Monday, September 17, 2007

APAKAH FILSAFAT ITU ? (1)

APAKAH FILSAFAT ITU ? (1)
disarikan Oleh : Dzulfikar

Permasalahan apakah yang pertama kali harus kita ketahui berkaitan dengan filsafat?
Dikarenakan adanya sebagian yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut secara campur baur, maka akan dipaparkan sebuah mukadimah singkat yang biasa dibahas dalam buku-buku logika.

Pendefinisi secara Verbal (Lafzhii) dan Arti Nyata (Maknawii, Haqiiqi)
Ahli logika mengatakan bahwa tatkala ada pertanyaan tentang ke­`apa'-an sesuatu, maka bentuk pertanyaan tersebut. dapat berbeda-beda. Adakalanya yang hendak ditanyakan adalah pengertian ( mafhuum) kata tersebut. Yakni tatkala kita bertanya, "Apa sesuatu itu?" Maka, `sesuatu' yang ditanyakan itu, adalah kosakata itu sendiri. Dan maksud dari ke­`apa'-an nya adalah apakah arti secara bahasa (Lughawii, linguistik) atau istilah ( terminologis) kata itu? Sebagai contoh, dalam membaca sebuah buku kita mendapati kata 'parkit' lain kita bertanya kepada seseorang (dan ia menjawab bahwa 'parkit' adalah nama sejenis burung. Atau dalam istilah ahli logika, kita menjumpai tulisan `kalimah ; lain kita bertanya kepada seseorang, "Apakah arti `kalimah' menurut istilah para ahli logika?" Ia menjawab, "Kalimah, menurut para ahli logika, adalah yang oleh ahli tata bahasa Arab (nahwu) disebut dengan `fi'l. (kata kerja)."'
Jelas, hubungan antara suatu kata dan arti nyata adalah hubungan yang bersifat konvensional dan terminologis; baik istilah itu bcrsifat umum ataupun khusus.
Dalam menjawab pertanyaan semacam itu (tentang kosakata), seseorang harus mencari dan meneliti penggtutaan kata tersebut dalam kamus. Ada kemungkinan pertanyaan tersebut memiliki jawaban ber­macam-macam dan semua jawaban itu adalah benar. Karena ada kemungkinan sebuah kata (lafzh) dalam berbagai penggunaan umum memiliki arti bermacam-macam. Sebagai contoh, sebuah kata menurut istilah ahli filsafat dan ahli logika memiliki arti khusus, sedangkan menurut istilah ahli bahasa dan sastra memiliki arti yang lain. Demikian pula dengan 'kalimah' yang mana menurut pengertian umum dan menurut ahli bahasa memiliki suatu arti, sedangkan menurut ahli logika memiliki arti yang lain. Demikian pula dengan kata 'qiyas' (analogi, silogisme) yang mana di kalangan ahli logika memiliki suatu arti, sedangkan di kalangan ahli fikih memiliki arti tersendiri, dan berbeda dengan yang dipahami oleh para ahli logika.
Tatkala sebuah kata----di kalangan para ahli-memiliki dua arti atau lebih, maka harus dikatakan bahwa kata ini menurut istilah ahli fulan adalah memiliki arti demikian sedangkan menurut istilah ahli fulan adalah demikian. Jawaban atas pertanyaan semacam ini disebut dengan 'pendefinisian verbal' .
Akan tetapi terkadang ada pertanyaan tentang ke-`apa'-an sesuatu, dan bukan pertanyaan akan makna dan arti dari kosakata itu sendiri, tetapi pertanyaan tentang hakikat (realitas) arti dan maknanya. Kita bukan hendak bertanya, "Apa arti kata ini?" karena pada dasarnya kita mengetahui arti dari kata tersebut, namun hakikat dan substansi dari kata itu yang tidak kita ketahui; pertanyaannya adalah tentang hakikat, realitas, dan substansi arti serta maknanya. Misalnya saja jika kita bertanya, "Apakah manusia itu?" Maksud pertanyaan di sini bukan berarti kata `manusia' itu diletakkan untuk apa. Karena kita telah mengetahui dengan jelas bentuk peletakan kata tersebut, namun yang tidak kita ketahui adalah arti dan makna yang dimaksud oleh kata tersebut; pertanyaannya tentang substansi dan inti kata tersebut.
Sebagai contoh, tatkala kita bertanya, "Apakah manusia itu?" di sini maksudnya kita bukan hendak menanyakan kata `manusia' diletak­kan untuk-apa. Dalam hal ini kita mengetahui dengan jelas bahwa kata `manusia' diletakkan untuk sebuah makhluk khusus yang memiliki tubuh tegak lurus, dan pandai berbicara. Akan tetapi pertanyaan kita adalah: "Apakah hakikat dan substansi manusia?" Jelas, dalam men­jawab secara benar pertanyaan ini, hanya ada satu jawaban dan tidak lebih. Yakni tidak mungkin berbagai jawaban yang diberikan atas pertanyaan ini semuanya benar. Jawaban atas pertanyaan semacam ini disebut dengan definisi yang nyata.
Pendefinisian verbal lebih didahulukan atas pende­finisian yang nyata. Yakni, pertama-tama harus ada kejelasan tentang arti dari kosakata, kemudian dilakukan pendefinisian nyatanya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi paralogisme' (mughalathah / Berasal dari kata Yunani para (di sebelah, di samping) dan logos (akal), artinya cara berpikir atau argumen yang tidak sesuai dengan akal; disebut juga silogisme yang keliru]. Silogisme adalah cara berpikir, berargumen, atau menarik kesimpulan deduktif dengan dua premis (premis umum dan premis khusus) dan satu kesimpulan. Contohnya, semua manusia akan mati, si A manusia, maka si A akan mati. ) dan perselisihan yang tidak pada tempatnya. Karena jika sebuah kata memiliki bermacam-macam arti menurut istilah dan bahasa, lalu mereka tidak memperhatikan macam-macam arti tersebut, kemudian ada suatu kelompok mengartikan kata tersebut, membuat suatu istilah khusus, dan mendefinisikan sesuai dengan bidangnya, dan mereka lalai bahwa masing-masing dari mereka memiliki suatu pengertian yang tidak dimaksudkan oleh yang lain, dikarenakan perbedaan inilah maka mereka saling bertikai dan memperselisihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Tidak adanya pemisahan antara arti verbal dan arti nyata dapat menyebabkan berbagai perubahan dan perkembangan yang terdapat pada arti verbal dianggap sebagai perubahan arti nyata. Kemungkinan suatu kata tertentu pada awalnya memiliki arti 'keselu­ruhan', kemudian setelah terjadi perubahan dalam penggunaan istilah maka kata tersebut tidak lagi memiliki arti 'keseluruhan' namun telah mengalami perubahan dan menjadi memiliki arti 'sebagian'. Jika seseorang tidak memisahkan antara arti verbal dengan arti nyata, maka ia akan memahami bahwa `keseluruhan' itu benar-benar terbagi-bagi dan terpilah-pilah, padahal tidak terjadi perubahan pada 'keseluruhan' tersebut, tetapi telah terjadi perubahan pada kata yang digunakan untuk menggambarkan 'keseluruhan' dan kata tersebut sekarang digunakan untuk menggambarkan 'sebagian'.
Begitu pula dengan kata `filsafat', banyak terjadi kesalahan umum tentangnya di antara para filsuf Barat dan para penganutnya di Timur-mudah-mudahan kami memiliki kesempatan untuk memba­hasnya pada pelajaran berikutnya.
Kata `filsafat' merupakan sebuah istilah dan memiliki berbagai macam arti secara istilah. Masing-masing kelompok filsuf mengartikan kata tersebut. Namun berbagai perbedaan dalam pengartian dan pendefinisian kata tersebut tidak berhubungan dengan realitas yang ada. Setiap kelompok mengartikan kata ini dengan arti khusus, lalu mereka mendefinisikan arti khusus tersebut.
Ada sekelompok yang menamakan suatu ilmu dengan filsafat, sedangkan yang lain tidak menganggapnya sebagai filsafat, atau bahkan mengingkari nilai dari ilmu tersebut, atau menyebutnya dengan sebutan yang lain, atau digolongkan pada bagian ilmu yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa dalam kondisi semacam ini, setiap kelompok tidak menganggap kelompok yang lain sebagai filsuf. Dari sisi inilah maka dalam menghadapi pertanyaan, "Apa filsafat itu?" kami akan berusaha untuk menjawabnya dengan memperhatikan bermacam­macam istilah yang ada. Pertama-tama, kami akan menjawab pertanyaan tersebut menurut pandangan para filsuf Islam, dan sebelum memulai­nya, kami akan mengadakan pembahasan mengenai akar kata tersebut.

Arti Kata Filsafat
Kata ini berasal dari bahasa Yunani. Semua cendekiawan kuno dan modern yang mengenal bahasa dan sejarah ilmiah Yunani kuno menga­takan sebagai berikut:
Kata falsafah (filsafat) berasal dari kata philosophia yang kemudian diubah ke dalam bahasa Arab dan menjadi kata dasar buatan ( mashdar ja liy), yakni falsafah. Kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata: philos dan sophia. Kata philos berarti sahabat atau kekasih, adapun kata sophia memiliki arti kebijaksanaan, kearifan, atau pengetahuan. Dengan demikian, maka arti dari kata philosophia adalah cinta penge­tahuan. Plato serta Socrates dikenal sebagai philosophos, yaitu orang yang cinta pengetahuan .2 Dengan demikian, kata falsafah yang merupa­kan kata dasar hasil Arabisasi juga memiliki arti: usaha yang dilakukan oleh para filsuf.
Sebelum Socrates, muncul sekelompok orang yang menamakan diri mereka sophist, yakni para cendekiawan. Kelompok ini menjadikan pandangan clan persepsi manusia sebagai suatu hakikat dan kebenaran, lalu mereka membuat berbagai kekeliruan dalam berargumentasi.
Lambat laun, kata sophist, sopistes, keluar dari arti aslinya dan berubah arti menjadi seorang yang menggunakan argumen-argumen yang keliru. Dan kata sufshatha merupakan kata dasar Arabisasi dari kata sophistry, yang dalam istilah diartikan sebagai seorang yang biasa menggunakan paralogisme (mughaalathah).
Socrates, dikarenakan rasa rendah hatinya, dan kemungkinan dikarenakan khawatir disejajarkan dengan kaum sophist, maka dirinya enggan disebut sophist atau cendekiawan .1 Dan karena inilah maka ia disebut dengan filsuf (philosophos), yakni pecinta ilmu. Lambat laun kata philosophos menjadi lawan dari kata sophist yang memiliki arti
. seorang yang biasa menggunakan paralogisme. Kemudian kata philosophos (filsuf) berubah arti dari `pencinta ilmu' menjadi `seorang yang berpe­ngetahuan tinggi', sedangkan kata philosophia (filsafat) sinonim dengan ilmu. Selain itu, kata filsuf merupakan suatu kata istilah yang tidak digunakan pada seorang pun sebelum masa Socrates, dan bahkan setelah Socrates pun tidak langsung digunakan untuk menyebut dan menjuluki seseorang. Mereka mengatakan bahwa Aristoteles juga tidak meng­gunakan kata philosophia (filsafat) dan philosophos (filsuf), dan pada masa berikutnya istilah filsafat dan filsuf menjadi tersebar luas.

Filsafat Menurut Istilah Muslimin
Muslimin mengambil kata ini (falsafah atau filsafat) dari Yunani, kemudian diubah dan disesuaikan dengan bentuk kata bahasa Arab, dan memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional.
Menurut. istilah Muslimin, filsafat bukan merupakan nama suatu bidang khusus ataupun suatu ilmu khusus; semua ilmu pengetahuan rasional (aqli) yang merupakan lawan dari pengetahuan yang diwahyu-
kan ( naqli)-seperti ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ma `ani, bayan, badi' ;
tafsir, hadis, fikih, usul, berada dalam kategori filsafat. Dan dikarenakan kata ini memiliki arti yang umum dan luas, maka seseorang dapat disebut sebagai filsuf tatkala ia mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan rasional yang ada pada masanya, yang berhubungan dengan ketuhanan, matematika, fisika, politik, etika, dan estetika. Dikarenakan hal itu, maka mereka mengatakan, "Seorang filsuf adalah seorang yang dunia rasionalnya sama dengan dunia realitas eksternal."
Kemudian tatkala Muslimin hendak rnenjelaskan pembagian ilmu menurut pandangan Aristoteles, mereka menggunakan kata filsafat atau hikmah. Mereka mengatakan bahwa filsafat (ilmu rasional) memiliki dua bagian: teoretis dan praktis.
Filsafat teoretis ialah filsafat yang membahas berbagai benda sesuai dengan apa adanya, sedangkan filsafat praktis adalah pernbahasan tentang bagaimanakah selayaknya perbuatan dan perilaku manusia. Filsafat teoretis terbagi menjadi tiga bagian: Ilahiah (teologi) yang juga biasa disebut dengan filsafat tinggi, matematika atau filsafat menengah, dan ilmu fisika atau filsafat rendah.
Filsafat Ilahiah atau filsafat tinggi, terdiri dari dua bagian: Ilahiah yang berhubungan dengan perkara-perkara umum dan ilahiah dalam arti khusus. Sedangkan filsafat matematika terdiri dari empat bagian: aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Filsafat fisika juga memi­liki berbagai macam dan bagian. Filsafat praktis dibagi menjadi: ilmu etika, ilmu mengurus rumah, ilmu politik ketatanegaraan.
Dengan demikian, seorang filsuf yang sempurna ialah seseorang yang mampu menguasai seluruh jenis dan bagian ilmu pengetahuan yang telah disebutkan.

FiLsafat Hakiki atau Filsafat Tinggi
Menurut pandangan para filsuf, di tengah berbagai pembahasan filsafat, terdapat suatu bagian pembahasan yang lebih istimewa dari berbagai bagian pembahasan yang lain. Dan seakan-akan, inti dan substansi pembahasan filsafat adalah pada bagian itu; ia memiliki berbagai sebutan: filsafat utama (aulaa), filsafat tinggi ( 'ulyaa), ilmu tertinggi (a,laa), ilmu universal (kulli), teologi (Ilahiyah), dan filsafat metafisika.

Keistimewaan ilmu tersebut atas seluruh ilmu yang lain adalah:
Pertama, menurut pendapat orang-orang terdahulu, ilmu ini lebih argumentatif dan lebih meyakinkan dibandingkarn jenis ilmu yang lain.
Kedua, ilmu tersebut menguasai berbagai ilmu yang lain, dan pada hakikatnya merupakan raja dari semua ilmu (mother of sciences). Ini karena seluruh ilmu membutuhkannya dan bergantung kepadanya, sedangkan ilmu tersebut tidak membutuhkan ilmu-ilmu yang lain.
Ketiga, ilmu tersebut lebih umum dan lebih universal (kulli) dari berbagai ilmu yang lain.
Dengan demikian, menurut para filsuf kuno, kata filsafat memiliki dua arti. Pertama, arti yang umum, yaitu semua ilmu rasional yang mencakup semua ilmu yang bukan naqli. Sedangkan kedua, adalah arti yang tidak umum yaitu teologi (ilmu ketuhanan) atau filsafat tinggi, yang merupakan bagian (pecahan) dari filsafat teoretis.
Filsafat, menurut istilah yang umum, adalah ilmu yang bukan naqli Dan filsuf adalah seseorang yang mampu menguasai seluruh ilmu pengetahuan. Dan berdasarkan pada pemahaman umum terhadap filsafat ini, maka dikatakan bahwa filsafat adalah kesempurnaan jiwa manusia baik dari sisi teoretis maupun dari sisi praktis.
Namun menurut istilah yang tidak umum, yang dimaksud dengan filsafat adalah sebuah ilmu yang oleh orang-orang kuno disebut dengan filsafat hakiki, filsafat utama, atau ilmu tinggi, maka filsafat memiliki suatu definisi khusus. Dan dalam menjawab pertanyaan "Apa­kah filsafat itu?" kita dapat menjawabnya dengan mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai eksistensi qua (dalam kapasitasnya sebagai) eksistensi, tanpa menentukan suatu objek khusus, misalnya materi, kuantitas, kualitas, manusia atau tumbuhan, dan lain sebagainya.
Penjelasannya, pengetahuan dan informasi kita tentang berbagai berada ada dua bentuk: khusus terhadap spesies (nau') atau genus (jins) tertentu. Dengan kata lain-berkenaan dengan berbagai keadaan dan hukum serta pengaruh khusus sebuah spesies atau genus tertentu-pengetahuan kita tentang berbagai hukum dan ketentuan tentang kuantitas yang berbeda, dinyatakan melalui angka-angka (aritmetika); tentang kuantitas yang berbeda, dinyatakan melalui galls dan bilangan (geometri); tentang tumbuhan (botani); tentang tubuh kita (anatomi); demikian pula dengan berbagai ilmu lainnya seperti geologi, kosmo­logi, mineralogi, zoologi, psikologi, sosiologi, ilmu atom, dan lain sebagainya.

Filsafat merupakan ilmu yang tidak terbatas pada suatu spesies tertentu; bukan dikarenakan eksistensi adalah spesies tertentu, lain tidak memiliki berbagai hukum, ketentuan, keadaan dan sifat tertentu, namun sebaliknya dikarenakan memiliki berbagai hukum ketentuan, dan pengaruh maka itu adalah eksistensi.

Dengan kata lain, pandangan dan kajian terhadap berbagai partikel dan instrumen dunia ini dalam bentuk terpisah-pisah dan berbeda-beda, dan adakalanya dari sisi kesatuan, yakni eksistensi dari sisi eksistensi merupakan satu unit (kesatuan), later kita melanjutkan pengamatan dan kajian kita terhadap sate unit dan kesatuan tersebut yang mencakup berbagai perkara.
Jika kita mengumpamakan dunia ini seperti sebuah tubuh, maka pengamatan dan kajian terhadap dunia ini ada dua bentuk. Sebagian pengamatan kita berhubungan dengan anggota tubuh, seperti kepala, tangan, kaki. Tetapi pengamatan dan kajian kita yang lain berhu­bungan dengan seluruh anggota tubuh tersebut, misalnya sejak kapan keberadaan anggota tubuh ini? Sampai kapan akan senantiasa ada? Pada dasarnya, apakah pertanyaan 'kapan' terhadap berbagai anggota tubuh merupakan suatu pertanyaan yang pada tempatnya ataukah tidak? Apakah anggota tubuh merupakan satu kesatuan yang hakiki; tampaknya berbilang namun tidak berbilang. Ataukah kesatuannya adalah relatif dan sebatas hubungan yang ada di antara komponen sebuah mobil, yakni tidak lebih hanya kesatuan rakitan? Apakah berbagai anggota tubuh ini memiliki sumber dan asal mula, yang mana keber­adaan seluruh anggota tubuh yang lain berasal darinya?

Apakah tubuh ini memiliki sebuah kepala, dan kepala tubuh itu menyebabkan keberadaan dan munculnya berbagai anggota tubuh yang lain? Ataukah tubuh ini tanpa kepala? Apakah jika terdapat kepala, kepala ini memiliki otak yang memiliki perasaan (emosi) ataukah kosong dan hampa? Apakah seluruh bagian dari tubuh bahkan kuku, tulang, dan rarnbut memiliki suatu bentuk kehidupan? Apakah perasaan dan pengetahuan pada bagian tubuh tersebut terbatas pada sebagian entitas yang muncul secara kebetulan, seperti ulat pada tubuh jenazah yang ulat tersebut adalah binatang dan apakah dapat disebut bagian dari manusia? Apakah sekumpulan anggota tubuh ini memiliki suatu tujuan tertentu, dan menuju pada kesempurnaan dan hakikat, ataukah kesemuanya itu merupakan suatu keberadaan yang tanpa tujuan?
Apakah muncul dan musnahnya anggota tubuh itu secara spontan, ataukah berdasarkan pada hukum kausalitas (sebab-akibat)? Dan tidak ada sesuatu pun yang ada di clam ini yang tanpa sebab? Apakah setiap akibat khusus pasti dikarenakan suatu sebab khusus? Apakah sistem yang mengatur anggota tubuh ini sebuah sistem yang pasti dan tidak dapat dilanggar? Apakah urut-urutan, keterdahuluan (taqaddum) dan keterakhiran (ta'akhkhur) anggota tubuh adalah suatu yang benar-benar nyata ataukah tidak? Dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, pengamatan dan kajian kita yang berhubungan dengan "anggota tubuh clam realitas" adalah `wins', sedangkan kajian dan pengamatan kita yang berhubungan dengan "tubuh alam realitas" adalah `filsafat'.
Dengan demikian, kita melihat bahwa tipe khusus dari berbagai permasalahan yang sama sekali tidak menyerupai dengan suatu ilmu pun dari berbagai ilmu yang berisikan penelitian tentang suatu hakikat, kesemuanya itu membentuk satu tipe khusus. Tetapi tatkala kita hendak mengadakan kajian dan pengamatan terhadap tipe permasalah-an dari sisi 'bagian-bagian dari sains', dan kita hendak mengetahui bahwa secara teknis berbagai permasalahan ini termasuk berbagai aksiden (awaaridh) dari topik yang mana, kita menyaksikan bahwa berasal dari 'eksistensi qua eksistensi'. Dan jelas, penjelasan dan pemaparan permasalahan ini hams dikaji dalam buku filsafat yang berisikan pembahasan yang luas, dan jelas hal itu tidak dapat dibahas dalam buku ini.
Selain masalah di atas, setiap kali kita membahas mengenai esensi (maahiyah) berbagai berada, misalnya saja, apakah esensi dan ke-'apa'­an serta definisi nyata (hakiki) dari berada atau manusia? Ataupun setiap kita menginginkan untuk membahas mengenai keberadaan (wujuud) berbagai berada, misalnya saja, adakah lingkaran hakiki atau garis hakiki ataukah tidak? Hal itu juga berhubungan dengan bidang ilmu ini (filsafat) karena permasalahan ini juga merupakan bagian dari pembahasan berbagai aksiden (awaaridh) 'eksistensi qua eksistensi' (al maujud bima huwa maujud). Yakni, menurut istilah adalah berbagai esensi dari berbagai aksiden dan hukum-hukum 'eksistensi qua eksis­tensi'. Pembahasan ini juga sangat panjang dan lebar, dan akan keluar dari batas pembahasan buku ini.
Hasil pembahasan adalah, jika seseorang bertanya kepada kita, "Apakah filsafatt itu?" Sebelum kita menjawabnya, maka kita harus menyatakan bahwa kata ini pada setiap kelompok dan ahli memiliki arti yang berbeda-beda, dan masing-masing dari mereka memiliki istilah khusus. Jika yang ia maksud adalah pendefinisian filsafat menurut terminologi Muslimin yang cukup populer, maka filsafat adalah nama genus (ism jins) bagi seluruh ilmu rasional dan bukan merupakan suatu nama bagi ilmu tertentu. Sedangkan menurut terminologi yang tidak populer, filsafat adalah sebuah nama bagi "ilmu tinggi" dan itu adalah ilmu yang berisikan pembahasan berbagai permasalahan yang paling universal dari keberadaan (wujuud), yang tidak berhubungan dengan subjek khusus, namun bahkan berhubungan dengan seluruh subjek yang ada. Filsafat adalah sebuah ilmu yang memandang dan meng­amati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu subjek yang satu.{}






No comments: