Dalam wacana filsafat Islam, problematika seputar "wujud" merupakan tema
yang paling krusial. Untuk menyoroti konsepsi tersebut, tulisan ini
bersandar pada teori wujudiyyah yang disusun seorang filosof besar muslim
yang terkenal dengan sebutan Mulla Sadra.
Filsafat Wujud dalam Wacana
Para Filosof Muslim
Di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi
filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit
untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak
mungkin bisa didefinisikan, meningat untuk mendefinisikan suatu "objek",
kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu
sendiri. Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami
ketimbang konsepsi wujud?
Menurut para filosof, konsepsi wujud sedemikian terangnya, sehingga ia
persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak
mungkin bisa dilihatmanusia. Demikianlah wujud. Begitu jelasnya mafhum
wujud, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) dan
diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang
ketimbang wujud itu sendiri.
Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289), mafhum wujud adalah sesuatu
yangsangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah
sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh
Manzumahnya berkata:
Its (wujud's) notion is one of the best-known things,
But its deepest reality is in the extremity of hiddenness [1]
Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang
didiskusikan oleh hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena
itu kita akan dapati hampir seluruh buku-buku magnum opus filsafat,
seperti as-Syifa karya Ibnu Sina,
Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku-buku kalam karya Khowajeh
Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun
harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan
problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas
(kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain
seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan
sebagainya. Sampai periode awal dari aktivitas ilmiah Sadra sekalipun,
harus diakui bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi
dari apa yang disebut sebagai realitas. Ikhtilaf di kalangan para filosof
masih berkisar di seputar masalah prinsipalita wujud dan mahiyah; mana
lebih awal atau lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah.
Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis
intelektualyang sangat tajam, akhirnya Sadra melahirkan sebuah gagasan
baru dalam filsafat bahwa wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada
mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari semua yang disebut
realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri.[2] Sejak itu, kata Rahman,
wujudiyyah atau "eksistensialisme" lahir sebagai mazhab filsafat dalam
komunitas Muslim.
Tapi perlu kita ingatkan di sini bahwa yang dimaksudkan dengan istilah
"eksistensialisme" yang diatributkan kepada Sadra berbeda dengan mazhab
eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti Kierkegaard,
Jean Paul Sartre, atau Heidegger. Menurut Wahid Akhtar, mazhab
eksistensialisme mereka tak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk
mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat.[3] Ia merupakan sebuah
reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni
materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara
apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat
metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan
ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate
Reality). Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih
bersifat theistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat
eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik.[4]
Prinsip-prinsip Filsafat Wujud
Untuk bisa memahami filsafat wujud, ada baiknya kita batasi pembahasan
hanya pada teori Sadra yang dikenal sebagai filosof wujudiyyah di
zamannya. Sayyed Hossein Nasr mengatakan, filsafat wujud Sadra berdiri di
atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga
prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori
filsafat metafisikanya, baik yang berkaitan dengan kosmologi,
epistimologi, dan bahkan teologinya.[5] Ketiga prinsip tersebut adalah
sebagai berikut: wahdatul wujud, tasykikul wujud, dan asalatul wujud. Kita
akan mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana.
Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang
disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang
filosofis. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang
sangat ekstrem sampai moderat.
Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab'in yang menyatakan bahwa hanya
Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang
melihat bahwa seluruhyang maujud (existent) selain Tuhan hanyalah
tajalliyat (manifestasi) dari Asma' dan Sifat-sifat Tuhan. Namun Sadra
melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas
yang membentang dari yang namanya Wajib al-wujud (Allah Swt.) yang sifat
wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang bersifat contingent
(mumkin al-wujud). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu
berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada
lain adalah matahari itu sendiri. Wujud Wajibul-wujud berbeda dengan wujud
mumkinul-wujud, namun dalam masa yang sama entitas-entitas itu tiada lain
adalah realitas Wajibul-wujud juga.
Teori wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala
sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud,
benda-benda mati berwujud, dsb. Apakah wujud setiap satu dari mereka
sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru subsist-by
other. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara wujud
Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa
membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita
menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah
keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si
Amir. Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan
sebagainya. Lantas dimana letak unitasnya?
Untuk menjawab persoalan itu yang dikenal dengan istilah problem
multiplisitas dengan unitas, wujudiyyah menerangkan tentang dua perkara
yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud
murakkab (composite existence) dimana keberadaan entitas tersebut
bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam
kategori ini maka wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit (the
Simple Existent), di mana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada
unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud /basit/ ini hanya
milik Allah SWT saja di mana wujudnya merupakan maujud-Nya itu
sendiri. Simplifikasi jenis wujud Allah ini kemudian melahirkan sebuah
formula yang cukup signifikan dalam filsafat Sadra, yang disebutnya dengan
istilah basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana
adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut
"sesuatu".) Karenanya mengikut formula ini, wujud manusia yang murakkab
adalah bagian inheren dari wujud Allah yang basit.
Prinsip wahdatul-wujud dalam filsafat Sadra ini yang melihat unitas wujud
terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai
dari Wajibul- wujud sampai ke mumkinul wujud (contingent beings) yang
beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya melahirkan prinsip lain yang
dikenal dengan istilah tasykikul wujud atau graditas wujud yang
sistematis. Prinsip ini pada perkembangannya melahirkan gagasan kosmologis
Sadra yang spektakuler, yang tidak akan kita bahas di sini.
Untuk bisa memahami teori ini, sejenak kita melihat logika Aristotelian
tentang perbedaan antara dua jenis universal (kulli), antara kulli
mutawati (univocally applicable) dan kulli musyakkak (equivocally atau
ambiguosly applicable). Contoh yang pertama seperti manusia
(universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di antara
individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi "human-ness
(kemanusiaannya)". Contoh kulli kedua yakni kulli musyakkak seperti warna
"putih" yang membawahi individu-individu "putih" yang ragamnya
bergraditas; ada putih saju, putih kapas, dan sejenisnya. Problemnya
adalah kulli musyakkak yang membawahi suatu esensi dengan segala
graditasnya ini apakah akan mengalami perubahan wujud ketika intensifikasi
terjadi di dalam dirinya atau tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana,
apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka
esensi "putih"nya juga berubah atau tidak berubah? Apakah perbedaan
graditas dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah
atau tetap dengan esensinya dahulu.
Menurut aliran filsafat peripatetik, esensi tak mengalami perubahan. Yang
berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih
mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan
lahir warna baru yang menggantikannya. Tetapi Isyriqiyyun menolak teori
ini. Mereka melihat bahwa suatu esensi tidak pernah mengalami
perubahan. Suatu esensi bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak
terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya
ke-putih-annya yang tetap, bahkan "putih"nya juga tetap. "Animal remains
the same, yet animality can increase or decrease", kata Rahman yang
mengutip Suhrawardi.[6]
Dengan kata lain, menurut Suhrawardi, semua yang disebut esensi memiliki
kapabilitas untuk menjadi "more or less": semua manusia bisa jadi
"lebih" atau "kurang" manusia dari manusia lain. "Manusia" dan
"kemanusiaan" Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan
kita.
Teori "more perfect and less perfect". Suhrawardi ini kemudian di-switch
oleh Sadra untuk dasar filsafat eksistensinya. Tapi jelas Sadra tidak
sekadar mengkopi. Ia melakukan sejumlah modifikasi yang cukup
signifikan. Pertama, prinsip tashkik atau ambiguitas ini dirubahnya dari
ambiguitas esensi menjadi ambiguitas dalam eksistensi. Dengan kata lain,
yang mengalami graditas bukan esensi, tapi justru eksistensinya. Kedua,
teori ambiguitas eksisten ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar
ambiguitas. Itu berarti,
1. Eksistensi adalah sama bagi seluruh eksisten (maujud)nya, seperti
eksistensi Tuhan yang wajib dan makhluk yang mumkin adalah sama apabila
dilihat dari sisi predikat eksistensinya.
2. Meskipun predikat eksistensi di atas sama namun setiap eksisten tetap
memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain.
3. Seluruh bentuk eksistensi yang lebih tinggi pasti mengandung bentuk
eksistensi yang lebih rendah darinya berdasarkan formula yang kita
kutipkan di atas, yakni basit al-haqiqah kullu syai™, bahwa eksistensi
yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala eksistensi yang berada
di level bawahnya.
Dengan dasar prinsip di atas maka wahdatul wujud atau unitas wujud
terpelihara pada semua eksisten atau maujud; namun dalam masa yang sama
keragamannya juga terpelihara.
Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense, maka
lahirnya prinsip ashalatul wujud adalah sesuatu yang aksiomatis. Ashalatul
wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang
ada. Lawan darinya adalah Ashalatul Mahiyah yang mengatakan bahwa
mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perbedaan
kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya
Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina,
bahkan Aristoteles sekalipun pada mulanya para filosof peripatetik seperti
Farabi dan Ibnu Sina yang mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua
realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud
(eksisten).[7] Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud
(eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah
(quiditas).
Mahiyah sepertinya duduk dalam posisi sebagai lokus yang memerlukan wujud
agar ia bisa eksis. Tanpa wujud, suatu mahiyah tidak akan pernah bisa
menjadi maujud (eksisten); dan demikian juga tanpa mahiyah, suatu wujud
tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia realitas.
Teori dualitas antara wujud dan mahiyah ini kemudian ditolak secara tegas
oleh Suhrawardi dan Isyraqiyyun. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat
sebagai maujud (eksisten) di dunia realitas adalah wujud itu sendiri,
bukan asalnya mahiyah yang iahampaln dari wujud, dan kemudian ia
memperoleh wujud untuk bisa eksis. Sebab, apabila kita terima teori itu,
maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya
eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau
mengalami regresi yang infinite.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa suatu wujud yang konkrit tiada lain adalah
sebuah fakta bahwa itu adalah maujud itu sendiri. Sehingga kalimat
iawujudla yang kita berikan padanya tiada lain kecuali abstraksi akal
semata-mata.[8]
Sadra yang eksistensialis dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan
kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang riil adalah
wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Tapi dia juga
tidak menerima teori dualitas antara wujud dan mahiyah seperti yang
dipegang aliran peripatetik. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil
atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu
sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit
berkarakter "menebar" ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut
sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di
hadapan kita tidak lebih dari limitation atau pembatasan-pembatasan yang
mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri. Ketika kita melihat di
dunia realitas ini ada, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan
sebagainya, maka entitas-entitas itu tidak lebih dari sekadar limitation
yang "membelah" bentangan wujud. Limitation itu penting untuk membentuk
apa yang disebut sebagai maujud atau eksisten. Dan ia "berfungsi" untuk
membedakan kepada kita karakter dan spesifikasi suatu maujud dari maujud
yang lainnya. Karena dengan limitation itu, kita bisa mengenal suatu
maujud dengan maujud lainnya; atau dengan limitation itu kita bisa
mengenal satu form (bentuk spesifik) dari form yang lainnya. Dan form itu
sendiri kemudian kita istilahkan sebagai mahiyah (what-ness) atau
quiditas. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai mahiyah sebenarnya
tidak ada realitasnya. Ia hadir ke dalam pikiran kita, hasil dari
observasi tentang bentangan wujud yang terbelah oleh form-form yang
ada. Itulah kenapa Sadra berkata bahwa yang prinsip adalah wujud,
sementara mahiyah adalah abstraksi akal kita semata-mata. Sabzawari
berkata:
Existence in our opinion is fundamentally real
The argument of our opponents is invalid [9]
Kesimpulan
Secara teologis, ketiga prinsip filsafat wujud di atas mengajak kita
memahami makna the Ultimate Reality di mana realitas Allah selain Simple,
juga wahid atau menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun wahdatul
wujud namun tidak terjebak pada teori panteisme, karena wujud
entitas-entitas selainNya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan
firman Allah "bahwa Kami lebih dekat kepadanya (makhluk-Nya) ketimbang
dari nyawanya sendiri" (50:16).
1. The Metaphysics of Sabzawari, translated by M. Mohaghegh and
T. Izutsu. Teheran: University Press, 1983, hal.32
2. Untuk lebih rinci tentang perkembangan historis ini lihat Nasr dalam
History of Islamic Philosophy; juga Sharif dalam A History of Muslimi
Philosophy; Rahman dalam Philosophy of Mulla Sadra, dsb.
3. Al-Hikmah, Bandung: Yay. Muthahhri, III, hal. 44.
4. Tentang analisis mazhab eksistensialisme ini lihat Frederick Copleston
dalam A History of Philosophy, Vol. IX hal. 340.
5. Lihat History of Islamic Philosophy, (ed) Nasr. London: Routledge, II,
hal. 648
6. Lihat Rahman, op. cit., hal. 34-35
7 Teori Ibnu Sina tentang hubungan Esensi dan Eksistensi ini lihat Fazlur
Rahman dalam artikelnya, "Essence and Existence in Avicennala, Medieval
and Renaissance Studies", 4 (1958): 1-16. Juga "Philosophy of M. Sadra",
ibid., 34.
8. Lihat John Walbridge, The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi
and the Illuminationist Tradition in Islamic Philosophy, hal. 89.
9. Sabzawari, ibid., hal. 32.
No comments:
Post a Comment