Monday, September 17, 2007

APAKAH FILSAFAT ITU? (2)

APAKAH FILSAFAT ITU? (2)
disarikan oleh : Dzulfikar

Metafisika (Ma Ba `da ath Thabi `ah)

Aristoteles adalah orang pertama yang memahami sederet persoal­an yang tidak termuat dalam berbagai ilmu pengetahuan (sains), balk yang berkaitan dengan alam (thabi'ah), matematika, etika, sosial, ataupun logika. Dan ia menyadari bahwa ilmu tersebut. harus dipisah­kan dan mandiri. Kemungkinan ia adalah orang pertama yang menentu-kan bahwa eksistensi qua eksistensi adalah poros yang padanya berputar berbagai persoalan sebagai aksiden-aksiden (awaridh) dan keadaan. Kemungkinan ia adalah orang pertama yang berhasil menyingkap penghubung clan faktor hubungan persoalan suatu ilmu dengan yang lain dan tolok ukur keterpisahan ilmu-ilmu tersebut dari berbagai persoalan ilmu yang lain adalah yang disebut dengan subjek (maudhuu') ilmu.
Jelas, permasalahan ilmu ini di kemudian hari menjadi semakin lugs, sebagaimana ilmu-ilmu yang lain serta terdapat tambahan yang cukup banyak. Pembahasan ini menjadi semakin jelas tatkala diadakan perbandingan antara metafisika Aristoteles dengan metafisika Ibnu Sina, terlebih dengan metafisika Shadr al Muta'allihin. Alhasil, Aristoteles menpakan orang pertama yang berhasil menemukan dan menyingkap bahwa ilmu ini (metafisika) merupakan suatu ilmu yang terpisah dan mandiri, dan memiliki posisi khusus di sisi berbagai ilmu yang lain.
Akan tetapi Aristoteles tidak memberikan suatu nama bagi jenis ilmu ini. Kemudian setelah Aristoteles meninggal dunia mereka mengumpulkan berbagai karya dan gagasannya dalam sebuah ensiklo­pedia. Bagian yang tengah kita bahas sekarang ini, dari sisi urutannya, terletak setelah bagian ilmu alam (fisika), dan dikarenakan tidak memiliki nama khusus maka mereka menamakan pembahasan ini dengan metaphiysika, meta = sesudah dan Physika = fisika (sesudah fisika). Kata metaphysika oleh orang Arab diterjemahkan dengan istilah maa
ba'da ath thabi'ah.
Lambat laun mereka lupa bahwa sebenarnya peletakan nama ini (metafisika) adalah dikarenakan pembahasan ini terletak sesudah pembahasan filsafat fisika dalam buku karya Aristoteles. Kemudian banyak yang mengira bahwa penamaan ilmu ini dengan metafisika, dikarenakan ilmu ini berisikan penibahasan mengenai Tuhan, akal murni, yang kesemuanya itu di luar alam fisika. Oleh karena itu, orang­orang semacam Ibnu Sina inengungkapkan keberatannya sebagai berikut:
"Seharusnya ilmu ini disebut dengan profisika (qabla ath thabi'ah) dan bukan metafisika (ma ba'da ath thabi'ah). Karena jika alas alasan bahwa ilmu ini mengandung pembahasan mengenai ketuhanan lalu disebut dengan metafisika, pada dasarnya Tuhan adalah sebelum alam dan fisika, dan bukan sesudahnya."'
Kemudian di kalangan orang-orang yang disebut-sebut sebagai filsuf modern, terjadi kesalahan dalam pengertian verbal dan terjemahan, dan hal itu menyebabkan kesalahan arti dan makna. Banyak kelompok orang Eropa yang mengira bahwa kata maa ba`da ath thabi'ah adalah lama dengan maa waraa 'a ath thabi'ah, dan mengira bahwa subjek ilmu ini adalah berbagai fenomena di luar fisika (alam). Sedangkan yang kita ketahui bersama adalah subjek dan topik ilmu ini mencakup fisika dan nonfisika; apa pun bentuk keberadaan. Alhasil, kelompok filsuf modern ini mendefinisikan ilmu ini secara keliru sebagai berikut, "Metafisika adalah suatu ilmu yang hanya membahas masalah ketuhan­an dan berbagai perkara yang terpisah dari alam material."

Filsafat pada Masa Modern

Sebagaimana yang kita ketahui, batas antara masa filsafat modern dengan masa filsafat kuno adalah abad keenam betas Masehi, di mana pada masa ini mulai diadakan perombakan oleh sekelompok orang yang diketuai oleh Rene Descartes dari Prancis, dan Francis Bacon dari Inggiis; metode silogistik (qiyaasii) dan rasional (aqli) dalam ilmu penge­tahuan digantikan dengan metode eksperimental (tajribi) dan empiris (hissi). Ilmu fisika secara sekaligus keluar dari metode silogistik dan masuk dalam wilayah eksperimental. Ilmu matematika memiliki kondisi semisilogistik dan semieksperimental.
Setelah peristiwa ini, muncul bentuk pemikiran pada sebagian orang, bahwa metode silogistik sama sekali tidak dapat dipegang dan dipercaya. Dengan demikian, jika suatu ilmu tidak dapat dieksperimen dan diuji coba secara praktis, dan hanya menggunakan metode silogistik saja, ilmu tersebut sama sekali tidak memiliki asas dan dasar. Dan dikarenakan ilmu metafisika (ma ba`da ath thabi'ah) memiliki kriteria semacam itu, yakni tidak dapat dilakukan ekperimen dan uji coba secara praktis, maka ilmu tersebut sama sekali tidak berlaku. Yakni permasalahan yang terdapat dalam ilmu tersebut tidak dapat dinafikan dan tidak dapat pula ditetapkan kebenarannya. Kelompok ini kemudian mencoret ilmu yang sebelumnya merupakan kepala dari semua ilmu dan merupakan ilmu yang paling agung. Menurut penda­pat kelompok ini, tidak ada suatu ilmu yang bernama ilmu metafisika, filsafat utama, atau apa pun namanya, dan tidak akan pernah ada. Pada dasarnya, kelompok ini telah melenyapkan berbagai persoalan berharga yang arnat dibutuhkan jawabannya oleh akal manusia sepanjang masa.
Sementara itu, ada kelompok lain yang menyatakan bahwa metode silogistik bukannya sama sekali tidak berlaku pada seluruh perkara, namun masih dapat digunakan pada berbagai perkara metafisika dan etika. Kelompok ini menciptakan sebuah istilah baru, bahwa apa-apa yang dapat dibuktikan keberadaanrrya melalui eksperimen mereka sebut dengan "ilmu" (sains), sedangkan apa-apa yang harus menggunakan metode silogistik-baik metafisika, akhlak, logika dan sebagainya­mereka sebut sebagai filsafat. Dengan demikian, definisi filsafat menurut kelompok ini adalah, "Ilmu yang semata-mata diketahui kebenarannya dengan menggunakan metode silogistik, dan padanya tidak berlaku uji coba praktis."
Oleh karena itu-sebagaimana pendapat cendekiawan kuno-kata filsafat merupakan sebuah nama umum dan bukan nama khusus, yakni bukan nama bagi sebuah ilmu, namun sebuah nama yang mencakup beberapa ilmu. Akan tetapi, lingkup filsafat menurut pendefinisian ini jauh lebih sempit dibandingkarn menurut pendefinisian para cendekia­wan kuno. Karena hanya mencakup ilmu metafisika (maa ba'da ath thabi'ah), ilmu etika (akhlaq), ilmu logika (manthiq), ilmu hukum (huquuq) dan adakalanya sebagian ilmu yang lain. Adapun ilmu matema­tika dan fisika berada di luar lingkup filsafat, dan hal ini berbeda dengan pendefinisian cendekiawan kuno yang memasukkan ilmu matematika dan fisika dalam kategori filsafat.
Kelompok pertama yang mengingkari secara total metafisika, dan mengingkari metode silogistik, dan mereka hanya meyakini kebenaran ilmu empiris (hiss), eksperimental, lambat laun menyadari bahwa jika segala yang ada hanya terbatas pada ilmu eksperimental (dan perma­salahan ilmu ini hanya bersifat partikular yakni khusus pada subjek­subjek yang spesifik) maka kita dalam mengenal alam secara univer­sal-yang filsafat atau metafisika mengklaim sebagai penanggung jawabnya-tidak akan mampu untuk mengetahuinya secara total.
Dari sisi inilah kemudian mereka menemukan suatu gagasan baru, yaitu dengan membuat landasan yang mereka sebut dengan `filsafat ilmiah'. Yakni filsafat yang seratus persen bertumpu pada ilmu pengeta­huan dan di dalamnya berisikan studi perbandingan antara berbagai ilmu dan hubungan antara suatu permasalahan dengan permasalahan yang lain, serta menyingkap bentuk hubungan dan universalitas antara berbagai hukum dan permasalahan ilmu satu sama lain, demi meng­hasilkan sederet permasalahan yang lebih universal. Dan mereka mena­makan permasalahan yang lebih universal ini dengan filsafat. Auguste Comte dan Herbert Spencer dari Inggris, keduanya memilih metode ini.
Dengan demikian, maka (menurut kelompok ini) filsafat bukanlah suatu ilmu yang mandiri, baik dari sisi subjek-subjek dan landasan­landasannya, karena subjek sebuah ilmu yang mandiri adalah masalah eksistensi qua eksistensi, sedangkan landasannya-atau minimal seba­gian besar landasannya-adalah berbagai aksionia (sesuatu yang kebenarannya tidak perlu dibuktikan lagi.) pertama (al badih Put al awwaliyyah). Bahkan menjadi sebuah ilmu yang kegunaannya adalah melakukan kajian dan penelitian terhadap berbagai hasil dari berbagai ilmu yang lain, menghubungkannya satu sama lain, lalu mengeluarkan berbagai permasalahan yang lebih universal dari berbagai perma­salahan yang terdapat dalam ilmu yang sempit dan terbatas. Filsafat positivisme Auguste Comte dan filsafat sintesis Herbert Spencer terma­suk dalam kategori jenis filsafat ini.
Menurut pendapat kelompok ini, filsafat ilmiah tidak terpisah dari seluruh ilmu yang lain, tetapi bahkan hubungannya dengan filsafat adalah tidak ubahnya semacam satu derajat pengetahuan dengan satu derajat pengetahuan yang lebih sempurna tentang hakikat sesuatu. Yakni filsafat memberikan pemahaman yang lebih khas dan lebih universal terhadap berbagai perkara dipelajari dan diketahui oleh ilmu pengetahuan lain. Sebagian yang lain seperti Immanuel Kant, berpen­dapat bahwa yang pertama kali harus dikaji dan dipelajari adalah pengetahuan itu sendiri serta suatu kekuatan yang mampu mewujudkan pengetahuan tersebut. Dalam hal ini mereka beranggapan rasio (akal) merupakan sesuatu yang amat penting, kemudian mulailah mereka mengadakan berbagai kritikan dan sanggahan terhadap akal manusia dan penelitiannya itu mereka namakan dengan filsafat kritis (critical philosophy) .
Jelas, filsafat semacam ini tidak memiliki sisi kesamaan dengan filsafat yang dikemukakan oleh para cendekiawan kuno, melainkan hanya persamaan kata saja. Begitu pula dengan filsafat positivisme Auguste Comte dan filsafat sintesis Herbert Spencer, tidak ada sisi persamaan melainkan hanya pada harfiah (verbal) saja. Filsafat Kant dengan logika yang merupakan bentuk khusus dari suatu bentuk pemikiran­lebih mendekati filsafat yang merupakan ilmu alam.
Di Eropa, lambat laun sesuatu yang bukan ilmu pengetahuan (sains), yakni yang lama sekali tidak t.erniuat dalam ilmu khusus-fisika ataupun matematika-dan pada hakikatnya adalah suatu gagasan berkenaan dengan alam, manusia atau masyarakat, juga disebut sebagai filsafat.
Jika ada seseorang yang berhasil mengumpulkan semua 'isme' yang
ada di Amerika dan Eropa yang mereka sebut sebagai filsafat, dan juga berhasil mendata berbagai pendefinisiannya, maka ia akan menyaksikan bahwa tidak ada kesamaan di antara kesemuanya itu melainkan pada 'bukan ilmu' (yakni kesemuanya bukan ilmu-penerj.). Berbagai penjelas­an ini merupakan suatu contoh agar kita mengetahui perbedaan antara filsafat kuno dengan berbagai filsafat modern, bukan semacam perbe­daan antara ilmu-ilmu kuno dengan ilmu-ilmu modern.
Ilmu-ilmu kuno, misalnya saja ilmu kedokteran kuno dengan ilmu kedokteran modern, astronomi kuno dengan astronomi modern, psikologi kuno dengan psikologi modern, botani kuno dengan botani modern, tidak terdapat perbedaan esensial. Yakni bukan berarti misalnya saja kata 'kedokteran' pada masa dahulu adalah nama sebuah untuk suatu jenis ilmu, sedangkan pada masa modern adalah nama bagi suatu jenis ilmu yang lain. Kedokteran kuno dan kedokteran modern, keduanya memiliki definisi yang satu. Alhasil 'kedokteran' merupakan ilmu yang berkaitan dengan berbagai kondisi dan keadaan tubuh manusia.
Perbedaan antara kedokteran kuno dan kedokteran modem tentu ada. Pertama pada sisi kajian dan penelitian berbagai kasus, kedokteran modern lebih berpengalaman dari kedokteran kuno, dan kedokteran modern lebih argumentatif dan silogistis dari kedokteran kuno. Sementara perbedaan yang lain adalah dari sisi kesempurnaan dan kekurangan, yang many kedokteran modern jauh lebih sempurna. Demikian pula dengan seluruh ilmu lainnya.
Adapun `filsafat' pada masa kuno dan modern adalah sebuah nama untuk berbagai macam arti (makna), dan berdasarkan setiap arti ia memiliki definisi yang berbeda. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pada masa dahulu terkadang kata filsafat diperuntukkan bagi sebuah ilmu rasional dan terkadang dipenmtukkan bagi sebagian cabang dari ilmu pengetahuan yaitu ilmu metafisika atau filsafat utama, sedangkan pada masa modern kata filsafat memiliki berbagai macam arti dan tiap tiap arti memiliki bentuk definisi tersendiri.

Perpisahan Ilmu Pengetahuan (Sains) dari Filsafat

Sebuah kesalahan fatal yang tersebar leas di masa kita ini, yang bersumber dari Barat, yang kemudian tersebar di kalangan para pendukung pemikiran Barat yang ada di dunia Timur adalah anggapan keterpisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Sebuah perubahan verbal yang berhubungan dengan penggunaan dan peletakan istilah kemudian dianggap sebagai perubahan dan pergantian arti nyata. Dan yang demikian itu menimbulkan suatu kesalahan bahwa ilmu pengetahuan terpisah dari filsafat.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa kata filsafat atau hikmah dalam istilah cendekiawan kuno, sebagian besar ditujukan pada ilmu rasional (aqli) yang merupakan kebalikan dari ilmu yang diwahyu­kan (naqli). Oleh karena itu, maka pengertian kata ini mencakup berbagai ilmu rasional dan penalaran manusia.
Pada istilah ini, kata filsafat adalah sebuah "nama generik" (al is-m al '’aam) dan "nama genus" (al ism al jins), bukan "nama spesifik" (al ism at •nau'i). Kemudian pada masa modern kata ini dikhususkan pada ilmu metafisika, logika, estetika, dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan sebagian memiliki dugaan bahwa filsafat pada masa kuno adalah sebuah ilmu dan permasalahan yang ada di dalamnya adalah permasalahan ketuhanan, fisika, matematika, dan seluruh ilmu lainnya; kemudian ilmu fisika, matematika, terpisah dari filsafat dan menjadi mandiri­
Ungkapan semacam itu, persis seperti misalnya saja kata `tubuh' pada suatu waktu memiliki arti jasad' sebagai lawan dari 'jiwa' dan mencakup seluruh tubuh manusia dari kepala sampai kaki, kemudian muncul istilah kedua dan kata ini (tubuh) ditujukan untuk jasad dari leher sampai kaki saja dan merupakan lawan dari kepala. Lalu muncul keraguan pada manusia apakah kepala manusia terpisah dari tubuh. Yakni, sebuah perubahan dan pergantian harfiah (verbal), disalahartikan dengan perubahan dan pergantian arti nyata. Dan juga persis seperti kata 'Fars' pada suatu masa ditujukan untuk seluruh kawasan Iran, dan sekarang ini diperuntukkan sebuah provinsi di Iran Selatan, lalu ada seorang yang mengira bahwa Provinsi Fars terpisah dari negara Iran. Terpisahnya ilmu dari filsafat adalah semacam ini pula. Pada suatu masa ilmu-ilmu pengetahuan masuk dalam kategori filsafat dalam arti umum, dan sekarang filsafat dikhususkan untuk nama sejenis ilmu pengetahuan.
Perubahan nama ini tidak ada hubungannya dengan keterpisahan ilmu pengetahuan dari filsafat. Ilmu-ilmu pengetahuan lama sekali tidak pernah merupakan bagian dari kata filsafat dalam arti khusus (spesifik), yang kemudian terpisah.


=====================selesai==================================

References
Abed, S.B. (1991) Aristotelian Logic and the Arabic Language in Al-Farabi, Albany, NY: State University of New York Press. (An excellent consideration of the central issues in al-Farabi's linguistic philosophy.)

al-Farabi (c.870-950) Introductory Sections on Logic, ed. and trans. D.M. Dunlop, 'Al-Farabi's Introductory Sections on Logic', Islamic Quarterly 2, 1955: 264-82. (Another translation of a section on logic, designed by al-Farabi as a propadeutic to the study of philosophy itself.)

al-Farabi (c.870-950) Paraphrase on the Categories, ed. and trans. D.M. Dunlop, 'Al-Farabi's Paraphrase of the Categories of Aristotle', Islamic Quarterly 4, 1958-9: 168-97; 5, 1958-9: 21-54. (A short summary of what al-Farabi took the main points of the Categories to be.)

al-Farabi (c.870-950) Commentary on the Prior Analytics, trans. N. Rescher, Al-Farabi's Short Commentary on Aristotle's 'Prior Analytics', Pittsburgh, PA: Pittsburgh University Press, 1963. (Another of al-Farabi's Aristotelian commentaries.)

Galston, M. (1981) 'Al-Farabi on Aristotle's Theory of Demonstration', in P. Morewedge (ed.) Islamic Philosophy and Mysticism, Delmar, NY: Caravan Books, 23-34. (Clear account of how al-Farabi developed Aristotle's notion of demonstrative reasoning, the best form of argumentation.)

Gyekye, D. (1971) 'The Terms Prima intentio and Secunda intentio in Arabic Logic', Speculum 46: 32-48. (Explanation of two key logical terms, linking them to their Greek and Latin equivalents and explaining how they are used in al-Farabi's logic.)

* Ibn 'Adi, Yahya (893-974) Maqalah fi tabyin al-fasl bayna sina'atay al-mantiq al-falsafi wa-al-nahw al-'arab (Treatise on the Difference between the Arts of Philosophical Logic and of Arabic Grammar), ed. G. Endress, Journal of the History of Arabic Science 2, 1978: 192-81. (Influential work from the early years when the divisions between logic and language were still highly controversial.)

Ibn Rushd (c.1170) Short Commentaries on Aristotle, ed. and trans. C.E. Butterworth, Averroes' Three Short Commentaries on Aristotle's 'Topics', 'Rhetoric', and 'Poetics', Albany, NY: State University of New York Press, 1977. (Ibn Rushd's short commentaries on areas of thought which he thought were less strongly logical than demonstrative and dialectical reasoning, yet which still embody logical techniques in some form.)

Ibn Rushd (c.1174) Middle Commentary on the Isagog, trans. H.A. Davidson, Averroes' Middle Commentary on Porphyry's 'Isagoge' and on Aristotle's 'Categoriae', Cambridge, MA: Mediaeval Academy of America, 1969. (A middle commentary on a crucial logical text by Porphyry, which was important in linking Ibn Rushd's use of logical language with that of his Islamic predecessors.)

* Ibn Rushd (c.1174) Middle Commentaries on Categories and De interpretatione, trans. C.E. Butterworth, Averroes' Middle Commentary on Aristotle's 'Categories' and 'De interpretatione', Princeton, NJ: Princeton University Press, 1983. (Ibn Rushd's middle commentaries on two Aristotelian texts which are important for what they show of how he developed some of the key terms of his philosophical logic.)

* Ibn Sina (980-1037) al-Isharat wa-'l-tanbihat (Remarks and Admonitions), Part One trans. S.C. Inati, Remarks and Admonitions, Part One: Logic, Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1984. (The logic portion of al-Isharat wa'l-tanbihat.)

Inati, S. (1996) 'Logic', in S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy, London: Routledge, ch. 48, 802-23. (Analysis of the main concepts in Islamic logic, and the role of logic itself in philosophy.)

Lameer, J. (1994) Al-Farabi and Aristotelian Syllogistics: Greek Theory and Islamic Practice, Leiden: Brill. (A thorough study of al-Farabi's logical writings and their ancient sources.)

Madkour, I. (1969) L'organon d'Aristotle dans le monde arabe (The Organon of Aristotle in the Arab World), 2nd edn, Paris: Vrin. (A useful overview of the logic portions of Ibn Sina's Shifa'.)

Mahdi, M. (1970) 'Language and Logic in Classical Islam', in G.E. von Grunebaum (ed.) Logic in Classical Islamic Culture, Wiesbaden: Harrasowitz, 51-83. (An account of the debate between al-Sirafi and Abu Bishr Matta.)

Margoliouth, D.S. (1905) 'The Discussion Between Abu Bishr Matta and Abu Sa'id al-Sirafi on the Merits of Logic and Grammar', Journal of the Royal Asiatic Society: 79-129 (A translation of the famous debate; for a fuller account see also Mahdi 1970.)

Marmura, M.E. (1975) 'Ghazali's Attitude to the Secular Sciences and Logic', in G.F. Hourani (ed.) Essays on Islamic Philosophy, Albany, NY: State University of New York Press.

Rescher, N. (1964) The Development of Arabic Logic, Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press. (Demonstration that in spite of his opposition to philosophy, al-Ghazali was an enthusiastic supporter of logic. Somewhat dated but still useful.)

Rescher, N. (1980) 'Avicenna on the Division of the Sciences in the Isagoge of his Shifa'', Journal for the History of Arabic Science 4: 239-50. (Very clear analysis of the text.)

Sabra, A.I. (1980) 'Avicenna on the Subject Matter of Logic', Journal of Philosophy 77: 757-64. (Excellent analysis of Ibn Sina's approach to logic.)

Wolfson, H.A. (1973) 'The Terms Tasawwur and Tasdiq in Arabic Philosophy and Their Greek, Latin and Hebrew Equivalents', in I. Twersky and G.H. Williams (eds) Studies in the History and Philosophy of Religion, Cambridge, MA: Harvard University Press, vol. 1, 478-92. (Important analysis of this critical distinction in Islamic logic, with discussions of its origins in wider philosophy.)

Zimmermann, F.W. (1972) 'Some Observations on al-Farabi and the Logical Tradition', in S.M. Stern et al. (eds) Islamic Philosophy and the Classical Tradition, Oxford: Oxford University Press, 517-46. (Discussion of the role which al-Farabi played in establishing the notion of logic as a separate theoretical inquiry.)

No comments: