain sepakbola yang baik dan banyak ide yang berlainan mengenai cara terbaik untuk belajar bahasa, ada banyak konsepsi juga yang berbeda-beda tentang cara terbaik untuk berfilsafat, sebagaimana yang telah kita lihat. Inilah alasan mengapa anda juga perlu membaca tulisan-tulisan asli filsuf-filsuf lain (seperti yang disarankan di subbab “Bacaan Anjuran” di akhir setiap pekan). Ketika membaca teks-teks ini, anda jangan hanya belajar tentang isi gagasan filosofisnya, tetapi juga belajar meniru bagaimana filsuf itu berfilsafat. Akhirnya, anda harus mampu berfilsafat ketika anda membaca, dengan secara aktif menerapkan metode yang tepat melalui dialog dengan teks yang sedang anda baca.

Filsafat merupakan keterampilan, namun tidak sama dengan keterampilan lain apa pun. Sesungguhnya, mudah diambil perbandingan yang terlalu jauh antara filsafat dan keterampilan-keterampilan lain. Ini lantaran filsafat pada aktualnya dapat dianggap sebagai keterampilan terdalam atau keterampilan tentang keterampilan. Dengan kata lain, filsafat yang terbaik, sebagai keterampilan pemerolehan gagasan dan penemuan kebenaran di dalamnya, menyediakan pondasi bagi semua keterampilan lain. Inilah alasan sebenarnya mengapa setiap disiplin akademik memiliki “filsafat ...” yang melekat padanya. Di samping cabang-cabang pohon filsafat yang diperhatikan di Bagian Tiga ini—filsafat ilmu, filsafat moral, dan filsafat politik—kita dapat mengkaji filsafat agama, filsafat fisika (dan filsafat ilmu spesifik lainnya), filsafat seni (dan filsafat seni spesifik lainnya), filsafat pendidikan—dan seterusnya. Bahwa keterampilan berfilsafat merupakan pondasi semua keterampilan itu tercermin pada penegakan pendidikan kita oleh fakta bahwa orang yang menguasai disiplin akademik tertentu biasanya diberi gelar [Ph.D., yakni] “doktor filsafat”. Walaupun sebagian besar gelar doktoral pada aktualnya tidak mensyaratkan kandidat untuk mengkaji filsafat sebagaimana adanya, nama gelar tersebut benar-benar menyiratkan bahwa si wisudawan telah menguasai pondasi disiplinnya—dan sehingga semestinya, setidak-tidaknya pada prinsipnya, mampu berfilsafat mengenai disiplinnya. Akan tetapi, keterampilan pun yang biasanya tidak ada hubungannya dengan pendidikan perguruan tinggi bisa memiliki “filsafat ...”, seperti filsafat bermain-catur, filsafat memasak, filsafat berburu, dan lain-lain, sehingga tentu saja ada filsafat kehidupan, belum lagi filsafat kematian. Kedua topik ini, yang akan dibahas di Pekan XII, mengacu pada terutama keterampilan: yaitu mempelajari cara hidup, atau mempelajari cara mati.

Bagaimana padangan tentang filsafat sebagai keterampilan ideal itu berkaitan dengan mitos dasar matakuliah ini? Dengan kata lain, jika filsafat itu seperti pohon, maka keterampilan berfilsafat akan kita sebut apa? Kita menggambarkan filsuf dengan cara bagaimana? Filsuf-filsuf menggarap filsafat dengan cara yang banyak menyerupai tukang kebun yang menggarap tanaman di taman: tepat seperti tukang kebun yang tidak menciptakan atau bahkan membangun tanaman, tetapi merawat sesuatu yang telah ada (umpamanya dalam bentuk benih), filsuf pun tidak (atau sekurang-kurangnya jangan) memandang tugasnya sebagai menemukan argumen yang dimulai dari nol atau sebagai membangun sistem dengan corak yang sedikit-banyak mekanis, tetapi sebagai merawat kenyataan yang telah ada (umpamanya dalam bentuk gagasan). Dengan mengingat hal ini, mari kita lihat lebih dekat mitos dasar matakuliah ini.

Pohon filsafat yang saya sajikan di matakuliah ini cukup berbeda dengan yang dipaparkan oleh Descartes (lihat Gambar III.1). Pada faktanya, satu-satunya kesamaan dua analogi ini adalah bahwa keduanya mengasosiasikan metafisika dengan akar pohon (lihat Gambar VII.3). Tepat seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terbenam di dalam tanah, pokok persoalan metafisika pun hampir seluruhnya tersembunyi dari tatapan keingintahuan benak kognitif kita. Karenanya, pelajaran asasi yang kita petik dari belajar metafisika adalah bahwa, sebagaimana tukang kebun yang akan mudah mematikan pohonnya bila senantiasa mencabut akar pohon itu untuk melihat bagaimana akar-akar tersebut tumbuh, filsuf-filsuf yang menolak untuk mengakui pentingnya kebebalan kita tentang kenyataan hakiki, dan yang justru mengklaim telah menjangkau pengetahuan yang pasti tentang kenyataan hakiki (atau tentang non-eksistensinya), pun akan mudah dengan ceroboh mematikan organisme yang mestinya mereka rawat.

akal

ontologi

ilmu

wawasan

logika

filsuf

ilmu baru?

metafisika

tradisi

Gambar VII.3: Pohon Filsafat

Batang dan cabangnya, sebagaimana yang telah kita lihat, bagi kita bukan fisika dan ilmu-ilmu lain, melainkan logika dan ilmu (yang di sini [istilah] “ilmu” diambil dari makna aslinya yang mengacu pada segala “pengetahuan” yang bisa dibuktikan kebenarannya, bukan hanya pada tipe pengetahuan yang terpola pada metode-metode ilmu fisis). Tepat seperti semua cabang pohon yang tumbuh dari batang, semua pengetahuan (yakni sciens) kita bisa diungkapkan dalam kata-kata (yakni logoi). Kita bisa menambahkan bahwa kulit batang pohon itu seperti logika analitik, yang menunjukkan permukaan pelindung cara pikir kita, sedangkan inti pohon itu seperti logika sintetik, yang membawa kita kepada jantung dan kehidupan pikiran itu sendiri.

Walaupun Descartes tidak membawa analogi pohonnya melampaui cabang-cabang, kita akan melihat di Bagian Empat bahwa daun-daun pohon bisa disamakan dengan bidang penyelidikan filsafat yang biasanya dikenal sebagai ontologi (“telaah tentang yang-berada”). Tepat seperti kebanyakan daun-daun pohon yang gugur setiap tahun dan tumbuhlah daun baru di musim semi dalam suatu daur kelahiran, pertumbuhan, kematian, dan kelahiran kembali yang sinambung, fenomena yang akan kita telaah di Bagian Empat pun sering sekejap dan sementara. Sekalipun begitu, sebagaimana daun pohon yang memberinya ciri khas, ciri khas manusia pun ditentukan oleh pengalaman-pengalaman seperti pengalaman keindahan, cinta, keagamaan, dan kematian. Malahan, tepat seperti daun-daun mati yang jatuh ke tanah dan kemudian terurai, dengan tujuan membentuk tanah yang memberi gizi akar-akar pohon, akumulasi generasi pengalaman manusia pun membentuk tradisi yang tidak bisa diabaikan tanpa bahaya, karena inilah yang menjadi landasan pertumbuhan pohon filsafat.

Mari kita ambil mitos pohon filsafat ini selangkah lebih maju, dengan asumsi bahwa kita merawat pohon yang mengandung buah. Jika demikian, apa sifat buah ini? Saya menyarankan kita memandangnya sebagai titik-awal berbagai ilmu. Sejarah memberi tahu kita bahwa sebagian besar disiplin yang kini kita akui sebagai ilmu pernah dianggap sebagai cabang filsafat. Matematika, misalnya, bisa dilacak jejaknya pada filsuf Yunani kuno yang bernama Pitagoras (yang “teorema Pitagoras”-nya barangkali anda pelajari di sekolah). Beraneka-macam ilmu seperti fisika, biologi, psikologi, dan ilmu politik semuanya memiliki asal-usul dalam empirisisme filosofis Aristoteles. Kimia (chemistry) pun berkembang dari disiplin kuasi-filosofis, yakni kimia kuno (alchemy), yang di dalamnya orang-orang yang menyebut diri-sendiri “filsuf” mencoba mencari cara pengubahan berbagai bahan biasa menjadi emas. (Para kimiawan-kuno pun menganggap “arbor philosophicusiii[3] sebagai simbol proses transformasi ini, walaupun versi pohon filsafat ini, sebagaimana yang diperikan oleh Carl Jung (dalam PSA 420; lihat juga Gambar 122, 131, 135, 188, 221, 231), sangat berbeda dengan yang diberlakukan di matakuliah ini.) Sosiologi dan Ilmu Ekonomi juga berawal dengan segi-segi sistem filosofis. Begitu pula ilmu-ilmu lainnya. Mengapa ilmu-ilmu itu sering muncul dengan cara ini? Pohon filsafat menyediakan jawaban yang masuk akal: cabang pohon ini melambangkan ilmu dalam arti khusus, yaitu cinta akan kealiman; di atasnya tumbuh berbagai jenis buah; bila satu buah semacam ini luruh ke tanah, membusuk, dan kemudian berakar, lahirlah ilmu yang spesifik. Kebetulan, inilah yang menjelaskan mengapa usaha untuk membuat filsafat itu sendiri menjadi ilmu lain adalah sangat sia-sia: pohon filsafat tak akan menjadi suatu ilmu karena ia induk semua ilmu! Tragedinya adalah bahwa pohon-pohon yang lebih muda ini, kendati terlindung sebagai pucuk muda yang lemah di bawah bayangan pohon filsafat, sering mengancam untuk mencekik induk mereka ketika mereka mencapai kedewasaan.

Jika pohon-pohon baru yang tumbuh dari buah pohon filsafat adalah ilmu-ilmu spesifik, maka biji yang kita dapati di tengah-tengah setiap buah itu apa? Mungkin biji ini melambangkan gagasan atau wawasan kita. Saya yakin sebagian besar dari kita, kalau tidak kita semua, mempunyai banyak wawasan yang berharga sepanjang hayat kita. Masalahnya adalah bahwa kita biasanya lalai untuk mengakui nilainya ketika biji itu mendatangi kita, sehingga kita menyantap buah manis yang berupa opini, untuk memuaskan nafsu kita, tetapi mencampakkan biji pahitnya, walaupun pada akhirnya biji-biji itu bisa melahirkan pengetahuan. Wawasan harus ditanam, diairi, dan dirawat dengan perhatian kita terus-menerus jika hendak ditumbuhkan menjadi ide yang patut dipertimbangkan oleh orang lain, tidak cuma kita anut sendiri sebagai opini pribadi.

Pembedaan antara pengetahuan dan opini ini perlu dipahami sebelum kita melakukan diskusi tentang ilmu dan cinta akan kealiman. Kant, pada halaman-halaman akhir Critique of Pure Reason, menyarankan cara pembedaan yang menarik perihal pembedaan antara pengetahuan, keyakinan, dan opini. Katanya, untuk mengklaim bahwa kita “mengetahui” sesuatu, kita harus memiliki kepastian obyektif (eksternal) dan sekaligus kepastian subyektif (internal). “Keyakinan” bisa mempunyai tingkat kepastian yang sekuat pengetahuan, namun kepastiannya hanya subyektif; jika saya merasa pasti akan sesuatu, meskipun fakta-fakta eksternal tidak memadai untuk mengemukakan bukti obyektif (yakni bukti yang memaksa orang lain setuju), maka dan hanya maka saya harus mengatakan “Saya yakin ...”. Sebaliknya, pada situasi yang di dalamnya saya tidak yakin baik secara obyektif maupun secara subyektif, saya harus mengakui bahwa saya sendiri berpegang pada suatu opini.

Pembedaan Kant tersebut pada aktualnya didasarkan pada dua pertanyaan yang membentuk suatu 2LAR: (1) Apakah secara subyektif kebenaran p pasti? dan (2) Apakah secara obyektif kebenaran p pasti? Kant menjelaskan tiga situasi-bolehjadi yang timbul dari dua pertanyaan itu, tetapi ia tidak menunjukkan kemungkinan keempat. Barangkali ia menganggap sia-sia memikirkan proposisi yang secara obyektif pasti, namun secara subyektif tidak pasti. akan tetapi, saya pikir sebaiknya kita tidak terburu-buru menganggap hal ini sebagai 2LAR yang tidak sempurna. Bagaimana dengan mengabaikan? Tidakkah mengabaikan merupakan keadaan sesuatu yang secara subyektif tidak pasti yang pada lubuknya memiliki suatu jenis kepastian obyektif? Jika demikian, maka kita dapat memetakan empat keadaan kognitif itu pada salib 2LAR, seperti pada Gambar VII.4.

mengetahui

(kepastian subyektif,

kepastian obyektif)

mengabaikan menyatakan

(ketidakpastian subyektif, (ketidakpastian subyektif,

kepastian obyektif) ketidakpastian obyektif)

meyakini

(kepastian subyektif,

ketidakpastian obyektif)

Gambar VII.4: Empat Keadaan Kognitif

Wawasan tak pernah merupakan opini belaka; wawasan lebih menyerupai tercetusnya sesuatu yang baru secara mendadak, suatu kesadaran akan pengetahuan potensial tentang sesuatu yang sebelumnya kita abaikan sepenuhnya. Dengan demikian, segera seusai kita akui kebebalan kita, filsafat menyeru kita agar memfokuskan perhatian kita menuju pengetahuan dan keyakinan dan menjauhi opini. Sebaliknya, ilmu selalu menuju pengetahuan saja, dalam arti kepastian yang bisa dibuktikan secara obyektif. Ilmuwan menelaah hubungan antara fenomena alamiah tertentu dengan mengamati struktur umumnya, dan upaya untuk menemukan pola-pola yang akhirnya mengarahkan kita ke pemahaman beberapa hukum alam yang dipatuhi oleh fenomena yang dibicarakan. Jika suatu fenomena selalu terlaksana dengan cara tertentu, maka aktivitasnya bisa diprediksi; dan tentu saja, salah satu daya tarik terbesar ilmu adalah bahwa, manakala ilmu benar-benar mencapai tujuan puncaknya yang berupa mapannya pengetahuan yang secara obyektif bisa dibuktikan kebenarannya, ilmu itu memungkinkan kita untuk mengetahui masa depan! Sebaliknya, filsafat ilmu tidak dimaksudkan untuk membangun pasal-pasal pengetahuan empiris yang tertentu, tetapi menelaah sifat dasar keseluruhan asumsi dan metode ilmu. Jadi, filsuf ilmu itu bukan mengetengahkan pertanyaan tentang fenomena tertentu, melainkan mengajukan pertanyaan semacam: Apakah ilmu itu? Metode ilmiah apa yang tepat? Yang menghasilkan keandalan ilmu itu apa? dan Apakah ilmu itu memberi kita pengetahuan tentang kenyataan yang bebas seluruhnya dari benak kita?

Pada matakuliah ini kita tidak akan mampu menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini dengan sangat cermat. Contohnya, kita takkan bisa lebih mendalami pertanyaan terakhir daripada yang kita lakukan di Kuliah 8, yang di situ kita lihat bahwa Kant, sekurang-kurangnya, yakin bahwa semua pengetahuan ilmiah itu bergantung pada “kondisi apriori sintetik” yang ditimpakan oleh benak itu sendiri pada obyek-obyek dengan tujuan agar obyek-obyek itu bisa diketahui. Karena itu, aspek kritisisme metafisika ini berkaitan erat dengan filsafat ilmu. Pada kuliah mendatang kita akan melihat lebih dekat salah satu argumen Kant, mengenai pondasi filosofis keandalan ilmu, yang juga mempunyai implikasi bagi hakikat metode ilmiah yang tepat. Namun untuk sekarang saya hendak menambah sedikit komentar tentang hakikat ilmu itu sendiri.

Terdapat suatu pandangan umum, yang populer terutama di kalangan ilmuwan dan mahasiswa sains, bahwa kebenaran segala hal harus bisa dibuktikan secara ilmiah. Pandangan ini sering disebut “saintisme”. Suatu pandangan serupa, yang disebut “naturalisme”, bahkan memandang lebih jauh lagi, dengan menyatakan bahwa segala hal yang ada itu [bersifat] material, tetap, dan mekanis. Dua pandangan ini sering berjalan seiring, karena penghuni bumi yang “alamiah” sepenuhnya (dalam ertian khusus ini) takkan bisa menemukan kebenaran dengan metode non-ilmiah apa pun. Sebagaimana yang akan kita saksikan di Kuliah 21, para ilmuwan harus mengasumsikan bahwa fenomena yang mereka kaji itu [bersifat] alamiah pada sesuatu yang menyerupai ertian ini, karena kalau tidak, pengetahuan obyektif mengenai hal itu mustahil diperoleh. Akan tetapi, [kalangan] naturalis mengambilnya selangkah lebih dalam dengan mengklaim bahwa tidak ada apa pun di luar alam yang bisa diamati oleh ilmuwan. Bahkan di ilmu-ilmu sosial, yang pengetahuan mapannya sering berupa pengetahuan mengenai opini dan keyakinan orang, kadang-kadang ada kecenderungan untuk menganggap bahwa pengetahuan obyektif ilmuwan itu entah-bagaimana bebas dari segala noda subyektivitas. Akan tetapi, seperti siratan Gambar VII.4, pengetahuan sejati selalu mempunyai unsur subyektif di samping unsur obyektif. Bahkan, gagasan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan obyektif murni itu amat menyesatkan, karena keadaan semacam itu pada aktualnya menetapkan kebebalan, bukan pengetahuan! Kebebalan yang menyertai segala pandangan yang memutlakkan pengetahuan obyektif bisa dipandang sebagai, minimal, kebebalan akan sifat mitologis keyakinan subyektif yang membentuk pondasi pokok pandangan-pandangan semacam itu.

Gagasan utama yang ingin saya ajukan mengenai pandangan-pandangan seperti saintisme dan naturalisme adalah bahwa, berlawanan dengan asumsi banyak orang yang menganut pandangan-pandangan semacam itu, keduanya bukan bagian dari ilmu, bukan pula diwajibkan oleh hakikat ilmu; alih-alih, keduanya adalah filsafat ilmu. Saintisme adalah, atau mestinya dianggap sebagai, teori epistemologis, sedangkan naturalisme sebagai teori metafisis. Sekalipun begitu, dalam banyak hal, keduanya lebih merupakan hasil dari prasangka yang berat sebelah, suatu ketidakmampuan untuk melihat segala sesuatu dari lebih dari satu sudut pandang, daripada sebagai pondasi filosofis yang beralasan bagi ilmu. Faktanya adalah bahwa filsuf-ilmu lain mengakui bahwa dunia kita terdiri dari lebih dari sekadar materi yang ditentukan secara mekanis, bahwa ilmu adalah salah satu cara penemuan kebenaran yang sah, dan bahwa pandangan-pandangan tentang ilmu ini menyediakan pondasi yang baik untuk penelitian ilmiah di samping alternatif-alternatif yang lebih cenderung-sempit. Begitu kita sadari bahwa kebenaran mutlak itu tidak ada hubungannya dengan ilmu itu sendiri, ada banyak kekuatan yang tersingkir dari filsafat, seperti saintisme dan naturalisme.

Perbedaan antara ilmu dan filsafat ilmu itu melukiskan bagaimana disiplin-disiplin filsafat terapan berkaitan dengan jenis kealiman yang dibahas di Bagian Tiga ini. Di sini kita telah sampai pada memandang “kealiman” dalam ertian umum, seperti yang mengacu pada aktivitas yang ditujukan untuk mengetahui bagaimana memutuskan mana yang nyata mana yang tidak; atau mengetahui di mana penempatan tapal batas antara pengetahuan dan kebebalan. Dengan kata lain, mencintai kealiman itu mensyaratkan kita untuk sampai tahu apa yang bisa kita sebut Jalan ilmu, bukan untuk menghimpun fakta ilmiah sebanyak mungkin. Sesungguhnya, gagasan ini oun tersirat dalam salah satu definisi “kealiman”, yang paling umum yaitu “mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan (scientia) kita”.

Salah satu masalah yang timbul adalah bahwa filsafat terapan, yang terkait dengan cinta akan kealiman menurut pemahaman dengan cara tersebut, mungkin dianggap sia-sia oleh sebagian orang. Aduan seperti yang berikut ini, pada faktanya, diangkat oleh sebagian mahasiswa saya terdahulu: “Mengapa kita menelaah ‘filsafat sesuatu’ bila kita bisa menelaah sesuatu itu sendiri?” “Fakta-fakta ilmiah memungkinkan kita untuk menciptakan segala jenis kemajuan teknologi; namun perkembangan teknologi apa di masyarakat kita yang pernah dihasilkan oleh filsafat ilmu?” “Menelaah ‘cara’ misterius ini menghambur-hamburkan waktu, bila kita bisa menggunakan waktu kita yang berharga untuk mengkaji sesuatu yang pada kenyataannya bermanfaat!”

Chuang Tzu, filsuf Cina kuno yang gagasannya kita jumpai sehubungan dengan pembahasan kita tentang logika sintetik, ialah jawara “Jalan” (yang dalam bahasa Cina disebut “Tao” atau “Dao”). Seperti yang mungkin kita duga, ia benar-benar sadar akan tuduhan bahwa penelaahan tentang Jalan ini sia-sia. Pada beberapa kesempatan, tanggapannya adalah menunjukkan bahwa pohon yang kita kira “berguna” mungkin memiliki kehidupan yang singkat. Jika kayunya sangat keras, kita ingin menggunakannya untuk membangun sesuatu. Jika kayunya sangat lunak, kita ingin memakainya untuk memahat sesuatu. Jika kayunya beraroma harum, kita ingin memanfaatkannya untuk membuat hiasan dekoratif. Namun jika pohon itu tidak berguna, kita lebih cenderung membiarkannya. Dari hal ini ia menyimpulkan bahwa kesia-siaan bisa sangat berguna: pohon yang tampaknya “tidak berguna” lebih berkemungkinan untuk hidup lama! Penerapan logika sintetik ini mungkin bukan cara yang paling persuasif untuk membela manfaat pohon filsafat; namun cara ini bukan tanpa kelebihan, karena ini menunjukkan bahwa kita harus meninjau kembali asumsi umum kita mengenai apa yang kita anggap “berguna”.

Menurut Wittgenstein, filsafat berfaedah hanya bagi orang-orang yang terusik dengan sejenis “kram mental” tertentu, dan tugasnya selaku filsuf adalah bertindak sebagai “pemijat” yang harus meredakan kram itu. Karena terutama, kalau bukan hanya, filsuflah yang menderita kram ini, ia memandang tugasnya adalah membantu filsuf-filsuf dalam menghindari kejatuhan yang menuju cara pikir yang sia-sia. Akan tetapi, begitu kita akui bahwa orang awam juga cenderung menerapkan pengetahuan dengan cara yang sia-sia, manfaat menelaah filsafat bisa lebih dihargai sepenuhnya.

Sesungguhnya, ketidakmampuan kita untuk memanfaatkan kealiman dalam pengertian instrumental—umpamanya, seperti pemakaian garpu dan pisau, atau sumpit, untuk makan—itulah yang memungkinkannya untuk berfungsi sebagai pondasi bagi semua yang berguna. Mengetahui belaka tapal batas antara pengetahuan dan kebebalan barangkali tidak memungkinkan kita untuk membangun sejenis roket baru untuk menjelajahi alam semesta dengan lebih cepat, tidak pula menjamin bahwa secara otomatis kita melakukan hal-hal yang benar bila kita berada dalam keadaan yang secara moral sulit, tidak pula memberdayakan kita untuk menciptakan perdamaian antara pemimpin-pemimpin dua bangsa yang berperang. Namun ini akan memungkinkan kita untuk melihat dengan lebih gamblang perbedaan antara penerapan yang penuh makna dan yang kurang bermakna perihal jenis pengetahuan ini dan sebagainya. Karenanya, kita dapat menggunakan pengetahuan filosofis untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan agar tidak menggunakan kecakapan teknologis, atau penalaran moral mereka, atau kekuatan politis mereka, dengan cara yang tidak-rasional, destruktif, atau pun yang menghancurkan-diri.

21. Kausalitas dan Tapal Batas Ilmu

Saat ini kita akan melihat dengan lebih dekat salah satu persoalan mendasar dalam filsafat ilmu: keandalan induksi sebagai alat pemerolehan pengetahuan. Namun pertama-tama, mari kita arahkan perhatian kita kepada pertanyaan yang perlu kalian pikirkan selama beberapa pekan mendatang, walau ini tidak langsung berkaitan dengan filsafat ilmu. Pertanyaannya, yang dikutip oleh Kierkegaard (dalam CUP 97) dari Lessing (1729-1781), adalah:

If God had all truth in his right hand

and the lifelong search for truth in his left,

which hand would you choose?

(Jika Tuhan meletakkan seluruh kebenaran di tangan kanan-Nya

dan pencarian kebenaran sepanjang hayat di tangan kiri-Nya,

tangan mana yang akan anda pilih?)

Dalam kuliah terdahulu, kira-kira pada waktu itu saya pikir kalian akan melupakan permintaan saya agar kalian merenungkan pertanyaan sulit ini; saya akan mengetengahkan beberapa saran tentang bagaimana mestinya tanggapan kita yang saya yakini.

Ingatkah kalian akan bahasan kita di Kuliah 11 tentang metode argumen yang analitik dan sintetik? Pada saat itu kita membandingkan perbedaan antara deduksi (metode yang berawal dengan dua premis atau lebih dan menarik simpulannya yang niscaya) dan induksi (metode yang berawal dengan penghimpunan bukti dari observasi dan dari sini menggeneralisasikannya untuk membentuk simpulan yang bolehjadi). Ada banyak ilmuwan, sejak kelahiran ilmu hingga sekarang ini, yang berasumsi bahwa tugas mereka mensyaratkan observasi yang cermat lebih dari argumentasi yang ketat, sehingga cara yang tepat untuk berilmu adalah berjalan di jalur induksi. Masalah yang terangkat adalah bahwa para ilmuwan hampir selalu memandang tugas mereka sebagai pencarian fakta, dan mereka biasanya menganggap bahwa begitu “fakta” diperagakan, konon hal itu pasti benar; padahal, seperti yang kita lihat di Kuliah 11, induksi sendirian tidak bisa memberi pengetahuan yang sepasti itu, karena sedikit-banyak selalu bergantung pada dugaan. Pemecahan masalah ini merupakan hal terpenting bagi filsafat ilmu karena tampaknya mempersoalkan salah satu keyakinan kita yang paling mendasar mengenai pengetahuan ilmiah: bahwa fakta-fakta ilmiah adalah andal dan bisa dipercaya, karena para ilmuwan telah membuktikan bahwa [fakta-fakta] itu pasti benar.

Bagi kebanyakan ilmuwan yang secara filosofis memikirkan “problem induksi” yang mereka hadapi, solusinya adalah asumsi bahwa fenomena yang mereka amati itu entah-bagaimana terikat bersamaan melalui hubungan yang niscaya. Ini berarti pentingnya fakta-fakta ilmiah tidak berasal dari struktur logis metode ilmiah, tetapi dari suatu hukum di dalam fenomena itu sendiri. Adapun hukum alamiah yang paling dasar, yang mengatur semua hukum lain yang lebih spesifik mengenai bagaimana fenomena berinteraksi, adalah bahwa efek apa pun yang kita amati di alam itu niscaya ditentukan oleh suatu sebab yang mendahuluinya. Hal penting yang harus dipahami tentang solusi ini adalah bahwa penggunaan hukum sebab-akibat-niscaya itu merupakan asumsi filosofis, bukan sesuatu yang didasarkan pada bukti ilmiah apa pun. Bahkan, kita bisa menyebutnya “mitos” yang melandasi kebanyakan ilmu modern. Di abad keduapuluh ada sebagian ilmuwan, kebanyakan di antara mereka ialah fisikawan, yang menyatakan menolak mitos ini, atas dasar bahwa pada tingkat sub-atomik peristiwa-peristiwa “terjadi begitu saja”: jalur elektron, misalnya, diyakini acak sepenuhnya, dan dengan demikian tak bisa diprediksi pada suatu titik waktu tertentu, sehingga hanya “probabilitas” jalur yang ada itu yang bisa diketahui lebih dahulu. Akan tetapi, para ilmuwan lain yakin bahwa penjelasan semacam itu, di samping sebagai cara penghitungan pergerakan partikel-partikel sub-atomik yang misterius, merupakan pengakuan belaka bahwa para fisikawan telah sampai pada tujuan ilmu mereka. Memang, seolah-olah mereka “membenturkan kepala mereka” pada tapal batas terluar ilmu itu sendiri.

Jika para fisikawan pada kenyataanya telah mencapai tapal batas alam fisis, maka asumsi bahwa peristiwa-peristiwa sub-atomik tidak bersebab itu sama mitologisnya dengan asumsi yang lebih tradisional bahwa semua peristiwa memiliki sebab. Dalam hal ini para ilmuwan mesti mengakui bahwa perdebatan tentang asumsi mana yang berfungsi sebagai mitos yang lebih baik untuk membangun ilmu itu terutama merupakan perdebatan filosofis, yang tak terjawab oleh observasi ilmiah melulu. Secara demikian, sekarang saya hendak memperkenalkan kepada kalian dua cara penanganan filsuf-filsuf terhadap persoalan tentang hubungan-niscaya yang acapkali diyakini memberi keandalan kepada pengetahuan induktif. Salah satunya datang dari keragu-raguan yang diangkat oleh David Hume (1711-1776), dan yang lain datang dari upaya Kant yang berpengaruh untuk membuktikan kesalahan pandangan Hume.

Hume ialah filsuf Skotlandia yang sepenuhnya membela metode filsofis yang disebut “skeptisisme”. Para skpetis mempersoalkan keandalan pengetahuan kita (di bidang ilmu, moralitas, estetika, atau segala bidang lain yang di dalamnya orang-orang mengklaim kepememilikan pengetahuan), biasanya dengan menunjukkan bahwa pondasi (atau akar) pengetahuan itu tidak memadai atau tidak ada. Hume mempersoalkan banyak jenis pengetahuan, membela alternatif skeptisnya dengan beberapa argumen yang persuasif. Landasan semua argumennya adalah asumsi bahwa kebenaran bisa dicapai hanya melalui dua cara yang sah (bandingkan Gambar IV.4): melalui penalaran matematis (yakni deduksi, yang menghasilkan sesuatu yang kemudian oleh Kant disebut pengetahuan apriori analitik) dan melalui observasi empiris (yakni induksi, yang menghasilkan pengetahuan aposteriori sintetik). Dengan menggunakan asumsi ini, yang kadang-kadang disebut “garpu Hume”, ia berupaya menemukan dan membuang segala klaim pengetahuan yang tidak bersandar pada gagasan (pikiran) yang didasarkan pada logika atau kesan (perasaan) yang didasarkan pada indera. Dengan demikian, bukunya, An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), menyimpulkan:

When we run over libraries, persuaded of these principles, what havoc must we make? If we take in our hand any volume--of divinity or school metaphysics, for instance--let us ask, Does it contain any abstract reasoning concerning quantity or number? No. Does it contain any experimental reasoning concerning matter of fact and existence? No. Commit it then to the flames, for it can contain nothing but sophistry and illusion. (EHU §XII, Part III)

(Kala kita kunjungi perpustakaan, terbujuk akan prinsip-prinsip ini, apa yang harus kita perbuat? Bila kita ambil dengan tangan kita buku apa saja—tentang metafisika haluan atau ilahi, misalnya—mari kita bertanya, Apakah itu mengandung penalaran abstrak mengenai kuantitas atau bilangan? Tidak. Apakah itu mengandung penalaran eksperimental mengenai materi fakta dan keberadaan? Tidak. Maka buanglah [buku] itu ke nyala api, karena tidak berisi apa-apa selain penyesatan dan khayalan.) (EHU §XII, Bagian III)

Ketika sampai pada pengetahuan ilmiah, Hume menggunakan “garpu” ini tidak untuk menyangkal kesahihan semua pengetahuan sama sekali, tetapi untuk menyatakan bahwa kelirulah perkiraan bahwa pengetahuan semacam itu memberi kita pintu masuk menuju kebenaran-niscaya. Kita tidak bisa mengamati hukum semacam itu, dan kita tidak bisa membuktikannya dengan penalaran deduktif; jadi, itu pasti tidak benar! Ia mengungkapkan argumennya dengan beragam cara. Umpamanya, ketika membahas kemungkinan bahwa kehendak manusia bisa memberi kita pintu masuk ke hukum semacam itu, ia bernalar:

Why has the will an influence over the tongue and fingers, not over the heart and liver? This question would never embarrass us, were we conscious of a power in the former case, not in the latter. We should then perceive, independent of experience, why the authority of will over the organs of the body is circumscribed within such particular limits. Being in that case fully acquainted with the power or force ... we should also know, why its influence reaches precisely to such boundaries, and no farther. (EHU §VII, Part I, my italics)

(Mengapa kehendak itu mempunyai pengaruh pada mulut dan jari, bukan pada jantung dan hati? Pertanyaan ini tak akan membingungkan kita, bila kita sadar akan kekuatan pada kasus terdahulu, tidak pada yang terkemudian. Maka kita harus mencerap, bebas dari pengalaman, mengapa wewenang kehendak pada organ tubuh dibatasi di dalam batas-batas khusus semacam itu. Dalam kasus yang sepenuhnya terpahami dengan kekuasaan atau kekuatan ... kita harus tahu pula, mengapa pengaruhnya menjangkau tapal batas semacam itu dengan tepat, tidak lebih.) (EHU §VII, Bagian I, pemiringan huruf [merupakan tambahan] dari saya)

Di sini Hume mengakui bahwa pencarian hubungan-niscaya adalah pencarian tapal batas, di luar pengalaman awam, yang akan memberi kita kesadaran akan mengapa hal-hal terhubung sedemikian adanya. Namun kemudian ia menolak kemungkinan semacam itu, atas dasar berikut ini:

... consciousness never deceives. Consequently, neither in the one case nor in the other are we ever conscious of any power. We learn the influence of our will from experience alone. And experience only teaches us, how one event constantly follows another; without instructing us in the secret connection, which binds them together, and renders them inseparable.

(... kesadaran tak pernah mengecoh. Akibatnya, dalam hal apa pun tak pernah kita sadar akan kekuasaan apa pun. Kita mempelajari pengaruh kehendak kita dari pengalaman saja. Adapun pengalaman hanya mengajar kita, bagaimana suatu peristiwa senantiasa mengikuti yang lain; tanpa menyuruh kita dengan hubungan rahasia, yang mengikatnya bersama-sama, dan menyebabkan [peristiwa-peristiwa] itu tak terpisahkan.)

Argumen Hume di sini adalah bahwa untuk memahami alasan bekerjanya kehendak manusia sebagaimana adanya, kita harus sadar akan suatu daya atau kekuasaan yang melandasi dan menentukan pengalaman kita. Namun pada faktanya kita tidak sadar akan apa-apa selain pengalaman kita sendiri; kita bahkan tak pernah memiliki kilasan suatu daya yang tersembunyi semacam itu. Kita sampai pada keyakinan akan ide-ide semacam itu melalui penyalinan kesan-kesan dari indera kita dan “pengasosiasian” ide-ide yang dihasilkan satu sama lain. Salah satu contoh sederhananya adalah bahwa kita bisa membangun ide khayalan berupa “gunung emas” melalui penyalinan kesan-kesan absah yang kita miliki tentang emas dan gunung (EHU §II). Masalahnya adalah bahwa sebagian dari keyakinan kita yang paling terpercaya tampaknya berlandasan lemah (§VII, Bagian II):

.. upon the whole, there appears not, throughout all nature, any one instance of [necessary] connection which is conceivable by us. All events seem entirely loose and separate. One event follows another; but we never can observe any tie between them. They seem conjoined; but never connected. And as we can have no idea of anything which never appeared to our outward sense or inward sentiment, the necessary conclusion seems to be that we have no idea of connection or power at all, and that these words are absolutely without any meaning, when employed either in philosophical reasonings or common life.

(... pada keseluruhannya, semua sifatnya keseluruhannya, tampaknya tiada satu pun contoh hubungan[-niscaya] yang tertangkap oleh pikiran kita. Semua peristiwa tampaknya lepas dan terpisah sama sekali. Sebuah peristiwa mengikuti peristiwa lainnya; namun kita tak pernah bisa mengamati ikatan apa pun antara keduanya. Keduanya tampaknya tergabung; namun tak pernah terhubung. Dan sebagaimana kita tak bisa berpandangan tentang sesuatu yang tak pernah tampak pada indera-luar kita atau perasaan-dalam kita, simpulan niscayanya tampaknya adalah bahwa kita tak punya ide tentang hubungan atau daya sama sekali, dan bahwa kata-kata tersebut pasti tanpa makna, bila diterapkan pada penalaran filosofis atau pun pada kehidupan biasa.)

Jika ide hubungan-niscaya sungguh-sungguh “tanpa makna”, maka hal ini tampaknya merupakan masalah yang tak teratasi bagi yang berpandangan bahwa untuk memantapkan fakta-fakta ilmiah metode induktif memadai. Cara pengikisan pondasi hal-hal yang sebelumnya dianggap pengetahuan ini merupakan metode skeptis yang khas dalam filsafat.

Skeptisisme Hume mengenai pandangan umum bahwa ada hubungan-niscaya antara sebab dan akibat mengangkat secara tersirat dua tantangan, yang satu lebih tertuju pada ilmuwan, dan yang lain lebih tertuju pada filsuf. Kalau Hume benar, idenya itu menantang ilmuwan untuk memilih antara dua alternatif: mendapatkan metode ilmiah yang lebih cocok daripada induksi atau, kalau tidak, menghentikan gagasan bahwa ilmu bisa mencapai tujuan kepastian. Bahwa pilihan ini disiratkan oleh skeptisisme Hume mestinya cukup jelas, terutama bila kita lihat kembali Gambar IV.2b dengan mempertimbangkan argumen Hume sebagai berikut:

Bukti Bukti

celah

ketidak- ide hubungan-niscaya

pastian Simpulan Pasti

Gambar VII.5: Ketidakpastian Pengetahuan Induktif

Tentu saja, para filsuf-ilmu lebih sering menanggapi tantangan ini daripada para ilmuwan. Salah satu tanggapan menyiratkan bahwa Hume itu benar dalam menolak kepastian pengetahuan induktif, tetapi mengklaim bahwa pada faktanya, metode yang diikuti oleh ilmuwan terutama bukan induktif melainkan deduktif. Karl Popper, misalnya, mengemukakan bahwa pada aktualnya ilmuwan tidak berawal dengan observasi telanjang, tetapi dengan hipotesis yang berfungsi seperti premis deduksi. Ilmuwan mengasumsikan hipotesis ini, lalu mengujinya dengan mencoba “membuktikan kesalahan”-nya melalui berbagai eksperimen. Induksi saja takkan memungkinkan ilmuwan untuk mencapai simpulan faktual; namun deduksi dan induksi bersama-sama mampu melakukannya. Salah satu tangggapan lainnya sepakat dengan Hume saja, sehingga para ilmuwan tidak perlu memandang tugas mereka sebagai pencarian kepastian. Umpamanya, Paul Fayerabend mengemukakan bahwa, daripada mencari sebuah teori ilmiah yang sempurna, para filsuf dam ilmuwan lebih baik mendorong pengembangbiakan teori: semakin berbeda teori-teori ilmiah, semakin baik teoeri-teori itu—kendati tampaknya berlawanan satu sama lain. Filsuf-filsuf telah berupaya mengabsahkan ilmu dengan begitu banyak cara lain sehingga keterangan yang lebih penuh ada di luar ruang lingkup matakuliah ini.

Tantangan filosofis yang lebih keras yang timbul dari skeptisisme Hume adalah mencari jalan untuk membela induksi dengan satu dari dua cara: [1] mengambil prinsip yang bukan hubungan-niscaya atau [2} menyerang argumen Hume dengan lebih terarah dan memperagakan bahwa bagaimanapun, ide hubungan-niscaya itu maknawi. Hume sendiri pada aktualnya memburu sesuatu yang menyerupai alternatif pertama. Ia mengakui bahwa suatu penjelasan harus diberikan terhadap rasa pengharapan kita bahwa hal-hal akan terjadi di masa mendatang seperti yang terjadi pada masa lampau. Secara demikian, ia mengemukakan bahwa perasaan ini, yang tampaknya menutup “celah” antara bukti dan simpulan dengan argumen induktif (lihat Gambar VII.5), pada aktualnya tidak lain merupakan hasil dari “kelaziman” atau “kebiasaan”:

But there is nothing in a number of instances, different from every single instance, which is supposed to be exactly similar; except only, that after a repetition of similar instances, the mind is carried by habit, upon the appearance of one event, to expect its usual attendant, and to believe that it will exist. This connection, therefore, which we feel in the mind, this customary transition of the imagination from one object to its usual attendant, is the sentiment or impression from which we form the idea of power or necessary connection. Nothing farther is the case. Contemplate the subject on all sides; you will never find any other origin of that idea. (EHU §VII, Part II)

(Namun di sejumlah contoh yang dikira sama persis, berbeda dengan setiap contoh secara sendiri-sendiri, tiada sesuatu selain bahwa selepas pengulangan contoh serupa pada tampilnya sebuah peristiwa, benak itu hanya terbawa oleh kebiasaan untuk menduga penyerta-lazimnya dan untuk meyakini bahwa [penyerta] ini akan ada. Karena itu, hubungan transisi imajinasi [secara] tradisional dari satu obyek ke penyerta-lazimnya yang kita rasakan di benak ini adalah sentimen atau kesan yang merupakan pangkal pembentukan ide kita tentang daya atau hubungan-niscaya. Tiada yang lebih daripada hal itu. Renungkanlah pokok-pembicaraan ini pada semua segi; takkan anda dapati sama sekali asal-usul ide tersebut.) (EHU §VII, Bagian II)

Dengan kata lain, bilamana kita alami obyek-obyek dengan cara yang pasti, kita bayangkan bahwa cara ini niscaya, dan sehingga kita duga mengalaminya lagi dengan cara yang sama. Kita menduga, dan bahkan merasa “pasti” bahwa esok matahari akan terbit di timur, kendati tiada landasan faktual sama sekali bagi kepastian nyata, tetapi hanya bagi penimbangan kemungkinan berdasarkan kebiasaan yang kita kembangkan dari pengalaman masa lalu.

Kita bisa membela jawaban Hume terhadap tantangannya sendiri dengan mencatat bahwa pada faktanya, beberapa orang tidak menduga matahari terbit di timur! Umpamanya, di kutub utara dan selatan ada waktu-waktu tertentu setiap tahun manakala matahari tak pernah terbit atau tak pernah tenggelam. Contohnya, sebetulnya saya lahir di Alaska barat-laut pada dini hari suatu musim panas. Ayah saya mengatakan bahwa ia berjalan ke rumah dari rumah sakit pada pukul 2 pagi itu, dengan menyaksikan matahari tenggelam di utara. Beberapa jam kemudian matahari itu terbit lagi, agak ke timur, tetapi masih di utara terutama. Jadi, contoh khas matahari yang terbit di timur juga melukiskan bahwa yang tampaknya merupakan simpulan yang masuk akal (“Matahari selalu terbit di timur”) pada aktualnya bisa beralih menjadi didasarkan pada kebiasaan kita dalam memandang alam dari perspektif pengalaman masa lalu kita yang terbatas. Baru tatkala kita dikejutkan oleh penemuan pengecualian yang tak terduga, kita menyadari pengaruh kebiasaan kita pada hal-hal yang kita yakini kebenarannya.

Akan tetapi, Kant amat kecewa dengan cara penjelasan Hume tentang perasaan kita bahwa fenomena-fenomena saling berkaitan dengan cara yang niscaya. Karena itu, ia mengambil jalan kedua dalam menanggapi tantangan tersebut. Kant sepakat dengan Hume mengenai pentingnya pengakuan hubungan-niscaya sebagai tapal batas antara yang bisa dan yang tidak bisa diketahui oleh ilmu; namun ia menolak klaim Hume bahwa semua pengetahuan harus salah satu dari matematis dan observasional. Menurut Kant, tipe pengetahuan ketiga, yang disebut “transendental”, adalah sintetik dan sekaligus apriori—yaitu diungkap dengan proposisi yang niscaya benar, tetapi keniscayaannya ini tidak hanya berasal dari logika (lihat Kuliah 11). Alih-alih, tipe ini merupakan tipe khas pengetahuan filosofis. Siapa saja yang menerima garpu Hume dalam pengertiannya yang paling terbatas akan mendapati bahwa [garpu] tersebut akhirnya mengeluarkan filsafat itu sendiri dari alam pengetahuan yang laik diperhatikan! Namun bila kita akui bahwa garpu Hume berfungsi sebagai pondasi mitologis bagi sistemnya, kita akan bebas untuk menggantinya dengan mitos alternatif yang lebih tepat, seperti mitos “Copernican” Kant, bahwa benak itu menimpakan kondisi apriori sintetik tertentu pada obyek apa pun dalam proses menuju pengetahuan tentang obyek tersebut.

Kant menanggapi skeptisisme Hume dengan beragam cara; namun tanggapannya yang paling berpengaruh muncul dalam teorinya tentang “prinsip-prinsip pemahaman murni”. Ia mengemukakan, prinsip-prinsip itu eksis di benak, namun menentukan corak pengalaman kita sebagaimana adanya. Salah satu prinsip yang dipertahankan oleh Kant dengan cara ini adalah sama dengan yang telah ditolak oleh Hume lantaran perasan belaka, yang didasarkan pada cara lazim penafsiran kita terhadap pengalaman masa lalu kita: ide hubungan-niscaya. Kant membela prinsip ini pada salah satu seksi dari Kritik pertamanya yang berjudul “Second Analogy”, dengan menyebutnya “prinsip rentetan waktu, sesuai dengan hukum kausalitas” (CPR 218). Prinsip ini menyatakan: “Semua perubahan berlangsung seirama dengan hukum hubungan sebab-akibat.” Ia mengetengahkan serangkaian argumen rumit yang saling berkaitan dalam mempertahankan prinsip ini—terlalu rumit bagi kita untuk diperiksa di sini. Namun demikian, kita bisa mendapatkan pandangan umum tentang bagaimana ia berargumen dengan mengutip sebuah paragraf dan memeriksanya dengan agak lebih rinci.

Kant dan Hume keduanya setuju bahwa kita mempunyai pengalaman, tetapi mereka tidak sepakat atas siratan pengalaman subyektif kita mengenai alam obyektif. Hume mengemukakan bahwa pengalaman subyektif kita cuma “bundel persepsi”, yang sedikit atau tidak menyiratkan kenyataan obyektif. Adapun Kant mengemukakan bahwa “kita harus mengambil rentetan subyektif penangkapan dari rentetan obyektif penampakan”; kalau tidak, mustahil dijelaskan mengapa kita mencerap atau “menangkap” serangkaian peristiwa dalam urutan tertentu atau dalam sekelompok obyek yang berbeda satu sama lain (CPR 221). Dengan kata lain, pengalaman subyektif kita dimungkinkan hanya [jika berdasar] pada asumsi bahwa [pengalaman subyektif] itu “turun” ke suatu kenyataan obyektif. Dengan pikiran tersebut, Kant menyusun argumen berikut ini:

If, then, we experience that something happens, we in so doing always presuppose that something precedes it, on which it follows according to a rule. Otherwise I should not say of the object that it follows. For mere succession in my apprehension [as in Hume's theory of "habit"], if there be no rule determining the succession in relation to something that precedes, does not justify me in assuming any succession in the object. I render my subjective synthesis of apprehension objective only by reference to a rule, in accordance with which the appearances in their succession, that is, as they happen, are determined by the preceding state. The experience of an event [i.e., of anything as happening] is itself possible only on this assumption. (223)

(Maka, jika kita alami bahwa sesuatu terjadi, kita dalam melakukannya selalu memprakirakan bahwa sesuatu mendahuluinya, yang diikuti olehnya menurut suatu aturan. Kalau tidak, saya tidak bisa menebak obyek yang diikuti olehnya. [Ini] karena jika tiada aturan yang menentukan rentetan itu sehubungan dengan sesuatu yang mendahuluinya, [maka] rentetan belaka yang saya tangkap [sebagaimana dalam teori Hume tentang “kebiasaan”] tidak membuktikan kebenaran rentetan apa pun yang saya asumsikan di obyek tersebut. Saya hanya mengobyektifkan sintesis pemahaman subyektif saya dengan mengacu pada suatu aturan yang menyesuaikan rentetan penampakan-penampakan, sebagaimana terjadinya, menurut keadaan pendahulu. Pengalaman suatu peristiwa [yaitu terjadinya sesuatu] dimungkinkan hanya [jika berdasar] pada asumsi tersebut.) (223)

Jika argumen Kant itu benar, maka prinsip bahwa ada hubungan-niscaya antara sebab dan akibat pasti benar, meskipun kita tidak bisa menggunakan observasi atau pun penalaran matematis untuk membuktikannya.

Tipe argumen itu kemudian terkenal sebagai “argumen transendental”. Bentuk umum argumen semacam itu ialah:

Supaya terjadi pengalaman, p pasti benar.

Saya, sekurang-kurangnya, memiliki pengalaman.

Oleh sebab itu, p pasti benar.

Hume takkan menyangkal premis kedua; jadi, satu-satunya tangkisannya adalah premis pertama. Adakah sesuatu yang pada kenyataannya pasti benar supaya, bagi pengalaman kita, dimungkinkan sepenuhnya? Kalau begitu, maka kebenaran-kebenaran itu, secara bersama-sama, menetapkan garis tapal batas antara yang bisa dan yang tidak bisa diketahui. Bolehjadikah, misalnya, membayangkan sejenis pengalaman yang tidak menghajatkan kita untuk memprakirakan bahwa bagaimanapun kita ditentukan oleh sesuatu yang terjadi pada suatu waktu di masa lalu? Kant yakin bahwa dalam kasus semacam ini, klaim bahwa kita memiliki pengalaman apa pun tidak akan dibenarkan. “Pengalaman” di sini mengacu pada kesadaran akan “rentetan subyektif” dalam pencerapan kita; dan kalau tiada pula “rentetan obyektif”, maka tiada landasan untuk menangkap rentetan subyektif kita. Dengan kata lain, mendalihkan “kebiasaan” itu tidak relevan, karena tanpa rentetan obyektif sebagai basis bagi “kebiasaan” kita, kita juga tidak mungkin sadar akan kebiasaan-kebiasaan itu.

Sebagian dari kalian barangkali agak bingung pada saat ini. Itu tidak mengejutkan, lantaran argumen-argumen yang kita ulas tersebut tergolong usulan yang paling sulit dari filsuf-filsuf. Para filsuf profesional yang menelaah Hume dan Kant sepanjang hayat mereka masih berdebat tentang bagaimanakah menafsirkan pandangan mereka dan yang manakah yang memberi paparan yang lebih baik tentang bagaimana sebenarnya dunia ini. Jadi, kita tak usah berharap untuk menempatkan pertanyaan tersebut secara definitif pada matakuliah pengantar! Namun bagaimanapun, dengan harapan menjernihkan hal-hal yang meliputi pandangan masing-masing dan, barangkali pada saat yang sama, membantu anda membulatkan tekad anda mengenai manakah yang lebih dekat dengan kebenaran, saya hendak melakukan sedikit “eksperimen-pikiran”.

Bayangkanlah bahwa anda baru saja merampungkan semua kuliah anda seharian. Anggap saja anda tinggal di Shatin, seperti saya; maka, anda berjalan kaki menuju halte bus terdekat dan menunggu bus di sana. Sehabis beberapa menit saja, bus yang biasanya anda tumpangi tiba. Bus itu berpenumpang penuh; namun sopirnya, orang ramah yang telah anda kenal, menghentikan bus untuk memungkinkan anda naik. Kendati satu-satunya tempat bagi anda adalah berdiri dengan kikuk di samping si sopir, anda begitu mencintai filsafat sehingga anda segera membuka buku yang sekarang ini anda baca dari daftar Bacaan Anjuran, dan mulai membaca. Lalulintas tidak terlalu tersendat-sendat, sehingga sesudah satu atau dua menit saja bus itu memasuki terowongan Lion Rock Tunnel, pada jalur menuju Shatin. Anda hampir tidak memperhatikan hal ini, karena begitu asyik dalam berfilsafat. Lalu tiba-tiba anda merasa bus itu berhenti. Mula-mula anda terus membaca saja, dengan menganggap bahwa pasti ada kemacetan di lalulintas terowongan tersebut. Namun sesudah beberapa menit, anda mulai penasaran mengapa bus itu masih belum beranjak. Lantas anda berpaling dari buku anda untuk melihat kalau-kalau anda bisa mengetahui penyebab penangguhan. Anehnya, tidak ada kendaraan di depan bus; dan sopir bus itu masih duduk seperti sediakala, dengan tangannya di atas setir kemudi dan kakinya di atas pedal, seakan-akan ia masih mengemudi!

Apa yang akan anda lakukan dalam kejadian semacam itu? Dugaan saya adalah bahwa, dengan adanya penangguhan yang cukup lama, akhirnya anda akan meminta sopir bus untuk menjelaskan mengapa ia menghentikan bus. Nah, mari kita bayangkan bahwa ia menjawab anda dengan mengatakan “Saya tidak menghentikan bus” (atau ungkapan serupa dalam bahasa Kanton). Barangkali anda akan menanggapinya dengan mengatakan “Kalau begitu, lebih baik anda mencari bantuan, karena bus ini pasti mengalami kerusakan mesin.” Namun sopir itu menukas: “Tidak, mesinnya berjalan dengan baik. Dengarlah!” Dengan cukup yakin, anda kemudian memperhatikan bahwa deru suara mesin itu sama biasanya dengan ketika bus melewati terowongan dengan kecepatan normal. Saya rasa anda akan agak kebingungan; namun sesaat kemudian, terutama bila anda akan terlambat untuk menghadiri perjamuan, anda akan kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam: “Lantas, kalau anda tidak menghentikan bus, siapa yang melakukannya? Tuhan? Atau hantu?” Jika sopir itu lalu menjawab: “Tidak. Tentu saja tidak. Berapa kali harus saya katakan kepada anda, tiada yang menghentikan bus”, maka sebagian besar dari kita, saya kira, akan mengatakan, atau sekurang-kurangnya memikirkan, sesuatu seperti: “Lihat, tidak ada orang yang menghentikan bus ini dengan sengaja, tidak ada kerusakan mesin, padahal bus-bus tidak berhenti begitu saja tanpa alasan sama sekali!

Saya penasaran bagaimana tanggapan anda jika sopir bus itu menjawab klaim ini dengan menukas: “Ah! Anda hanya merasakan cara itu karena kebiasaan yang anda kembangkan selama bertahun-tahun tinggal di Hong Kong, mengira bahwa bus-bus tidak berhenti di terowongan berpolusi bila tiada alasan. Pada kenyataannya, bus-bus itu dapat dan memang beberapa kali berhenti tanpa alasan; hanya saja inilah pertama kalinya anda mengalami suatu pengecualian terhadap ekspektasi lazim anda.” Jika kemudian sopir itu berpaling dan duduk kembali dalam posisi mengemudi, seolah-olah tidak ada yang aneh, saya kira sebagian besar dari kita akan mencoba keluar dari bus itu secepat mungkin! Mengapa? Kita semua akan menganggap sopir ini bercanda secara sangat konyol (atau mungkin berbahaya) dengan penumpangnya, atau menganggapnya gila!

Kita semua (bahkan juga para fisikawan yang yakin bahwa tiada sebab di belakang pergerakan partikel-partikel sub-atomik) biasanya mengasumsikan bahwa apa saja yang kita lihat dan alami dalam kehidupan kita sehari-hari disebabkan oleh sesuatu. Keajaiban pun merupakan peristiwa yang disebabkan, karena ini merupakan peristiwa yang diyakini disebabkan oleh Tuhan. Begitu pula, orang-orang yang hidup di dalam suku-suku primitif menganggap secara alamiah bahwa apa saja yang terjadi merupakan kejadian yang disebabkan, barangkali oleh suatu roh atau dewa. Jika kita tidak membuat sejenis asumsi kausal, kita tidak akan mampu berfungsi di masyarakat manusia mana pun. Kalau pandangan Kant benar, kita juga tidak mampu untuk menyadari pengalaman subyektif kita sendiri. Namun perlu dipahami bahwa prinsip Kant itu transendental, sedangkan “kebiasaan” Hume empiris. Itu berarti dua pandangan tersebut bukan niscaya tidak serasi, asalkan kita menolak prasangka sempit tentang garpu Hume. Pada akktualnya Hume benar manakala ia mengatakan tiada jalan untuk mengamati atau menghitung jalan kita menuju suatu pemahaman tentang hubungan-niscaya. Argumen Kant menunjukkan bahwa kekeliruan Hume ialah mengabaikan garis tapal batas transendental antara keduanya, lantaran itulah rumah hubungan-niscaya yang sejati, dan begitu pula pengabsahan terbaik yang bisa ditilik oleh ilmuwan tatkala mempertahankan penggunaan metode induktifnya.

Walau anda tidak teryakinkan oleh argumen-argumen Kant, atau oleh eksperimen-pikiran tadi, untuk mempercayai bahwa prinsip kausalitas, atau hubungan-niscaya, merupakan syarat transendental untuk memungkinkan pengalaman, saya harap anda akan setuju mulai sekarang bahwa pandangan semisal pandangan Hume, sendirian, merongrong kebolehjadian ilmu. Bisa-bisa tiada fakta obyektif bila segala sesuatu bergantung pada kebiasaan subyektif kita sendiri. Saya kira sebagian besar dari kalian bisajadi setuju bahwa kebiasaan belaka belum cukup baik. Ada sesuatu yang mutlak mengenai ide kita tentang hubungan-niscaya antara sebab dan akibat, sesuatu yang tampaknya hampir tak tertanyakan! Kebetulan, fakta bahwa Hume tidak menyetujuinya itu tidak membuktikan bahwa ide tersebut “relatif”; teori Hume bisa tidak benar!

Di sisi lain, jika kita terima argumen Kant dan menganggap segala hal yang terjadi ditentukan oleh sesuatu yang terjadi sebelumnya, muncul masalah baru: Bagaimana kita bisa menjelaskan perasaan kita, manusia, bahwa kita bebas? Jika segala sesuatu di alam ini ditentukan, apakah ini berarti kita harus mencampakkan keyakinan kita kepada kebebasan manusia? Itu akan menimbulkan masalah besar dengan adanya pertalian yang erat antara kebebasan dan kealiman (lihat Kuliah 19). Di sini filsafat ilmu langsung menghadapi salah satu pertanyaan inti pada cabang filsafat terapan yang akan kita panjat di kuliah mendatang, cabang filsafat moral. Di situ akan kita dapati sejauh mana pencarian kita terhadap kealiman bisa menyebabkan kita menerima determinisme ilmu dan sekaligus kebebasan tindakan moral.

Pertanyaan Perambah

  1. 1. A. Apa perbedaan antara batas dan tapal batas?

B. Mungkinkah [kita] bebas dari semua batasan?

..............................

..............................

  1. 2. A. Apakah langit merupakan tempat?

B. Dari manakah wawasan berasal?

..............................

..............................

  1. 3. A. Bagaimana kita [merasa] pasti akan ketidakpastian kita sendiri?

B. Bagaimana kebiasaan metafisis berbeda dengan kebiasaan awam?

..............................

..............................

  1. 4. A. Adakah fakta subyektif?

B. Bisakah kita memiliki pengetahuan tentang peristiwa yang tidak disebabkan?

..............................

..............................

Bacaan Anjuran

  1. 1. Richard Bach, Jonathan Livingston Seagull (JLS).

  2. 2. Daniel N. Robinson, “Wisdom through Ages”, Bab 2 dalam Robert J. Sternberg (ed.), Wisdom: Its nature, origin, and development (New York: Cambridge University Press, 1990), pp. 13-24.

  3. 3. Jostein Gaarder, Sophie’s World, terj. P. Møller (New York: Farrar, Strauss & Giroux, Inc., 1994[1991]).iv[4]

  4. 4. John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science (Oxford: Oxford University Press, 1980).

  5. 5. David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, §VII, “On the Idea of Necessary Connection” (EHU 62-85).v[5]

  6. 6. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, “Second Analogy” (CPR 218-233).vi[6]

  7. 7. Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1972).

  8. 8. Paul Feyerabend, Against Method: Outline of an anarchistic theory of knowledge (London: Verso, 1978).

Catatan Penerjemah

i[1] Tentang hakikat “cinta”, lihat Kuliah 30.

ii[2] Untuk menghindari kesalahpahaman akan makna “kesempurnaan”, perhatikan tapal batas yang bisa kita capai sebagaimana yang, umpamanya, terlukis pada Gambar VIII.2.

iii[3] arbor philosophicus” ialah istilah Latin yang berarti “pohon filsafat”.

iv[4] Edisi Indonesianya berjudul Dunia Sophie: Sebuah novel filsafat (Bandung: Mizan, 1996).

v[5] Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/hume/wri/1enq/1enq-7.htm

vi[6] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/cpr/anpri.html

No comments: