WUJûD DALAM PANDANGAN MISTISISME
Oleh : Sayyed Rahmanian
(Terjemahan Iwan Kurniawan)
Kata wujûd (eksistensi) dianggap sebagai kosa kata paling penting yang dibahas dalam mistisisme teoretis dalam mazhab Ibn ‘Arabi. Bisa juga dikatakan bahwa pandangan mistisisme yang komprehensif berkisar pada tiga poros, yakni wujûd, Allah, dan kesatuan (wahdah). Adapun sifat hubungan yang mengikat ketiga poros tersebut satu dengan yang lain akan kita bahas kemudian. Namun, terlebih dahulu akan kami tunjukkan satu butir penting, yaitu bahwa dalam klasifikasi khusus tentang mazhab-mazhab filsafat, urafa—yang telah mencapai penyaksian-batin (syuhûd) hakiki dan manifestasi-manifestasinya—diklasifikasikan ke dalam mazhab yang meyakini otentisitas (ashâlah) wujûd.[1]
Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya tidak meyakini realitas atau hakikat sesuatu apapun selain wujûd yang harmoni dengan Zat Ilahi dan substansinya. Tetapi mereka tidak mencatatkan hal itu dan tidak menuliskannya dalam sejumlah kajian mereka tentang otentisitas wujûd atau esensi. Berdasarkan hal ini, sesuatu apapun merupakan sumber pluralitas (sebagai esensi). Pikiran dapat mengetahuinya dan menyimpannya di dalam suatu konsep, dan hal itu akan menjadi terpisah dari hakikat tersebut.[2]
Urafa—terutama para pengikut mazhab Ibn ‘Arabi—telah mengungkapkan pengalaman mistis mereka, baik âfâqî maupun anfusî, tentang konsep wujûd. Adapun pencapaian pluralitas dalam unitas (al-katsrah fî al-wahdah) dan unitas dalam pluralitas (al-wahdah fî al-katsrah) mereka kemukakan dengan istilah-istilah seperti “keterhapusan determinasi (ta‘ayyunât) dalam eksistensi mutlak” atau “kebebasan dari belenggu eksistensi” dan sebagainya. Misalnya, eksistensi (wujûd) dalam konsep dianggap sebagai “perkara aksiomatik”, dan dalam ilmu hudhûrî yang umum akan menjadi jelas bagi semuanya.[3] Dalam ilmu hudhûrî khusus (syuhûd ‘irfânî) pun batin Zat Ilahi didahulukan atas segala sesuatu, dimana urafa tidak menemukan term yang lebih sesuai daripada wujûd untuk menamainya. Inilah yang dikemukakan oleh Al-Syabastari dalam bait-bait syairnya.[4],[5]
Dua Makna Wujûd dalam Mistisisme
Urafa menunjukkan dua makna wujûd, yaitu wujûd hakiki dan wujûd metafora.[6] Salah satunya benar-benar satu, sedangkan yang lain samar-samar; yang satu bersifat hakiki (nafsî), sedangkan yang lain bersifat relatif (idhâfî); yang satu bukan esensi dan bukan pula aksiden, bahkan di atas keduanya, sedangkan yang lain adalah perkara aksidental dan aksiden.
Dalam menjelaskan kedua makna ini, Al-Qaishari berkata, “Wujûd dalam arti pertama kadang-kadang bermakna perolehan (hushûl), aktualisasi (tahaqquq) atau penampakan (zhuhûr) yang telah tetap di alam-alam dan fase-fase yang lain. Dengan demikian, wujûd di sini berarti eksistensi aksidental (yang dinisbahkan pada berbagai esensi, dan karena penisbahan ini, istilah maujûd digunakan untuk menyebut segala yang ada). Menurut makna ini juga, wujûd berarti homonim dan tersamar dengan maujûd (yaitu samar-samar dari aspek kemunculan dalam berbagai tingkatan dan manifestasi).
Adapun wujûd yang lain adalah wujûd hakiki, atau yang pada faktanya merupakan hakikat wujûd dan yang dipandang sebagai komponen, bahkan pilar dan asas, setiap tingkatan aktualisasi. Ia bukan esensi dan bukan juga aksiden, tetapi asas dan komponen bagi keduanya (esensi dan aksiden) sekaligus. Wujûd ini adalah Wujûd Al-Haqq yang menjadi Pemilik segala sesuatu dan esensinya.[7]
Wujûd—menurut mazhab Ibn ‘Arabi—tidak sama dengan tsubût (ketidakberubahan). Ibn ‘Arabi sendiri meyakini adanya kontradiksi dan perbedaan di antara kesesuatuan (syai’iyyah) tsubût dan kesesuatuan wujûd, karena ia melihat ada pemilikan entitas-entitas tak berubah (al-a‘yân al-tsâbitah) pada tsubût, tetapi tidak ada pada wujûd. Ia meyakini bahwa lingkup tsubût dikhususkan pada Eksistensi Ilahi yang hanya teraktualisasi dengan Zat Al-Haqq.
Di samping itu, istilah kaun (kosmos) tidak berarti wujûd menurut Ibn ‘Arabi, tetapi berarti eksistensi alam semesta. Penisbahan itulah yang kami tunjukkan tadi.
Istilah-istilah Wujûd dan Wujûd Muthlaq
Wujûd dalam mistisisme teoretis terbagi ke dalam beberapa bagian, di antaranya sebagai berikut.
1. Al-Wujûd al-muthlaq dan al-wujûd al-muqayyad.
2. Al-Wujûd al-‘âm (eksistensi yang terdeterminasi dan khusus).[8]
3. Wujûd lâ bi syarth, wujûd bi syarth, dan wujûd bi syarth syai’.[9]
Pembagian-pembagian tersebut, menurut urafa, merujuk pada pembagian dan sitematisasi yang dikhususkan pada syuhûd, bukan pada jenis-jenis wujûd dan jumlah wujûd. Melalui syuhûd mereka, urafa menemukan beberapa hal yang eksistensinya kadang-kadang berupa aksiden, relatif, dan tituler, tetapi kadang-kadang berupa sesuatu yang tidak terbatas dan mengalir pada setiap sesuatu yang disebut maujud. Urafa yakin bahwa di luar dua jenis ini ada wujûd mutlak yang tidak terikat, tidak diketahui, dan tidak bisa dicapai. Sebagian mereka menisbahkan aspek keyakinan akan jenis wujûd ini pada akal (keniscayaan adanya Pembagi Hakiki atas pembagian ini) dan pada syuhûd (penyaksian cahaya hitam). Keberadaan syuhûd mereka tidak lebih tinggi daripada tingkatan wujûd semata. Ia juga merupakan tingkatan wujûd satu-satunya.
Lebih jelasnya, ada empat kriteria dengan melihat pada analogi pembatasan wujûd. Ihwalnya benar-benar seperti suatu konsep, esensi, atau hakikat ketika dianalogikan dan dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Kriteria-kriteria itu sebagai berikut.
- Wujûd bi syarth al-syai’ (muta‘ayyin)—eksistensi terbatas.
- Wujûd bi syarth lâ (ketidaktentuan; mutlak dengan dibatasi kemutlakan)—eksistensi mutlak.
- Wujûd lâ bi syarth (tidak dibatasi dengan determinasi dan tanpa determinasi).
- Wujûd lâ bi syarth (pembagi yang membagi bagian-bagian tersebut, yang pada esensinya bukan determinasi dan bukan mutlak, dan bukan pula terbatas dengan determinasi dan tanpa determinasi)—muthlaq al-wujûd.
Dari aspek bahasa dan kaidah, penambahan istilah muthlaq sebelum kata yang lain adalah agar berada pada tempat yang dinisbahkan (mudhâf), karena ia membawa makna umum dan komprehensif pada sesuatu yang dinisbahi (mudhâf ilaih). Makna ini tidak dijelaskan dengan suatu sifat apapun dan tidak dibatasi dengan batasan apapun, tetapi bisa dijelaskan dengan sifat-sifat yang lain seperti muthlaq maf‘ûl. Dalam kaidah-kaidah bahasa Arab, hal itu mencakup maf‘ûl lahu, maf‘ûl fîhi, maf‘ûl muthlaq, dan jenis-jenis maf‘ûl terikat yang lain. Berdasarkan hal ini, jika ada kata muthlaq setelah suatu kata atau term yang lain, maka hal itu dianggap sebagai sifat dan sejenis batasan, seperti halnya dengan maf‘ûl muthlaq yang dalam hal ini muthlaq merupakan sifat bagi maf‘ûl, yakni maf‘ûl dibatasi oleh muthlaq. Demikian pula dengan wujûd, dimana muthlaq al-wujûd mengandung makna luas yang cakupannya meliputi wujûd mutlak dan wujûd-wujûd terikat atau bersyarat.
Adapun yang berkaitan dengan Zat Al-Haqq, ke wujûd mana dinisbahkan, dan apa yang menyimbolkan tindakan dan pengaruh-Nya, masih menjadi bahan perdebatan di kalangan urafa dan hukama.[10]
Ketentuan-ketentuan Wujûd dalam Mazhab Ibn ‘Arabi
Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat wujûd (hakikat wujûd) menurut mazhab Ibn ‘Arabi:[11]
1. Wujûd tidak bisa didefinisikan.
2. Wujûd Haqîqî (Eksistensi Hakiki) bukan homonim dan sinonim. Ia hanya memiliki satu substansi. Sedangkan wujûd idhâfî (eksistensi relatif) menyimbolkan sinonim di antara berbagai manifestasi.
3. Hakikat wujûd, yaitu sumber semua kesempurnaan.
4. Tidak bisa menduakan makna wujûd, berbeda dengan zhuhûr.
5. Wujûd dan Nûr (Cahaya) adalah sama.[12]
6. Wujûd dan Wahdah (Kesatuan) adalah sama.
7. Wujûd dan Wujûb adalah sama.
Mengenai hal-hal yang berkatian dengan masalah terakhir, yang akan kami bahas dalam pembahasan tentang Wahdah Al-Wujûd, harus dijelaskan bahwa urafa—berbeda dengan pandangan para filosof—memandang bahwa tidak ada keterbagian wujûd menjadi dua bagian, yaitu wâjib dan mumkin. Tetapi pada dasarnya, wujûd digandengkan dengan wujûb. Selanjutnya, wujûb membawa pada hakikat wujûd, bukan pada suatu substansi (fard) dari wujûd. Perlu ditunjukkan kemungkinan menjelaskan sifat suatu maujud—menurut pandangan filosof—dengan beberapa bagian wujûb, seperti wujûb bi al-ghair (membutuhkan yang lain) atau al-wujûb al-ghairî (dengan analogi pada yang lain), atau membutuhkan syarat mahmûl (attribute). Tetapi yang dimaksud oleh urafa adalah al-wujûb al-dzâtî, bukan al-wujûb al-ghairî atau al-wujûb bi al-ghair. Walaupun masalah ini adalah kondisi syuhûd, urafa telah mengemukakan banyak dalil terhadap hal ini, serta menunjukkan argumentasi terhadap berbagai aspek dalam karya-karya mereka,[13] dan juga telah mengkaji dan mengkritiknya.[14] Faktanya, menegaskan masalah ini berarti menegaskan wahdah al-wujûd, yaitu menegasikan wujûd dari mumkinât dan membatasi wujûd pada Zat Al-Haqq Swt. semata.
Wahdah Al-Wujûd (Pantheisme)
Ada dua masalah asasi dalam mistisisme teoretis, yaitu tauhid (mengenal Allah Swt.) dan mengenal monoteis (insân kâmil). Masalah pertama terbagi ke dalam dua masalah pokok, yaitu (1) penegasan kesatuan (wahdah syakhshiyyah bagi wujûd); dan (2) penjelasan pluralitas (kajian manifestasi). Demikian pula, wujûd ‘irfânî dapat dipahami melalui dua pembahasan ini. Dan pada hakikatnya, tidak mungkin memisahkan sentralisasi unitas (wahdah) dalam pandangan mistisisme komprehensif dari sentralisasi wujûd. Berdasarkan hal ini, unitas (wahdah) menjadi penjelasan khusus bagi wujûd, bukan bagi yang lain, dan tidak mungkin memisahkan antara keduanya dalam bentuk apapun. Pembahasan mengenai hal ini akan diketengahkan dalam Wahdah Al-Wujûd.
Termasuk hal-hal yang tidak diragukan adalah bahwa seseorang dalam kehidupannya sehari-hari berinteraksi dengan pluralitas dan mengenal banyak jenis unitas, baik unitas individu, spesies, genus, maupun yang lainnya, dan melalui berbagai hal. Dapat dikatakan bahwa hal itu, dari kebanyakan sisi homonimi, merupakan keumuman antara pluralitas (katsrah) dan eksistensi (wujûd).[15]
Pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran manusia sejak dahulu adalah yang berkaitan dengan asal unitas atau kesatuan (wahdah) dan pluralitas (katsrah) serta sumber keduanya. Dengan kata lain, mana yang hakiki dan mana yang metafora. Atau, adakah unitas yang tersembunyi di balik pluralitas yang tampak? Apakah pluralitas itu merupakan tanda dan rumus dari unitas? Unitas ini dalam dimensi hakikinya dapat dijelaskan dengan penjelasan teleologis, aktivitas, formalisme, materialisme, atau asal apapun. Berdasarkan sejarah filsafat yang tercatat, para filosof sebelum Socrates, terutama yang mengaku sebagai kaum Ilyâ’iyyûn, adalah orang-orang pertama yang mengatakan tentang eksistensi satu substansi di balik segala sesuatu. Orang yang paling terkemuka di antara mereka adalah Parmenides yang meyakini adanya wujûd yang satu dan tetap sebagai suatu hakikat yang tersembunyi di balik segala pluralitas dan hal-hal yang berubah.[16] Di samping itu, harus dikatakan bahwa semua agama, termasuk agama-agama samawi, telah menunjukkan jenis unitas ini. Tampaknya, agama-agama Ilahi dan lain-lain pada umumnya terfokus pada kesatuan Agent (Fâ‘il) dan tujuan (tauhîd rubûbî dzâtî wa ‘ibâdî), sebagaimana beberapa agama Timur menegaskan kesatuan substansi bagi seluruh alam. Barangkali, sumber penegasan itu berpangkal pada pengalaman mistis yang tersembunyi di dalam agama-agama itu.
Urafa juga meyakini otentisitas wujûd dan kesatuannya, dan kenisbian pluralitas. Keyakinan ini disebut al-wahdah al-syakhshiyyah li al-wujûd, dan secara ringkas dikenal dengan istilah wahdah al-wujûd. Sementara itu, wahdah al-wujûd menurut urafa Muslim adalah istilah yang muncul dari penyaksian-batin (syuhûd) dan pengalaman mistis, dan juga merupakan penafsiran yang diambil dari prinsip tauhid agama (al-tauhîd akhashsh al-khawwâsh) di samping sebagai teori filsafat dan ontologi tentang hakikat. Teori ini mengharuskan kembalinya pluralitas lahiriah, relatif dan ilusif kepada Wujûd yang satu dan ril.
Konsep Wahdah Al-Wujûd
Untuk memahami istilah wahdah al-wujûd lebih dalam—yaitu subjek yang tidak diragukan menempati prioritas dalam kajian-kajian verifikatif dan argumentatif yang dikhususkan baginya—kita harus memulai dengan memisahkan teori ini dari teori-teori alternatif. Di antara teori-teori itu adalah sebagai berikut.
1. Perbedaan wujûd. Para filosof peripatetik dan mutakallimin adalah pengikut mazhab ini. Mereka berpendapat tentang pluralitas maujud dan perbedaan asasi antara wujûd segala sesuatu dan Wujûd Wajib Swt., di satu sisi, dan atnara sesuatu itu sendiri, di sisi lain. Eksternal (khârij)—menurut mazhab ini—merupakan wadah pluralitas hakiki, sedangkan pikiran (dzihn) merupakan wadah unitas murni (konsep wujûd).[17]
2. Kesatuan asal (sinkhiyyah) tasykîkiyyah bagi wujûd. Penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âliyah memiliki satu pendapat yang terkenal, bahwa walaupun ada banyak wujûd bagi beberapa substansi (afrâd), tetapi semuanya berasal dari satu asal wujûd yang sama. Ia tidak mengatakan banyaknya asal, tetapi ia memandang maujud-maujud yang di dalamnya terdapat wâjib dan mumkin sebagai tingkatan-tingkatan tasykîkiyyah dalam satu hakikat. Kemudian, hingga batas tertentu, ia meyakini “pluralitas dalam unitas” dan “unitas dalam pluralitas” (semuanya dalam bentuk hakiki).[18]
3. Unitas wujûd dan maujud dan penegasian pluralitas, yaitu pendapat sebagian sufi yang menegaskan bahwa pluralitas hanyalah fatamorgana dan batil, sehingga mereka menegasikannya dari akar-akarnya. Mereka menegasikan setiap bentuk hakikat—baik yang berkaitan dengan eksistensi (wujûdî) maupun yang berkaitan dengan penampakan (zhuhûrî)—darinya.[19]
4. Wahdah al-wujûd (pantheisme). Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. dan alam adalah satu, dan bahwa Allah Swt. adalah ringkasan dari semua maujud atau bahwa Dia menempati semua pilar dan bagian-bagian alam semesta ini. Dengan kata lain, ketiga pendapat tadi bertolak dari prinsip pluralitas, atau apa yang disebut urafa dengan izdiwâjiyyah (keberpasangan) atau tsanawiyyah al-wujûd (dualitas eksistensi). Kelompok ini dalam Islam dikenal sebagai orang-orang yang berpendapat tentang hulûl (inkarnasi) dan ittihâd (unifikasi). Keyakinan mereka terfokus pada kesatuan Allah Swt. dan alam semesta dan menegasikan pemisahan di antara keduanya. Mereka juga tidak meyakini adanya penciptaan dan tidak memandang bahwa Allah Swt. adalah Pencipta segala sesuatu, tetapi Dia adalah segala sesuatu itu sendiri. Mereka mendefinisikan Allah Swt. sebagai segala sesuatu—yakni segala wujûd—dan bahwa setiap sesuatu adalah Allah Swt. Dengan demikian, mereka mengingkari transenden-Nya dari alam semesta dan tidak mengakui maqam dzât dan huwiyyah (ke-Dia-an) Al-Haqq. Pendapat ini—seperti kita lihat—(1) tidak sejalan dengan prinsip tauhid (theisme) yang berdiri di atas keterpisahan dan keberbedaan Allah Swt. dari alam semesta, dan (2) didasarkan pada keyakinan akan pluralitas dan keberbilangan wujûd—dengan menganggapnya sebagai unsur-unsur dari satu wujûd.
Al-Wahdah Al-Syakhshiyyah li Al-Wujûd
Walaupun ada beberapa ungkapan yang menunjukkan unitas hakikat wujûd dan kenisbian pluralitas dalam karya-karya urafa sebelum Ibn ‘Arabi, tetapi fakta menunjukkan bahwa pencatatan teori wahdah al-wujûd al-syakhshiyyah ini dan perkembangannya menjadi apa yang dikenal dengan teori manifestasi (tajallî), penjelasan pilar-pilar, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya, dan selanjutnya argumentasinya secara rasional, dilakukan oleh mazhab Ibn ‘Arabi dan para penafsirnya, seperti Al-Qunawi dan para pengikutnya. Perlu ditunjukkan bahwa Ibn ‘Arabi sendiri tidak menggunakan istilah wahdah al-wujûd,[20] tetapi kami menemukan banyak ungkapan dan isyarat yang seluruhnya menunjukkan kandungan teori tersebut dalam buku-buku dan risalah-risalahnya.[21] Jika kita membandingkan teori tersebut dengan teori-teori yang berseberangan dengannya dan yang baru saja kami jelaskan, maka kita akan melihat bahwa wahdah al-wujûd berarti bahwa wujûd hanya terbatas pada Yang Satu, dan pada saat yang sama, ia merupakan sejenis unitas dalam pluralitas dan pluralitas dalam unitas.[22] Tetapi hal itu tidak seperti yang dikatakan oleh penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âliyyah bahwa unitas kembali pada akar wujûd, sedangkan pluralitas kembali pada tingkatan-tingkatan dan substansi-substansi (afrâd) wujûd. Bahkan, ia adalah satu hakikat, yakni tingkatan wujûd tertinggi dan juga tingkatan wujûd satu-satunya, yang bermanifestasi dalam lahirah dan simbol-simbol pluralitas. Berdasarkan hal ini, pluralitas bukan fatamorgana dan batil, tetapi Al-Haqq, dan kriteria otentisitas dan hakikatnya tiada lain adalah dengan kemunculannya. Tentu, di sini masih ada ke-Dia-an Al-Haqq dan maqam dzât yang tidak diketahui dan tidak bermanifestasi, tetapi bermanifestasi bersama segala sesuatu dan pluralitas, dan mengalir di dalamnya. Tetapi aliran itu tidak seperti aliran air dalam pembuluh batang tanaman atau aliran darah dalam tubuh yang akan menyebabkan inkarnasi (hulûl), dan bukan juga alam sebagai wadah bagi Al-Haqq atau menyatu bersama Zat atau Entitas-Nya yang berarti unifikasi (ittihâd), melainkan bahwa alam tersendiri sebagai gambaran Al-Haqq yang terpantul pada cermin, bukan Al-Haqq itu sendiri. Atas dasar ini, pluralitas merupakan manifestasi Al-Haqq, bukan sesuatu yang batil atau khayalan. Jika muncul seperti itu, maka kita melihat esensi-esensinya yang terpisah. Tetapi jika kita memandangnya sebagai tanda dan cermin, maka ia akan menjadi gambaran-gambaran dan bayangan-bayangan Al-Haqq.
Menurut pandangan ini, unitas dan wujûd masing-masing muncul di seputar yang lain, sehingga unitas merupakan penjelasan terhadap wujûd dan wujûd menyertai unitas.[23] Demikian halnya dengan kesatuan Al-Haqq; ia bukan kesatuan dalam bilangan sehingga menjadi lawan dari banyak, tetapi ia adalah kesatuan mutlak yang mencakup banyak menifestasi. Pluralitas-pluralitas itu, yang pada esensinya merupakan bentuk dan manifestasi, semuanya dikonsepsikan sebagai satu hal.
Ringkasnya, dalam membandingkan antara wahdah al-wujûd dan pendapat-pendapat yang lain, dapat kita katakan bahwa “teori” wahdah al-wujûd, berbeda dengan teori keberlainan wujûd, pada dasarnya tidak menunjukkan pluralitas dalam perkara yang faktual sehingga tidak mengakui hakikat segala esensi (otentisitas esensi) dan menganggap pluralitasnya sebagai pluralitas yang dibentuk dalam fakta; tidak menunjukkan bahwa pluralitas dalam substansi dan jenis (tabâyun); dan tidak pula menunjukkan tingkatan-tingkatan wujûd (tasykîk). Teori ini tidak termasuk ke dalam pendapat mereka yang mengatakan tentang prinsip wahdah al-wujûd karena mengingkari maqam dzât sebagai hal yang transenden dari alam semesta dan tidak pula mengakui apa yang diyakini oleh mereka yang berpendapat tentang inkarnasi, unifikasi, dan dualitas dalam wujûd. Selain itu, teori tersebut tidak mengatakan apa yang dikatakan oleh sebagian sufi bahwa pluralitas itu batil dan hanya khayalan belaka. Tetapi teori ini meyakini kesatuan hakikat wujûd dan pluralitas manifestasi dari hakikat ini.
Bertolak dari sini, Al-Haqq memiliki dua dimensi; (1) dimensi tersembunyi yang merupakan rahasia abadi yang tidak bisa dicapai (kegaiban murni) dan (2) dimensi yang tampak dan bermanifestsi (syahâdah) dan memiliki kaitan dengan pengetahuan manusia. Oleh karena itu—sebagaimana akan kita lihat kemudian—kita akan melihat kesatuan tanzîh (ketakterbandingan) dan tasybîh (keserupaan) dalam teori wahdah al-wujûd manakala para filosof menegaskan tanzîh murni, sedangkan mereka yang berpentapat tentang wahdah al-wujûd dan mereka yang meyakini adanya inkarnasi (hulûl) dan unifikasi (ittihâd) meyakini tasybîh murni. Menurut teori wahdah al-wujûd, dalam kehadiran Allah dalam segala sesuatu, Dia adalah manifestasi (bâ’in) bagi segala sesuatu itu (bainûnah), sedangkan dalam kejauhan-Nya dari segala sesuatu, Dia tidak terpisah dari segala sesuatu itu.[24] Tidak ada yang lebih tepat daripada apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin as. tentang kekhususan ini dalam Nahj Al-Balâghah, “Dia ada dalam segala sesuatu tanpa percampuran dan di luar segala sesuatu tanpa perpisahan.”[25] Dan di tempat lain, beliau berkata, “Dia bersama setiap sesuatu tanpa perpisahan dan bukan setiap sesuatu tanpa penghilangan.”
Simbol Wahdah Al-Wujûd
Menurut pengakuan Ibn ‘Arabi tentang wahdah al-wujûd, dalam ungkapan dan ucapan urafa muncul sejenis retorika (manthiq) yang dikenal dengan huwa lâ huwa. Artinya, ada sebagian hukum yang pada lahiriahnya tidak harmoni dengan sebagian yang lain atau bertolak belakang dalm hal-hal yng berkaitan dengan Al-Haqq dan makhluk. Di antaranya sebagai berikut.
“Alam adalah khayalan dan kebenaran pada saat yang sama.”
“Al-Haqq adalah makhluk dalam satu hal, dan bukan makhluk dalam hal lain.”
“Allah Swt. adalah segala sesuatu dan juga bukan segala sesuatu.”
“Allah Swt. adalah munazzah dan musyabbah.”
“Allah Swt. bersama alam semesta tetapi alam semesta tidak bersama-Nya.”
“Allah Swt. tampak (zhâhir) dan sekaligus tersembunyi (bâthin) dalam setiap sesuatu.”
Namun, dengan menjelaskan apa yang telah kami sebutkan, dan akan dikemukakan dalam pembahasan tentang manifestasi, akan menjadi jelas bagi kita bahwa makna ungkapan-ungkapan tersebut satu persatu. Ibn ‘Arabi menganggap bahwa jalan mistis yang paling dalam adalah memahami butir ini, yaitu bahwa alam ini adalah khayalan dan pada saat yang sama adalah kebenaran:
“Alam ini hanyalah khayalan dan juga kebenaran dalam hakikat. Setiap orang yang mengetahui hal ini, ia memperoleh rahasia-rahasia jalan itu.”[26]
Ibn ‘Arabi menggunakan term-term dan istilah-istilah seperti al-ru’yâ al-shâdiqah (mimpi yang benar), al-shuwar al-mir’âwiyyah (gambar-gambar cermin), “hubungan satu dengan bilangan”, dan “hubungan bayangan dan individu” ketika menjelaskan “alam khayal” dengan menganggapnya sebagai suatu manifestasi bagi Al-Haqq. Untuk mengetahui masalah ini lebih jelas, kami akan menyinggung beberapa hal tersebut, sebagai berikut.
1. Simbolisme mimpi dan penafsirannya: Ibn ‘Arabi meyakini bahwa alam bukan wujûd melainkan sesuatu yang diilusikan sehingga bisa disebut khayalan, tetapi bukan sesuatu yang batil dan sia-sia. Bahkan, bersamanya satu tingkatan hakikat dapat direflesikan. Dengan bersandar pada hadis Nabi Saw., “Manusia tertidur. Tetapi ketika mereka mati, mereka bangun,” Ibn ‘Arabi berkata, “Dunia ini adalah mimpi, tetapi orang-orang biasa lalai terhadap hakikat ini. Kelalaian itu tiada lain adalah kelalaian dari substansi simbolik dari alam ini.”[27] Meskipun demikian, mimpi itu adalah mimpi yang benar, bukan mimpi bohong, sehingga dapat meraih hakikat suatu rumus melalui penafsiran dan penakwilan. Demikian halnya dengan mimpi. Kita harus menafsirkan mimpi itu dengan benar.
Ini dari satu sisi. Sementara itu, dari sisi lain, jika yang mutlak adalah hakikat Al-Haqq Swt., maka alam dan yang lainnya hanyalah khayalan dan ilusi. Tetapi ilusi ini adalah ilusi eksternal, bukan ilusi dalam pikiran (dzihnî). Dengan kata lain, selain yang mutlak hanyalah gambaran khusus dari manifestasi hakikat tersebut. Manifestasi ini dalam faktanya adalah rahasia alam makhluk, dimana alam ini digambarkan oleh seorang arif sebagai kumpulan yang penuh dengan rumus-rumus dan isyarat-isyarat. Atas dasar ini, walaupun ada kontradiksi formalisme antara mimpi dan terjaga, tetapi setiap sesuatu merupakan rumus. Menurut Ibn ‘Arabi, hadis tersebut mengajarkan jalan pemahaman dan penakwilan kepada kita, yaitu kematian. Ia mengatakannya sebagai kefanaan atau al-maut al-ikhtiyârî. Ia berkata, “Hal itu adalah dengan mengikuti timbangan bashîrah, melewati tingkatan-tingkatan mistis, dan perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, dimana seseorang memperoleh ungkapan yang lebih dalam dan lebih tepat tentang alam ini.”[28]
Ibn ‘Arabi menganggap bahwa mistisisme dan hikmah-nya sebagai penjelasan teoretis terhadap alam wujûd seperti tampak pada seseorang yang bangun dari tidur (arif) dan manusia paripurna atau insan kamil (yaitu mimpi Ilahiah dan pandangan yang tinggi terhadap alam ini).
2. Memformulasikan gambaran dalam cermin: Menurut Ibn ‘Arabi, cermin merupakan simbol paling utama yang dapat digunakan untuk menunjukkan al-wahdah al-syakhshiyyah bagi wujûd, dan juga manifestasi-manifestasi Ilahi dan hubungannya dengan alam ini. Hal itu karena cermin (gambar dalam cermin), walaupun ril, tidak memiliki bagian sedikit pun dari realitas. Gambar dalam cermin hanyalah suatu esensi bagi kemunculan (manifestasi), sehingga kita tidak dapat membayangkan bahwa gambar itu bersatu dengan cermin atau menitis ke dalam cermin. Dengan kata lain, gambar itu muncul pada cermin tanpa memiliki eksistensi ril apapun, baik pada cermin maupun pada ruang antara cermin dan orang yang melihatnya. Oleh karena itu, cermin tidak memiliki objektivitas apapun selain tidak dapat dilihat dalam kapasitasnya sebagai cermin.
Ibn ‘Arabi berkata, “Sekiranya kamu berusaha untuk melihat fisik cermin dan kamu melihat gambar maujud yang tampak padanya, maka kamu tidak akan dapat melakukan hal itu, karena gambar-gambar itu akan menghalangi antara mata orang yang melihat dan cermin.”[29] (Ini adalah isyarat yang menunjukkan kefanaan seluruh alam ketika melihat makna, yaitu manifestasi Ilahi). Al-Syabastari telah mengungkapkan hal itu alam dîwân-nya, Ghulsyan-i Râz.[30] Silakan merujuk ke sana.
3. Pembandingan satu dan bilangan: Berkali-kali, Ibn ‘Arabi menekankan persamaan antara hubungan Al-Haqq dan makhluk dengan hubungan antara satu dan bilangan.[31] Dalam hal ini, kita harus tahu bahwa “satu” memiliki dua jenis:
a. Kesatuan bilangan: bilangan itu satu terhadap bilangan-bilangan yang lain dan dalam ekuivalennya.
b. Kesatuan hakiki: dalam hal ini, bilangan itu satu, yaitu ia sendiri dan tidak bisa diulangi, dan dapat ditemukan bilangan-bilangan yang berbeda hingga tidak terbatas tanpa kehilangan tempat atau kedudukannya. Dalam hal ini, bilangan-bilangan itu hanya akan menjadi bentuk perkalian dari satu itu sendiri.
Kedua jenis “satu” tersebut direpresentasikan dalam satu hakikat. Dalam dimensi ini, satu adalah contoh dari wujûd Al-Haqq. Hal itu di satu sisi, dan di sisi lain, Al-Haqq kekal dalam martabat al-huwiyyah al-ghaibah. Melalui kemunculan dan menifestasi-Nya, berbagai tingkatan tercipta. Dalam bentuk tamsil, setiap satu tingkatan itu merupakan kemunculan Yang Satu dari segi sepesifiksi, dan selain konsep khusus.
Al-Syabastari memiliki beberapa bait syair tentang tema ini. Silakan merujuk ke sana.[32]
Selanjutnya, ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya dalam bentuk metafora, rumus dan tamsil:
a. hubungan antara laut dan gelombang atau laut dan fenomena-fenomena airnya yang lain, seperti uap, salju dan awan.
b. penggunaan kejatuhan cahaya pada kaca dan kemunculan berbagai jenis khayalan untuk mengumpamakan unitas dan pluralitas.
c. Hubungan bayangan dan pemilik bayangan.
d. Kemunculan alif dalam bentuk huruf, atau jiwa (nafs) dalam berbagai ucapan.
e. Hubungan jiwa dengan raga.
Pembuktian Wahdah Al-Wujûd
Keyakinan urafa pada wahdah al-wujûd muncul melalui penyingkapan-batin (kasyf) dan penglihatan-batin (syuhûd). Artinya, menyaksikan sesuatu yang terikat, melihat cahaya dalam semua manifestasi, melihat cahaya wajah Al-Sâqî (Sang Pembawa cawan) dalam semua gambar dan lukisan, menyingkap Yang Satu dalam semua pluralitas, menyaksikan sejenis keindahan dalam berbagai cermin, dan melihat yang mutlak di dalam segala yang terikat (muqayyadât) dan yang diungkapkan oleh urafa dengan berbagai bentuk, semua itu merupakan faktor utama yang mendorong perpindahan urafa ke fase wahdah al-wujûd.
Ibn ‘Arabi berkata, “Barangsiapa yang mata-batinnya dibuka oleh Allah, ia akan melihat Dia dalam setiap sesuatu, atau bahkan setiap sesuatu itu sendiri.”[33] Demikian pula, “Kita dapat melihat Al-Haqq dalam bentuk dan hakikat setiap sesuatu dengan perantaraan cahaya-cahaya.” Barangsiapa yang sampai kepada Al-Haqq dengan penyingkapan-batin, ilmu, dan penglihatan ini, ia termasuk orang-orang yang mendapatkan kekhususan (ahli al-ikhtishâsh).[34] Tentu saja, tingkatan syuhûd urafa berbeda-beda. Pada pasal sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabi memandang bahwa penyaksian-batin (syuhûd) ahl jam‘ al-jam‘ (pemilik kesatuan dari kesatuan) lebih tinggi daripada syuhûd ahl al-jam‘ (pemilik kesatuan) dan ahl al-firaq (pemilik keterpisahan). [35]
Setelah itu, urafa menisbahkan penakwilan dan makna batin ayat-ayat Al-Quran serta isyarat-isyarat hadis pada masalah ini. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Hadîd [57]: 3)[36]
2. Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu (QS Al-Furqân [25]: 45)[37]
3. Setiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah (QS Al-Qashash [28]: 88)[38]
4. maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS Al-Baqarah [2]: 115)[39]
5. dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al-Anfâl [8]: 17)[40]
Sekarang, kita menghadapi pertanyaan: apakah akal—sebagaimana syuhûd dan naql—memiliki media (wasîlah) yang dapat mengantarkan pada pemahaman tentang wahdah al-wujûd? Ibn ‘Arabi meyakini bahwa tidak mustahil bagi akal untuk sampai masalah-masalah seperti ini. Beberapa sebabnya sebagai berikut.
1. Bangunan pemikiran akal berdiri di atas landasan konsep-konsep (mafâhîm) dan esensi-esensi (mâhiyyât), dan keduanya merupakan asal pluralitas, bukan unitas.
2. Pengetahuan yang diperoleh dengan akal adalah pengetahuan negatif, sehingga ia tidak mampu memiliki konsepsi positif tentang kebenaran.
3. Akal dan argumentasi rasional meyakini prinsip bahwa tidak mustahil dua hal yang kontradiksi dan berlawanan bertemu atau dihilangkan kedua-duanya, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui syuhûd (setidaknya dalam beberapa hal) didasarkan pada kemungkinan bertemunya dua hal yang berlawanan dan kemunculan dua hukum dari satu perkara tertentu: yang satu positif dan yang lain negatif dalam waktu yang bersamaan, seperti keidentikan nama-nama Al-Haqq keberlainannya berkaitan dengan Al-Haqq, atau penisbahan tindakan dan ketiadaannya kepada hamba pada saat yang bersamaan. Demikian pula penisbahan tindakan kepada Allah Swt. dan kepada hamba sekaligus, atau penegasan dan penegasian sifat-sifat Al-Haqq.
Dengan bersandar pada ucapan Abu Sa‘id Al-Kharraj yang berkata, “Aku mengenal Allah dengan penyatuan-Nya antara dua hal yang berlawanan,”[41] Ibn ‘Arabi berkata, “Sang arif adalah orang yang mengaktualisasikan dirinya dengan Al-Haqq, sehingga dengan hatinya, ia merasakan bahwa Allah menyatukan antara dua hal yang berlawanan.”[42]
Ibn ‘Arabi meyakini bahwa landasan mistisisme dan perkara Ilahi tegak di atas term: Huwa lâ Huwa (Dia, bukan Dia). Ia berkata, “Barangsiapa yang belum memperoleh hal tersebut dalam bentuk seperti ini, maka ia tidak akan menerima perkara Ilahi sama sekali. Ini adalah bahasa wahyu yang berkata, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al-Anfâl [8]: 17). Dari sini, kami katakan bahwa akal dan kajian teoretis tidak mungkin sampai pada sesuatu apapun.”[43]
Adapun contoh kedua dalam hal ini adalah hakikat yang muncul adalah bahwa Dia yang menerangi segala sesuatu (Nûr Al-Anwâr: cahaya dari segala cahaya) dan Yang Mahazahir yang merupakan Sumber segala cahaya yang Zat-Nya tetap tersembunyi, bukan terang. Kegelapan murni yang mendahului setiap manifestasi ini adalah maqam Dzât, yang dalam maqam syuhûd disebut Nûr Al-Aswâd (tersembunyi karena terlalu terang).
Atas dasar ini, Ibn ‘Arabi menemukan dirinya sendiri berada di tempat yang berseberangan dengan filsafat yang menegakkan asas-asasnya di atas prinsip Huwa Huwa (Dia adalah Dia), melandaskan rasionalitasnya pada ide penafian kontradiksi, dan mencurahkan tenaga untuk menghilangkan kebingungan karena keyakinan bahwa “Al-Haqq adalah makhluk” dan “Al-Haqq bukan makhluk” pada saat yang bersamaan. Inilah keyakinan yang diingkari dan tidak berguna bagi filosof. Di samping itu, kesimpulan-kesimpulan akal didasarkan pada kaidah kausalitas (‘illiyyah), sedangkan kaidah itu di pentas hakikat adalah kesatuan sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl).[44] Oleh karena itu, dan karena akal adalah ikatan (‘iqâl), ia terikat dan sekaligus mengikat, sedangkan hati yang ditandai dengan perubahan dan bolak-balik, tidak terikat dengan sesuatu tertentu. Dengan demikian, hati selalu mampu sampai pada sesuatu di balik bingkai akal.[45]
Adapun para pengikut Ibn ‘Arabi, di antaranya adalah Sha’inuddin bin Turkah, Sayid Haidar Al-Amuli, Al-Qaishari, dan Jami‘, berusaha untuk mengompromikan antara mistisisme (syuhûd) dan dan burhân (akal) dengan keyakinan bahwa wahdah al-wujûd dapat dipahami dengan cara-cara yang rasional dan argumentasi melalui beberapa dalil. Mereka menulis banyak risalah yang khusus mengkaji masalah ini dan sebagian besar didukung dengan bukti-bukti demonstratif (burhân). Namun, sebagian besar dalil itu tidak luput dari kelemahan dalam retorika dan kekeliruan di antara kajian-kajian rasional.[46]
Namun, Shadr Al-Muta’allihin—berdasarkan prinsip-prinsip hikmah yang diyakininya—masuk ke dalam masalah ini dan memberikan argumentasi dengan dua cara yang berbeda atas apa yang secara lahiriah diyakini sebagai tidak logis atau bertolak belakang dengan akal. Shadr Al-Muta’allihin termasuk orang-orang yang meyakini bahwa walaupun akal biasa tidak mampu mengetahui masalah ini, tetapi akal transenden dan yang dicerahi cahaya penyingkapan-batin dapat memahami rahasia yang agung itu dan menunaikan hak terhadap objek ini tanpa menjadikan makna yang luhur ini terikat dengan konsep-konsep biasa yang sempit. Pada bab wahdah al-wujûd, Mulla Shadra menunjukkan dengan jelas bahwa pengetahuannya terhadap kenisbian mumkin dan kebinasaan abadi bagi entitas-entitas yang tidak hakiki (majâzî). Termasuk dari akar ilmu ladunni adalah keutamaan dan rahmat yang bersifat Ilahi. Semua itu merupakan penyebab yang menuntunnya pada burhân ‘Arsyî terhadap al-wahdah al-syakhshiyyah bagi wujûd. Adapun pengetahuan tentang hakikat wujûd yang komprehensif hanya dimiliki oleh orang-orang yang diteguhkan dalam ilmu (al-râsikhûna fî al-‘ilm).[47]
Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dua burhân yang dikemukakan Mulla Shadra, pada burhân pertama, ia menunjukkan keabadian atau ketidakterbatasan wujûd Al-Haqq, dan pada burhân kedua, ia menyinggung tentang mengembalikan hubungan kausalitas (‘illiyyah) pada manifestasi. Burhân pertama akan kami bahas di sini, sedangkan burhân kedua akan dibahas ketika membahas tajallî (manifestasi).
Ringkasnya, berkaitan dengan burhân pertama, yaitu yang abadi dan tidak terbatas: sebagaimana tetap dalam burhan para shiddîqîn, wujûd Al-Haqq Swt. tidak terbatas dan hakikat yang tidak terbagi. Wujûd yang tidak terbatas itu tidak menyisakan satu kesempatan pun untuk wujûd yang lain, baik dalam lebar maupun dalam panjang. Jika tidak demikian, niscaya yang lain itu menjadi batasan terhadap wujûd yang tidak terbatas tersebut. Atas dasar ini, tidak ada wujûd yang lain selain wujûd Al-Haqq yang tidak terbatas itu. Untuk menjelaskan masalah ini, kami katakan bahwa keberbilangan dan pertambahan merupakan salah satu tanda dan cabang dari keterbatasan, dan bahwa sesuatu yang lain itu terbatas yang tidak bisa menerima dualitas atau pengulangan. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi yang lain, menurut burhân ini, setiap kesempurnaan terpisah dari hakikat yang tidak terbagi walaupun tidak terbatas dengan suatu kesempurnaan apapun (ketidakterbagian hakikat adalah segala sesuatu, tetapi sesuatu bukan darinya).
Berdasarkan hal ini, karena Al-Haqq Swt. (Wâjib Wujûd, hakikat yang tidak terbagi) adalah wujûd abadi yang tidak terbatas, dan bahwa yang tidak terbatas itu tidak menyisakan peluang bagi “yang lain”, maka wujûd Al-Haqq pun tidak menyisakan peluang apapun terhadap “yang lain”. Dengan demikian, wujûd hanya terbatas pada-Nya. Dalam burhân ini—sepeti ditunjukkan sendiri oleh Mulla Shadra—menyebut “hakikat tidak terbagi” terhadap sesuatu karena serupa dengan predikasi (haml) dzû huwa atau predikasi al-haqîqah wa al-raqîqah akan menjadi harmoni dengan tasykîk al-wujûd. Adapun jika penyebutan dengan predikasi huwa huwa atau predikasi al-zhâhir ‘alâ al-mazhhar, yaitu menganggap suatu kesempurnaan bagi-Nya dan bahwa tidak ada wujûd bagi kesempurnaan apapun selain kesempurnaan-Nya, maka hal itu akan membawa kita pada al-wahdah al-syakhshiyyah li wujûd. Mulla Shadra menyandarkan makna kedua pada burhân ini.[48] Kandungan burhân tersebut dapat dilihat dalam karya-karya syair Fariduddin ‘Aththar dan Jalaluddin Al-Rumi hingga sebelum Mulla Shadra. Siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh, silakan merujuk apda dîwân mereka.
Tajallî
Setelah membuktikan masalah wahdah al-wujûd, dan untuk menghilangkan kontradiksi antara pandangan pluralitas—di satu sisi—dan pembatasan wujûd pada Al-Haqq Swt.—di sisi lain—kita menghadapi salah satu dari dua hal, yaitu pertama, menganggap masalah unitas (wahdah) sebagai masalah yang tidak logis dan bertolak belakang serta tidak bisa dianalisis secara rasional, dan kedua, pluralitas (katsrât) dan mumkinât hanya khayalan dan ilusi belaka. Kemudian, diakui bahwa pengetahuan kita bukan jahl murakkab. Atau, kita mundur sedikit dan menisbahkan wahdah al-wujûd pada kesatuan penyaksian-batin (wahdah al-syuhûd) dan membatasi pada itu saja.[49] Atau—setidaknya—kami kemukakan teori lain untuk menegaskan wahdah al-wujûd dan menunjukkan pluralitas bahwa ia merupakan hal-hal yang nisbi dan mengembalikan hal itu pada satu wujûd milik Al-Haqq. Selanjutnya, dibuktikan suatu jenis keberbilangan pada saat yang sama ketika kamu menegasikan keberlainan (ghairiyyah) dan pluralitas (katsrah) darinya.
Ibn ‘Arabi memiliki cara terakhir tanpa menggunakan istilah tajallî (dalam arti khusus). Sebab, dengan bersandar pada pengalaman-pengalaman mistisnya dalam “menyaksikan manifestsi-manifestasi Al-Haqq pada selain-Nya” menunjukkan unitas, bahwa ia merupakan penjelasan sifat wujûd dan menunjukkan pluralitas bahwa ia merupakan penjelasan sifat syuhûd. Atas dasar ini, Ibn ‘Arabi tidak memandang ilmu sebagai jahl murakkab dan alam sebagai kebatilan dan khayalan semata. Selain itu, ia tidak menisbahkan eksistensi apapun dari alam pada kemutlakan.
Sebagian peneliti melihat bahwa tajallî memainkan peranan asasi dalam kristal pandangan Ibn ‘Arabi, dan bahwa ia merupakan sumber semua pandangan dan pemikirannya yang berkaitan dengan bangunan eksistensi alam ini, dimana sulit memahami bagian mana pun dari bagian-bagian pandangannya yang komprehensif tanpa bantuan konsep yang asasi ini. Ringkasnya, dapat kita katakan bahwa teori tajallî merupakan saripati dan pilar filsafat Ibn ‘Arabi.[50]
Berbeda dengan teori wahdah al-wujûd yang tidak digunakan oleh Ibn ‘Arabi dalam buku-bukunya, kecuali berupa isyarat ringkas, masalah tajallî baginya mengambil langkah dan kedudukan yang tinggi, dimana ia menyinggung dengan jelas berbagai dimensinya dalam setiap baris dalam bukunya. Jarang kita temukan ia memiliki penjelasan yang tidak menunjukkan istilah ini, dan kadang-kadang kita melihatnya lupa menyinggung masalah ini. Pada beberapa pasal dalam buku ini, kita akan melihat bagaimana para pengikut mazhab Ibn ‘Arabi membahas tema pluralitas (katsrah) menurut tiga poros berikut sambil bersandar pada teori tajallî. Tiga poros itu adalah sebagai berikut.
1. Al-Katsrah al-ismiyyah wa al-shifâtiyyah (pluralitas nama dan sifat), yaitu hasil dari tajallî dan kemunculan Zat pada Zat.
2. Pluralitas yang dihasilkan dalam entitas-entitas yang teguh (al-a‘yân al-tsâbitah) sebagai hasil dari al-tajallî al-aqdas.
3. Pluralitas entitas-entitas eksternal (a‘yân al-khârij) dan keberbilangan makhluk, yaitu hasil dari al-tajallî al-muqaddas.
Konsep Tajallî
Yang dimaksud dengan tajallî adalah kemunculan Zat Mutlak Al-Haqq dan kesempurnaan-kesempurnaannya setelah entifikasinya dengan determinasi-determinasi (dzâtiyyah, asmâ’iyyah atau af‘âliyyah)-nya atau yang lainnya dimana tidak mesti menyebabkan adanya kontradiksi, alinasi, inkarnasi atau unifikasi.[51]
Dengan kata lain, tajallî merupakan metode yang memungkinkan bagi Zat Al-Haqq—tidak diketahui dalam esensinya secara mutlak—tecermin dalam hal-hal yang terikat (muqayyadât) dan pluralitas (katsrât). Atas dasar ini, seperti telah kami kemukakan sebelum ini, teori tajallî dianggap sebagai penyempurna teori wahdah al-wujûd dan bertanggung jawab untuk menjelaskan pluralitas entitas yang disaksikan setelah ada keyakinan pada wahdah al-wujûd murni.
Keyakinan ini—dalam dimensi yang berkaitan dengan hubungan Allah Swt. dengan alam semesta—tidak sejalan dengan penciptaan yang berkaitan dengan waktu (penciptaan dari ketiadaan yang diklaim oleh para mutakallim). Hal itu karena penciptaan dari ketiadaan menyebabkan kontradiksi eksistensi Allah Swt. dan alam, di satu sisi, dan demikian pula melewati perjalanan penciptaan, di sisi lain. Keyakinan ini tidak sejalan dengan dua istilah filsafat, kausalitas (‘illiyyah) dan emanasi (faidh)[52] yang didasarkan pada prinsip dualitas (wujûdiyyah [ontologi] atau tasykîkiyyah) antara sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl). Ia tidak sejalan dengan prinsip inkarnasi (hulûl), unifikasi (ittihâd) dan wahdah al-wujûd yang didasarkan pada aktualisasi dua benda yang masing-masing bercampur dengan yang lain, atau kedua-duanya lebur ke dalam satu hal. Ia juga tidak sejalan dengan prinsip reinkarnasi (tanâsukh) dan materialisasi (tajassud) yang dikemukakan sebagian kelompok dan mazhab, dan yang meyakini inkarnasi eksistensi sesuatu yang berada di luar batasan waktu dan materi dalam materi dan sejarah dalam fase tertentu, dan yang pada akhirnya membawa pada keserupaan (tasybîh) dan penubuhan (tajsîm).
Kebalikan dari teori-teori kausalitas (‘illiyyah), kemunculan (shudûr),[53] penciptaan dari ketiadaan yang berkaitan dengan waktu,[54] inkarnasi, dan unifikasi.[55] Ibn ‘Arabi mengajukan istilah tajallî agar menjadi sentral tempat berporos seluruh metode pemikirannya.
Adapun istilah-istilah yang serupa atau berhubungan dengan tema tajallî dalam mistisisme teoretis adalah izhhâr, zhuhûr, tasya’’un, nisbah, isyrâq, ifâdhah, amr, idhâfah, faidh, dan lain-lain. Dengan demikian, semua itu merupakan kebalikan dari istilah-istilah lain, seperti buthûn, khafâ’, istitâr, tajâfâ, hijâb, dan ghithâ’.
Seperti telah dikemukakan tadi, rumus yang ditetapkan oleh Ibn ‘Arabi bagi tajallî diumpamakan dengan cermin (gambaran cermin atau hubungan cermin) dan yang merupakan perkara hakiki dan sejati tersingkap pada perkara metafora dan insidental tanpa membutuhkan inkarnasi, unfikasi, atau alinasi.[56]
Pembuktian Tajallî
Ibn ‘Arabi meyakini bahwa kemunculan tajallî Al-Haqq termasuk ilmu-ilmu dzauq (bukan iktisâbî dan bukan pula istidlâlî), bahwa pengetahuan tentang manifestasi-manifestasi Ilahi hanyalah satu bagian dari ilmu-ilmu tentang segala rahasia (‘ulûm al-asrâr) yang khusus dimiliki oleh urafa,[57] dan bahwa asas-asas dalam memilih istilah tajallî untuk menggantikan kausalitas (‘illiyyah) dalam filsafat, pada tingkat pertama, berpulang pada pandangan cahaya-cahaya Ilahi di semua penjuru alam,[58] sebagaimana sandaran-sandaran naql merupakan sumber yang cocok bagi urafa untuk mencari istilah tersebut. Ini, terutama ayat 35 dalam Surah Al-Nûr[59] dan beberapa ayat Al-Quran, seperti: Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan (QS Al-A‘râf [7]: 143), dan yang menunjukkan kemunculan khusus Sang Pencipta di atas Gunung Thursina dan goncangan gunung itu yang menyebabkan Musa as. tersungkur pingsan, hingga banyak uapan Imam ‘Ali as. dalam Nahj Al-Balâghah[60] dan beberapa ucapan lain yang semuanya menunjukkan tema ini.
Walaupun pembuktian tajallî merupakan perkara yang berkaitan dengan penyaksian-batin (syuhûd) menurut pandangan Ibn ‘Arabi[61] yan tidak menyusahkan diri dalam mengemukakan dalil terhadap hal itu,[62] tetapi para pengikutnya berusaha untuk memberikan penafsiran rasional bagi tajallî sebagaimana halnya dengan tema wahdah al-wujûd. Tampaknya, Shadr Al-Muta’allihin[63] adalah satu-satunya orang yang diberi taufik terhadap hal itu di antara semua pengikutnya. Hal itu terlihat dalam pembahasan-pembahasan tentang kausalitas yang disinggungnya dalam bukunya yang terkenal, Al-Asfâr.
Berdasarkan metode-metode yang ditempuh oleh Mulla Shadra, dimana ia mengkaji tema-tema itu berdasarkan hal-hal yang sudah dikenal dan masyhur. Lalu pada akhir pembahasan, ia mengajukan metodenya yang khusus berkenaan dengannya secara terpisah untuk mengajukan teorinya dalam tema ini. Oleh karena itu, kita melihat dia membahas kausalitas dalam Al-Asfâr dengan dimulai dari konsep yang umum dri kausalitas (‘illiyyah) dan berdasarkan al-tasykîk al-wujûdî antara al-‘illiyyah al-îjâdiyyah, di satu sisi, dan akibat (ma‘lûl), di sisi lain.
Apa yang ditawarkan filsafat berkisar pada masalah hubungan antara sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl) yang diumpamakan dalam “sebab menciptakan akibat” (yakni, yang memberinya eksistensi). Tampaknya, asumsi itu mengatakan berlakunya “sesuatu adalah pemberian sesuatu, yaitu eksistensi, pada sesuatu yang lain. Jadi, ada pemberi (mânih), penerima (mamnûh) dan yang diberikan (minhah). Dari proses ini dihasilkan hubungan antara pemberi dan penerima, seperi hubungan-hubungan lain yang terjadi di atnara dua benda. Tetapi berdasarkan analisis ontologis menurut Mulla Shadra tentang masalah kausalitas, ia berkata, “Pertama, hubungan sebab dan akibat adalah dari hubungan illuminisme (idhâfah isyrâqiyyah), yakni hubungan yang menjadi satu sisi dengan sendirinya dan bukan yang bersandar pada dua sisi yang sebagiannya terpisah dari sebagian yang lain (yaitu adanya satu sisi sejati). Kedua, makna akibat (ma‘lûl) dinisbahkan pada adanya pengikat (râbith), bukan pada eksistensi yang sinisbahkan pada sebab (‘illah), tetapi eksistensi yang merepresentasikan hubungan ikatan (ribth) dan keterkaitan dengan sebab (‘illah). Ketiga, sebagaimana kriteria kebutuhan pada ‘illah dan bukan yang dibutuhkan esensinya. Jadi, pemilik akibat (ma‘lûl) adalah kebutuhan itu sendiri. Atas dasar ini, tidak ada esensi bagi akibat di sini, dan ia sendiri tidak memiliki eksistensi dan hukum apapun. Apa yang kami sebut esensi akibat tiada lain adalah esensi (dzât) dalam definisi. Sementara itu, di luar, ia tidak berbeda dengan sebab (‘illah), karena ia luput dari sifat ‘illah. Karena yang tampak (zhâhir) adalah manifestasi (mazhhar) Wajah-Nya (kaidah penyatuan zhâhir dan mazhhar), maka burhân ini juga membawa kita pada wahdah syakhshiyyah dari wujûd.
Kita dpat melihat bahwa eksistensi ikatan pada akibat, menurut Mulla Shadra, merupakan al-wujûd al-harfî, bandingkan dengan makna harfî yang merupakan lawan dari makna ismî. Selanjutnya, segala sesuatu bukan wâjib, baik dalam lebar maupun dalam panjang. Segala sesuatu itu bukan di dalamnya dan bukan pula di luarnya. Oleh karena itu, pada akhir pembahasannya, Mulla Shadra menjelaskan:
“Maka terlepas apa yang yang kami asalkan dari kriteria dalam kapastias sesuatu sebagai sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl), dan bahwa di dalam wujûd tidak ada sebab dan akibat menurut pandangan yang mulia. Akhir perkara itu menurut sulûk ‘irfânî telah menyebabkan keberadaan ‘illah dari keduanya sebagai perkara hakiki dan ma‘lûl sebagai salah satu sisinya. Saya telah mengembalikan apa yang dinamakan dengan ‘illah dan pengaruhnya terhadap ma‘lûl pada perkembangannya dengan suatu tingkatan dimana sesuatu yang bertolak belakang tidak terpisah darinya.”[64]
Dua Keraguan Seputar Wahdah Al-Wujûd dan Tajallî
Telah muncul banyak keraguan terhadap kajian-kajian tentang wahdah al-wujûd, tajallî dan zhuhûr, pembatasan wujûd pada Al-Haqq semata, dan kenisbian dan ketidakhakikian selain Al-Haqq. Berikut ini akan kami tunjukkan dua keraguan saja yang utama.
1. Penisbahan kekurangan kepada Al-Haqq: Hal itu adalah melalui anggapan segala sesuatu sebagai manifestasi Al-Haqq. Menurut asa kaidah penyatuan zhâhir dan mazhhar, dan sebagaimana disebutkan dalam ucapan Ibn ‘Arabi seperti “Mahasuci Dia yang menampakkan segala sesuatu dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” atau beberapa ucapan ekstatik, dan demikian pula penisbahan sifat-sifat mumkinât kepada Al-Haqq Swt. sehingga mendapatkan sifat-sifat kekurangan dan sifat-sifat imkâniyyah, berntentangan dengan akal dan naql.
Jawab: penjelasan sifat alam dalam mistisisme bahwa ia adalah manifestasi keindahan dan keagungan Al-Haqq tidak berarti bahwa Zat Al-Haqq Swt. disifati dengan semua sifat segala sesuatu. Tetapi itu berarti bahwa Dia adalah Agent (Fâ‘il) dan Yang Memanifestasikannya (Muzhhir) sebagaimana halnya dengan nafs yang merupakan asal kejadian alam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa ia disifati dengan karakteristisk-karakteristik tersebut. Perlu ditunjukkan bahwa apa yang menyatu dengan segala sesuatu hanyalah manifestasi Al-Haqq, bukan Zat-Nya.[65] Sementara itu, apa yang kita lihat pada msitisisme Ibn ‘Arabi yang kadang-kadang menganggap Al-Haqq dan makhluk (khalq) satu nama dan kadang-kadang dua nama yang berbeda. Hal itu kembali pada apa yang dimaksud dengan Al-Haqq dalam pembahaan ‘ainiyyah. Itu semata-mata adalah haqq al-makhlûq (wujûd tak terbagi atau nafs al-rahmânî). Adapun ketika keduanya berbeda dalam pembahasan keberlainan (ghairiyyah), maka yang dimaksud dengan Al-Haqq adalah Zat Yang Esa yang disucikan dari makhluk, karena Zat itu tidak tampak baik dalam penyaksian sang arif maupun dalam pikiran sang hakîm sehingga dapat dianggap attribute segala sesuatu. Jadi, tindakan Al-Haqq (Al-Nafs Al-Rahmânî) dan manifestasi-Nya yang menyatu dengan segala sesuatu dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri, ke-Dia-an-Nya berbeda dengan kediaan sesuatu yang lain, walaupun ditandai dengan determinasi apapun, dengan tetap menjaga kemutlakannya. Atas dasar ini, keraguan ini benar bila ditujukan pada teori unifikasi dan inkarnasi, bukan pada pendapat tentang wahdah al-wujûd.
Jalaluddin Al-Rumi telah menjelaskan manifestasi Al-Haqq dengan cahaya matahari atau cahaya bulan yang menerangi segala sesuatu, baik yang rendah maupun yang mulia. Namun, Dia tidak memiliki sifat seperti sifat sesuatu itu dan tidak dibatasi dengannya, tetapi terpelihara ke-Dia-an-Nya. Dan pada akhirnya, matahari itu terbenam dan cahayanya kembali ke asalnya dalam keadaan suci, bersih dan murni dari segala kotoran dan kerendahan.[66]
2. Menghilangkan dua hal yang berlawanan (irtifâ‘ al-naqîdhain). Artinya, jika tidak ada batasan yang memisahkan antara eksistensi (wujûd) dan ketiadaan (‘adam), maka hal itu berarti wajib menyifati zhuhûr dengan salah satu dari dua sifat itu. Karena Dia bukan ketiadaan, maka Dia adalah wujûd. Akibatnya, pluralitas manifestasi kembali pada pluralitas eksistensi, dan hal ini tidak sesuai dengan wahdah syakhshiyyah bagi wujûd.
Jawab: hukum atas sesuatu (bisa dihukumi dengan eksistensi atau ketiadaan) bergantung pada kemandirian sesuatu ini. Namun, sebagaimana makna literal tidak menjadi objek hukum atau attribute, demikian pula halnya dengan pluralitas alam dimana tidak mungkin melihatnya dengan pandangan kebebasan dan menetapkan hukum baginya yang berkenaan dengan apakah ada atau tidak,[67] tetapi dapat dianggap sebagai determinasi-determinasi tindakan Al-Haqq dan manifestasi-manifestasi Ilahi saja. Demikian halnya dengan ciptaan-ciptaan jiwa (nafs) dan segala hal yang berasal darinya, seperti khayalan-khayalan seseorang yang tidak dianggap bukan jiwa dan bukan pula entitasnya, tetapi merupakan salah satu bagian jiwa yang tidak terpisah darinya. Atas dasar ini, pembagian yang dibuat oleh urafa dan yang menyangkut eksistensi (wujûd), zhuhûr dan ketiadaan (‘adam). Ketiadaan adalah salah satu sisi, sedangkan wujûd dan manifestasinya berada di sisi yang lain. Artinya, keberadaan manifestasi tidak kembali menjadi sifat dan tidak memiliki peran atau tindakan dan determinasi apapun dari adanya makna dan ketiadaan, sebagaimana halnya dengan gambar pada cermin, bayangan atau gelombang yang tidak mungkin dianggap sebagai ketiadaan murni (karena tidak ada eksistensi pluralitas dalam ketiadaan) dan tidak pula ada eksistensi bagi pemilik gambar, pemilik bayangan, cahaya, laut, dan sebagain
[1] Para pengikut Ibn ‘Arabi dikenal dengan sebutan kaum Wujûdiyyûn pada abad-abad pertengahan Islam di beberapa negeri di timur (seperti Malaysia) hingga barat (seperti Maroko). Mereka mendapatkan kritikan dan tuduhan dari sekelompok sufi yang membawa nama yang sama.
[2] Perlu ditunjukkan di sini bahwa mazhab yang menganut otentistias wujûd Mulla Shadra pun—sebagaimana ditunjukkan oleh Mulla Shadra sendiri—bersandar pada ilham dan penyingkapan-batin sebelum berubah menjadi mazhab rasional sehingga rasio menjadi asas dan landasan untuk menghasilkan konklusi logis dan didukung dalil. Mulla Shadruddin Muhammad Al-Syirazi berkata, “Saya sangat membela dia dalam pandangannya tentang wujûd dan otentisitas esensi hingga kemudian Tuhanku memberiku hidayah dan penyingkapan yang terang bahwa keadaan sebenarnya adalah hal yang sebaliknya…” (Al-Asfâr, jil. 1, hal. 49). Seputar hal ini, Izutsu berkata, “Perubahan asasi pada Mulla Shadra ini tidak terbatas pada perubahan dalam pandangan akal dan metodenya semata, tetapi ide tentang otentisitas wujûd menjadi seperti akidah filsafat yang mantap dan bersumber dari pengalaman individu yang didasarkan pada tingkat rasionalitas yang berbeda dari tingkat keyakinan sebelumnya. Itu merupakan teori filsafat yang mengakar dalam pengalaman mistis… Yaitu bahwa sang arif yang kehilangan kemampuan untuk berpikir analitik-rasional adalah arif yang tidak sempurna. Keadaannya benar-benar seperti filosof yang tidak sempurna yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan hakikat. Melalui pengalamannya dengan Wujûd Mutlak, Mulla Shadra mampu menggabungkan dua unsur kehidupan ruhaniah dalam satu kesatuan yang utuh.” (Al-Sabziwari, Asâs Al-Hikmah, hal. 76). Orang seperti ini disebut Dzî Al-Janâhain (pemilik dua sayap), yakni orang yang memiliki dua unsur: penyaksian-batin (syuhûd) dan analitik-rasional.
[3] Pada saat yang sama, harus juga dianggap bahwa hakikat eksistensi tidak jelas dan tidak ditemukan oleh orang biasa. Dengan kata lain, eksistensi tidak menampakkan hakikatnya kepada seseorang, kecuali jika pikirannya telah naik ke tingkatan “luar sadar” (mâ fauqa al-syu‘ûr). Agar pikiran seseorang dapat menyambut pancaran cahaya utama yang lewat dan tidak menetap pada hakikat eksistensi, pikiran itu harus ditransformasi dari tingkat kesadaran biasa dan wijdân ke tingkat luar wijdân dan pengetahuan. Transformasi pikiran tersebut telah dikenal dalam sebagian besar agama dengan pengalaman “menyaksikan Allah Swt.” atau “kesatuan mistis”, dan dikatakan bahwa dalam hal itu, seorang arif dan subjek manusia menyatu dengan mu‘arraf dan subjek Ilahi melalui cara tertentu. Cara tersebut tiada lain adalah syuhûd atau pengetahuan mistis. (Al-Sabziwari, Asâs Al-Hikmah, hal. 44).
[4] Dîwân Ghulsyan Râz, bait ke-83.
[5] Dîwân Ghulsyan Râz, bait ke-395.
[6] Silakan lihat Rasâ’il Al-Qaisharî: Risâlah Al-Tauhîd wa Al-Nubuwwah wa Al-Wilâyah, hal. 11; dan Syarh Al-Fushûsh, hal. 5.
[7] Silakan lihat Rasâ’il Al-Qaisharî: Risâlah Al-Tauhîd wa Al-Nubuwwah wa Al-Wilâyah, hal. 12; dan Syarh Al-Fushûsh, hal. 8.
[8] Dalam Insyâ’ Al-Dawâ’ir, ketika membahas dua pembagian ini, Ibn ‘Arabi menunjukkan wujûd ketiga yang tidak bisa dianggap sebagai “ada” dan tidak pula “ketiadaan” (batas entitas-entitas tidak bergerak [al-a‘yân al-tsâbitah])
[9] Al-Qaishari, Syarh Al-Fushûsh, mukadimah, hal. 10-11.
[10] Silakan lihat lampiran no. 2 dalam buku ini.
[11] Silakan lihat Risâlah Naqd Al-Nuqûd fî Ma‘rifah Al-Wujûd karya Sayid Haidar Al-Amuli; Rasâ’il Al-Qaisharî: Risâlah Al-Tauhîd wa Asâs Al-Wahdâniyyah; mukadimah Syarh Fushûsh Al-Hikam karya Sayid Jalaluddin Asytiyani; Al-Wujûd min Nâhiyah Al-Falsafiyyah wa Al-‘Irfâniyyah karya Ghulam Ridha A‘yani; dan Al-Hikmah wa Al-Fann Al-Ma‘nawî fî Al-Islâm.
[12] Untuk menambah informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaitan antara Wujûd dan Nûr dari satu sisi, dan kaitan filosofi Nûr menurut Al-Suhrawardi, dengan hikmah al-wujûd menurut Ibn ‘Arabi, silakan lihat lampiran no. 2 dalam buku ini.
[13] Silakan lihat Rasâ’il Al-Qaisharî: Risâlah Al-Tauhîd, hal. 11-12; Jâmi ‘Al-Asrâr, hal. 647; dan Mishbâh Al-Uns karya Ibn Finari, hal. 52-56.
[14] Silakan lihat Tahrîr Tamhîd Al-Qawâ‘id, hal. 722-738.
[15] Adapun yang berkaitan dengan konsep wujûd, jika berupa homonim atau sinonim, maka tida ada lagi perdebatan mengenai hal itu di tengah para filosof, urafa, dan mutakallimin. Padahal, keyakinan yang berlaku di tengah para filosof dan urafa adalah homonim bagi wujûd.
[16] Silakan lihat Rawwâd Al-Falsafah Al-Yûnâniyyah karya Syarafuddin Al-Khurasahani, hal. 276-286.
[17] Mereka yang berpendapat tentang otentisitas esensi (mâhiyyah) diklasifikasikan ke dalam kelompok yang berpendapat tentang pluralitas maujud dan perbedaan esensi (dzawât), karena mâhiyyât, menurut pendapat para filosof, merupakan asal dan sumber pluralitas dan keberbilangan. Maujud dibagi ke dalam dua konsep dan dua dimensi. Konsep pertama adalah yang dengannya terbentuk homonimi, yaitu wujûd, dan yang dengannya terbentuk pemisahan atau yang dengannya terbentuk diferensial.
[18] Adapun pendapat lain yang dikaji oleh para filosof dan mutakallim Muslim, dan yang dilontarkan oleh Allamah Dawani pada abad ke-9 dengan istilah dzauq al-ta’alluh, tetapi tidak mendapatkan sambutan ketika itu, didasarkan pada asumsi bahwa wujûd hanya terbatas pada Al-Haqq. Sementara itu, kemaujudan (al-maujûdiyyah) tidak demikian. Padahal, kemaujudan sesuatu yang lain hanya berarti penisbahan metafora (majâzî) pada wujûd. Ini berbeda dengan pendapat pertama yang mengatakan tentang pluralitas wujûd dan maujud, dan berbeda dengan pendapat kedua yang mengatakan tentang unitas wujûd dan maujud dalam pluralitas wujûd dan maujud. Berbeda dengan kedua pendapat ini, Allamah Dawani mengatakan tentang unitas dan wujûd di satu sisi (sisi Wâjib) dan pluralitas dan kemaujudan di sisi lain (sisi mumkin).
[19] Shadr Al-Muta’allihin menisbahkan pendapat ini kepada para sufi yang dungu (silakan lihat Kasr Al-Ashnâm Al-Jâhiliyyah). Ia berpendapat bahwa mereka telah mencampur-adukkan antara maqam lâ bi syarth al-qismî—emanasi umum Allah, yakni mereka tidak melihat dalam wujûd selain Allah dan emanasi-Nya—dan maqam dzât. Merekalah yang dikatakan oleh Haji Mulla Hadi Al-Sabziwari sebagai para propagandis unitas wujûd dan maujud. Arif yang bijak, Aqa Muhammad Ridha Qamsya’i, memandang pendapat mereka menyimpang dari indera, akal, aktivitas Al-Haqq, penghapus syaraiat-syariat dan agama-agama. Yang menjadi justifikasi bagi meeka adalah ucapannya, “Bisa saja mereka dikalahkan oleh perkara mereka disebabkan pemerintahan yang ada pada zaman mereka sehingga mereka tertabir dari menyaksikan pluraltias. Bisa juga hal itu merupakan hasil dari imajinasi merek dan infiltrasi setan yang menyebabkan mereka mengungkapkan tentang penyingkapan-batin dengan cara ini. (Hawâsyî Tamhîd Al-Qawâ‘id, hal. 31-40)
[20] Tetapi dinisbahkan kepada Ibn Sab‘in (w. 669 H/1271 M), yaitu salah seorang pendukung Ibn ‘Arabi; dan juga Ibn Taimiyyah (w. 728 H/1328 M), yaitu salah seorang penentangnya. (Silakan lihat William Chittic, Wahdah Al-Wujûd wa Tathawwurâtuhâ, dalam majalah Puzhûhesyghâr, edisi 11).
[21] Di antara ungkapan-ungkapan tersebut adalah: “bahwa Dia adalah sesuatu itu sendiri… Dia yang berada dalam apa yang dinamakan makhluk dan ciptaan… Dia adalah wujûd itu sendiri sehingga Dia adalah setiap sesuatu itu sendiri” (Fushûsh Al-Hikam, hal. 149); “dalam wujûd tidak ada yang ril selain Allah” (Fushûsh Al-Hikam, hal. 84 dan 90); “wujûd adalah Allah” (Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 363). Di samping itu, jika pemilik akal berkata, “Dalam setiap sesuatu Dia memiliki tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah Esa (tauhid umum),” maka pemilik tajallî menjawab, “Dalam setiap sesuatu Dia memiliki tanda yang menunjukkan bahwa Dia adalah sesuatu itu sendiri (tauhid khusus)” (Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 272). Dalam bukunya, Al-Masâ’il, Ibn ‘Arabi berkata, “Aku katakan—menurut penyingkapan-batin yang diberikan kepadanya—bahwa Allah telah ada dan tidak ada sesuatu pun bersama-Nya, dan sekarang Dia ada seperti ada-Nya dalam hukm” (Al-Masâ’il, masalah no. 3, hal. 5). Kalimat ini jelas menunjukkan penegasian maujud selain Al-Haqq. Adapun ungkapannya yang jelas dan yang mendapatkan kritikan dan kajian adalah: “Maka, Mahasuci Dia yang menampakkan segala sesuatudan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” (Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 459)
[22] Qamsya’i, dalam catatan pinggir buku Tamhîd Al-Qawâ‘id, hal. 39-40, berkata, “Segala sesuatu dalam pluralitas adalah satu sedangkan dalam unitas adalah banyak. Jika mau, kamu bisa mengatakan bahwa wujûd adalah satu dan tetapi banyak dengan unitas, unitas dan pluralitas yang hakiki, dan tidak ada pertentangan antara unitas dan pluralitasnya karena kamu tahu bahwa unitasnya mutlak… dan bahwa pluralitas adalah tingkatan-tingkatan unitas, dan tingkatan-tingkatan sesuatu adalah sesuatu itu sendiri.”
[23] Ucapan Ibn ‘Arabi ini menunjukkan dengan jelas pendapatnya tentang hubungan antara units dan wujûd. Ia berkata, “Manakala aku melihat wujûd dalam keserba-meliputan dan detail, maka aku menemukan penyatuan menyertainya, dan tidak berpisah darinya.” (Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 63).
[24] Harus dijelaskan di sini bahwa ucapan ini tidak benar kecuali dalam kemunculan, tindakan, dan menifestasi Al-Haqq, bukan Zat-Nya.
[25] Muhammad Al-Kulaini, Ushûl Al-Kâfî, jil. 4, hal. 27; dan Nahj Al-Balâghah, khutbah no. 186 tentang Tauhid.
[26] Fushûsh Al-Hikam, hal. 159; Syarh Fushûsh Al-Hikam karya Al-Qaishari (tahqiq: Asytiyani), hal. 686.
[27] Silakan lihat Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 312-313.
[28] Fushûsh Al-Hikam: Al-Fashsh Al-Sulaimânî, hal. 159.
[29] Ibn ‘Arabi mengkhususkan separuh dari risalahnya, Al-Ahadiyyah, yaitu dalam menjelaskan hubungan antara Al-Haqq dan alam ini, untuk menjelaskan hukum-hukum bilangan dan menjelaskan hubungan bilangan dengan satu. Sementara itu, sebagian yang lain dikhususkan untuk menjelaskan hubungan alif dengan huruf-huruf. Dalam Al-Futûhât Al-Makkiyyah, ia berkata, “Ia seperti satu aliran di beberapa tempat.” (jil. 1m hal. 188).
[30] Dîwân Ghulsyan Râz, hal. 120, bait no. 453-454.
[31] Untuk mndapat informasi lebih jelas, silakan lihat Fushsush Al-Hikam, hal. 184; Syarh Fushûsh Al-Hikam karya Al-Qaishari, hal, 422-423; Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 739 dan jil. 2, hal. 529.
[32] Dîwân Ghusyan-i Râz, hal. 120, bait no. 14-15.
[33] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 3, hal. 247.
[34] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 487. Ibn ‘Arabi meyakini bahwa kesampaian itu berpangkal dri penyingkapan-batin (mukâsyafât). Ia berkata, “Insan kamil menurut kami adalah orang yang menyaksikan Wajah Al-Haqq dalam setiap sesuatu. Ini adalah maqam yang sangat agung.” (Silakan lihat Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 699). Di tempat lain, ia berkata, “Penyingkapan-batin yang paling sempurna adalah melihat aliran wujûd Ilahi dalam segala maujud, dan hal ini bersumber dari khalwat mutlak sang pesuluk.” (Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 461).
[35] Profesor Isutzu menjelaskan akar syuhûd dan pengalaman dalam wahdah al-wujûd, yaitu menyaksikan unitas dalam pluralitas dan pluralitas dan unitas pada urafa yang sempurna ahl jam‘ al-jam‘ atau dzû al-‘ainain. Ia berkata, “Hakikat yang berkaitan dengan pengetahuan tentang wujûd ini, yaitu kondisi yang diinginkan urafa, menunjukkan wujûd tak terbagi ini dan yang disebut oleh Ibn ‘Arabi dengan istilah al-nafs al-rahmânî, yaitu indan yang sangat berpengalaman dalam makrifat, insan yang memiliki dua mata yang berbeda. Dengan salah satu matanya ia melihat hakikat wujûd dalam kejernihan mutlak, dimana dalam keadaan yang tinggi itu semua maujud tanpa terkecuali tersembunyi dan tidak tersisa sesuatu pun selain ketakterbagian membingungkan dari hakikat Al-Haqq. Sementara itu, dengan mata yang lain—dalam keadaan yang sama—ia melihat perbedaan yang besar segala sesuatu. Penglihatan mata kedua ini mencakup batasan-batasan dan pluralitas tak terhingga dari segala sesuatu. Namun, apapun dari segala sesuatu itu tidak keluar dari cakupan wujûd karena ketidakmampuan setiap sesuatu untuk menampakkan diri kecuali dengan perantaraan wujûd. Dalam bingkai makna ini, hakikat satu-satunya dari dari wujûd segala sesuatu itu. Atas dasar ini, orang seperti ini, dengan kedua matanya yang berhubungan dan menyatu sekaligus, mampu melihat rahasia metafisik, sehingga ia melihat hakikat sekaligus…” (Al-Shûfiyyah wa Al-Thâwiyyah karya Isutzu Toshihiko, hal. 130-131).
[36] Fushûsh Al-Hikam, hal. 54.
[37] Fushûsh Al-Hikam, hal. 101-102.
[38] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 99; jil. 4, hal. 417.
[39] Fushûsh Al-Hikam, hal. 185.
[40] Fushûsh Al-Hikam, hal. 113.
[41] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 184.
[42] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 162.
[43] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 243.
[44] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 216.
[45] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 288. Ibn ‘Arabi juga meyakini kekuatan imajinasi yang dipandang lebih besar dan lebih luas daripada akal yang mampu mendeskripsikan dan membenarkan wahdah al-wujûd. Pada dasarnya, Ibn ‘Arabi memandang alam khayal—baik dipandang sebagai salah satu martabat manifestasi-manifestasi Ilahi maupun kapasitasnya sebagai salah satu kekuatan insani—adalah “luas yang sempit” (al-wâsi‘ al-dhayyiq) dan tempat jasad menjadi ruh dan ruh menjadi jasad, yang menerima manifestasi Al-Haqq dengan semua bentuk, termasuk bentuk-bentuk keserupaan (al-shuwar al-tasybîhiyyah) dan mampu menyiapkan landasan yang cocok bagi individu untuk menyatukan antara tanzîh dan tasybîh. Sementara itu, akal menolak sifat-sifat keserupaan (al-aushâf al-tasybîhiyyah). Untuk mengetahui lebih lanjut seputar alam khayal dan peranannya dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, silakan lihat Al-Khayâl: âlam Al-Barzakh wa Al-Mitsâl min Kalâm Al-Syaikh Ibn ‘Arabî karya Mahmud Al-Ghurab.
[46] Misalnya argumentasi berikut: Setiap mumkin dapat menerima ketiadaan, sementara tidak ada sesuatu pun dari Wujûd Mutlak yang bisa menerimanya. Dengan demikian, wujûd itu wajib karena esensinya. (Syarh Al-Fushûsh Al-Hikam, hal. 9; Tamhîd Al-Qawâ‘id, hal. 59-60).
[47] Mulla Shadra menunjukkan hasil dari hidayah ‘Arsyiyyah dengan berkata, “Demikianlah Tuhanku menunjukiku dengan burhan terang ‘Arsyi pada jalan yang lurus tentang adanya maujud dan wujûd yang terbatas pada satu hakikat. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam maujud hakiki dan tidak ada dua-Nya dalam determinasi (ta‘ayyun). Di dalam Rumah Wujûd itu tidak ada rumah-rumah yang lain. Setiap yang tampak di alam wujûd bukan Wâjib Wujûd yang disembah, tetapi hanyalah manifestasi-manifestasi Zat dan sifat-sifat-Nya yang pada hakikatnya adalah Zat-Nya sendiri. Apapun selain Allah atau yang dinamai dengan alam hanyalah penisbahan kepada-Nya, seperti bayangan bagi seseorang. (Al-Asfâr, jil. 2, hal. 292. Silakan lihat juga Al-Masyâ‘ir karya Shadruddin Muhammad Al-Syirazi, padal 12, hal. 8).
[48] Silakan lihat Al-Asfâr, jil. 2, hal. 368. Dalam catatan pinggir terhadap buku tersebut, Al-Syirazi menganggap bahwa hal ini berpangkal pada penyatuan antara dua hal yang berlawanan dan yang ditunjukkan oleh urafa bahwa hal itu merupakan salah satu cara untuk mengenal Al-Haqq dengan menafsirkan dua hal tersebut yang secara lahiriah tampak saling berlawanan bersama kaidah tersebut yang menyebutkan “hakikat tidak terbagi adalah segala sesuatu tetapi sesuatu bukan darinya”, dengan menganggap bahwa dua hal itu berlawanan secara lahiriah saja.
[49] Sesungguhnya masalah wahdah al-syuhûd yang akarnya kembali pada tujuan ‘Ala’uddaulah Al-Simnani dan yang diakui dalam sudut pandang mazhab wahdah al-wujûd yang dicetuskan oleh Ibn ‘Arabi (silakan lihat Nafahât Al-Uns: mukâtabah [korespondensi] Al-Simnani dan Al-Kasyani, hal. 484-492), hanyalah merupakan interpretasi dari pengalaman spiritual (hâl) seorang pesuluk yang sampai pada suatu hâl atau maqam kefanaan (fanâ’) atau keabadian (baqâ’). Kadang-kadang hal itu dikenal juga di kalangan orientalis dan ulama kontemporer dengan sebutan maghzâ marâm al-‘urafâ’. Sebagian ulama mendefinisikan wahdah al-wujûd dengan definisi yang keliru dengan pengalaman-pengalaman wahdah al-syuhûd. Namun, mayoritas urafa, terutama murid-murid Ibn ‘Arabi, tidak membedakan antara dua unsur ini. Mereka mengatakan bahwa ilmu dan informasi (ma‘lûm) menyatu dalam ilmu hudhûrî wa syuhûdî. Atas dasar ini, ilmu hudhûrî tidak mungkin salah. Dengan kata lain, mereka yang berpendapat tentang wahdah al-syuhûd meyakini bahwa ketiadaan melihat (sampai ke) pluralitas tidak berarti ketiadaan, dan bahwa ketiadaan melihat selain Al-Haqq pada wujûd tidak berarti ketiadaan wujûd bagi selain Al-Haqq. Namun, urafa mengklaim hal yang lebih jauh daripada itu. Mereka meyakini bahwa mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa syuhûd adalah kebinasaan dan fatamorga “yang lain” serta kefanaannya, di satu sisi, dan melihat wujûd abadi bagi Al-Haqq, di sisi lain. Selain itu, bahwa melihat tersebut tidak mungkin salah berkenaan dengan kenisbian pluralitas dan ketiadaan hakikatnya dalam ilmu hudhûrî. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara wahdah al-syuhûd dan wahdah al-wujûd adalah dalam pertama, wahdah al-syuhûd atau kefanaan dari makhluk adalah suatu keadaan atau maqam yang—menurut keyakinan urafa—tidak disaksikan sesuatu apapun di dalamnya selain Al-Haqq, sedangkan wahdah al-wujûd, karena muncul dari pengalaman-pengalaman mistis, ia merupakan suatu keyakinan yang berarti mengenal wujûd dan bahwa ia merupakan suatu teori tentang wujûd yang khusus bagi pemikiran dan keyakinan itu; kedua, maksud masalah pertama (wahdah al-syuhûd) adalah bahwa sang arif tidak melihat dan tidak menyaksikan selain Allah Swt., sedangkan maksud masalah kedua (wahdah al-wujûd) menunjukkan bahwa ia mengecualikan wujûd Allah, sehingga tidak ada wujûd lain yang ril. Untuk menjelaskan masalah wahdah al-syuhûd, dapat ditunjukkan lenyapnya cahaya (hakikat) bintang ketika matahari terbit. Adapun istilah-istilah yang digunakan untuk mengungkapkan wahdah al-wujûd adalah al-zhill (bayangan) dan shâhib al-zhill (pemilik bayangan) atau mir’âh cermin—bayangan yang tampak padanya—dan shâhib al-shûrah (pemilik bayangan). Semuanya menunjukkan perkara hakiki dengan perkara metafora (bukan hubungan antara dua perkara yang ril). Al-Syabastari memiliki beberapa bait syair yang menjelaskan masalah ini. Dalam dîwân-nya, Ghulsyân-i Râz, hal. 128, bait no. 706, 443, 444, dam 452.
[50] Al-Shûfiyyah wa Al-Thâwiyyah, hal. 167.
[51] Tema tajallî dibahas dalam mistisisme teoretis dan juga mistisisme praktis. Dalam mistisisme teoretis, dan dalam sudut pandang ilmu hudhûrî, dijelaskan bahwa tajallî merupakan karakter aktif Al-Haqq dan mengikat unitas dengan pluralitas. Demikian pula karakter kemunculan pluralitas dari unitas. Adapun mitisisme praktis tajallî dibahas dari sudut pandang ilmu makrifat dalam bentuk hubungan persepsi langsung (tanpa perantara) sang arif dengan Al-Haqq dan manifestasi hakikat di dalam hatinya.
[52] Dan dalam hal-hal yang berkaitan dengan karakter aktif Al-Haqq (dari sudut pandang ilmu dan kehendak) dalam filsafat. Para filosof paripatetik dan iluminasi serta penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âlliyah cenderung pada tiga bagian terakhir di antara tujuh pembagian tentang aktivitas, yaitu aktivitas dengan karakter, dengan paksaan, dengan kekerasan, dengan maksud, dengan pertolongan, da\engan keridhaan, dan dengan manifestasi. (Silakan lihat Al-Syawâhid Al-Rubûbiyyah karya Shadruddin Muhammad Al-Syirazi, hal 55; Al-Asfâr, jil. 2, hal. 220). Adapun aktivitas dengan manifestasi, penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âliyyah memandang bahwa menurut dengan manifestasi urafa, ia adalah disyaratkan untuk didasarkan pada asas al-wahdah al-syakhshiyyah li wla-wujûd dan bukan al-wahdah al-tasykîkiyyah.
[53] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 262; Al-Shifât Al-Ilâhiyyah karya Muhyiyuddin bin ‘Arabi, hal. 21; Kasyf Al-Ghithâ’ karya Muhyiyuddin bin ‘Arabi, hal. 91.
[54] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 51; Al-Masâ’il karya Muhyiyuddin bin ‘Arabi, hal. 17.
[55] Al-Futûhât Al-Makkiyyah (korektor: ‘Utsman Yahya), jil. 12, hal. 261; Fushûsh Al-Hikam, hal. 68-69; Al-Masâ’il, hal. 21.
[56] Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 4, hal. 316; Fushûsh Al-Hikam, hal. 61-62.
[57] Ibn ‘Arabi memandang tajallî sebagai salah satu dari tujuh ilmu yang khusus dimiliki urafa. Adapun maksud ilmu ini adalah bahwa manifestasi Ilahi adalah manifestasi yang abadi, tidak ada tabir di dalamnya, walaupun tidak diperoleh seluruhnya. Sebab, Kehadiran Ilahi, yaitu sumber manifestasi, pertama, tidak terputus, dan kedua, tanpa halangan atau tabir apapun. (Al-Futûhât Al-Makkiyyah, korektor: ‘Utsman Yahya, jil. 1, hal. 154 dan jil. 2, hal. 303; Fushûsh Al-Hikam, hal. 133) Ibn ‘Arabi menganggap pandangan tajallî Ilahi yang terus-menerus dan abadi, dan berkaitan dengan penciptaan baru, hanya dikhususkan bagi ahli tahqîq. Ia berkata, “Pemilik tahqîq melihat pluralitas dalam Yang Satu… Maka dalam tajallî itu ada pluralitas yang terlihat dalam unitas.” (Fushûsh Al-Hikam, hal. 124)
[58] Dengan kata lain, sumber asasi tajallî dalam mistisisme teoretis adalah manifestasi-manifestasi Ilahi kepada sang arif dalam mistisisme praktis. Ibn ‘Arabi mendefinisikan tajallî dalam mistisisme praktis (tajallî syuhûdî atai ‘urûjî) dalam risalahnya, Risâlah Al-Mushthalahât) dengan berkata, “Cahaya-cahaya kegaiban yang tampak dalam hati.” Ibn ‘Arabi mengutip hal ini dalah Risâlah Al-Anwâr dengan menunjukkan berbagai cahaya manifestasi pada hati urafa dan menjelaskan faedah-faedah pengetahuan tentang masing-masing bagi pesuluk.
[59] Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Nûr [24]: 35)
[60] Silakan lihat Nahj Al-Balâghah khutbah no. 108 dan 147. Demikian pula ucapan Imam ‘Ali as., “Maka Dia bermanifestasi kepada makhluk-Nya tanpa terlihat, dan Dia berada di tempat pengliahtan tertinggi.” (Al-Tauhîd, hal. 45 dan 308).
[61] Fushûsh Al-Hikam, hal. 125.
[62] Kita tidak boleh lupa bahwa Ibn ‘Arabi telah mengemukakan dalil-dalil tentang kemustahilan kausalitas (‘illiyyah), suatu istilah dalam filsafat, dalam hal-hal yang berkaitan dengan Allah Swt. Pada saat yang sama, ia juga menunjukkan aspek-aspek dari teori itu dan kecenderungan-kecenderungan ilmiah terhadap teori tajallî vis a vis shudûr dan ‘illiyyah. Termasuk aspek-aspek tersebut adalah kemampuan teori ini untuk menjelaskan dan membenarkan kaidah Yang Satu dan hubungan Allah Swt. dengan alam semesta, di samping penampakan-penampakan yang saling bertolak belakang dan cerminan-cerminan dualitas Allah Swt. dan alam berkaitan dengan masing-masing dari keduanya, dimana hasil dari perkara ini dalam kausalitas adalah hasil yang bertolak belakang.
[63] Perlu ditunjukkan di sini bahwa Allamah Dawwani, sebelum Mulla Shadra, telah memberikan penjelasan filosofis terhadap teori tajallî dan zhuhûr menurut prinsip-prinsipnya. Hal itu terdapat dalam risalahnya, Risâlah Zaurâ’, hal. 81-83.
[64] Al-Asfâr, jil. 2, hal. 300-301. Di tempat lain, pada bab Al-Tajalliyyât Al-Ilâhiyyah, pada bagian sesuatu yang lain dan jika pada kedudukan cahaya Al-Haqq atau bayangan, Shadr Al-Muta’allihin berkata, “Burhan dari asal ini ada dari sejumlah hikmah yang diberikan Tuhanku kepadaku menurut pertolongan azali dan menjadikannya bagianku dari ilmu dengan limpahan anugerah dan kemurahan-Nya.” (Al-Asfâr, jil. 2, hal. 292).
[65] Dalam menjelaskan keyakinannya yang berkaitan dengan penyatuan zhâhir dan mazhhar, Ibn ‘Arabi berkata, “Mahasuci Dia yang menampakkan segala sesuatu dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri (Al-Futuhât Al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 456). Di tempat lain, ia berkata, “Dia adalah segala sesuatu dalam penampakan tetapi Dia bukan segala sesuatu dalam esensinya. Mahasuci dan Mahatinggi Dia. Bahkan, Dia adalah Dia, dan sebgala sesuatu adalah segala sesuatu.” (Al-Futuhât Al-Makkiyyah, jil. 3, hal. 46 dan 80).
[66] Dîwân Matsnawî, jil. 3, bait no. 1262 dan 1262.
[67] Walaupun dapat saja mengambil makna ismî dari huruf seperti yang sudah dikenal dan menganggap min, misalnya, sebagai tanpa permulaan atau fî sebagai keterangan waktu/tempat, tetapi hal itu akan menyebabkan huruf akan terlepas dari realitasnya sebagai huruf. Demikian halnya dengan mumkinât karena dapat dianggap sebagai bebas,
No comments:
Post a Comment