Friday, May 25, 2007

Filsafat Wujud dalam Wacana para filosof muslim


Dalam wacana filsafat Islam, problematika seputar "wujud" merupakan tema

yang paling krusial. Untuk menyoroti konsepsi tersebut, tulisan ini

bersandar pada teori wujudiyyah yang disusun seorang filosof besar muslim

yang terkenal dengan sebutan Mulla Sadra.


Filsafat Wujud dalam Wacana

Para Filosof Muslim



Di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi

filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit

untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak

mungkin bisa didefinisikan, meningat untuk mendefinisikan suatu "objek",

kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu

sendiri. Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami

ketimbang konsepsi wujud?


Menurut para filosof, konsepsi wujud sedemikian terangnya, sehingga ia

persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak

mungkin bisa dilihatmanusia. Demikianlah wujud. Begitu jelasnya mafhum

wujud, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) dan

diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang

ketimbang wujud itu sendiri.


Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289), mafhum wujud adalah sesuatu

yangsangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah

sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh

Manzumahnya berkata:


Its (wujud's) notion is one of the best-known things,

But its deepest reality is in the extremity of hiddenness [1]


Secara historis, tema wujud menjadi tema fundamental metafisika yang

didiskusikan oleh hampir seluruh filosof klasik sejak Aristoteles. Karena

itu kita akan dapati hampir seluruh buku-buku magnum opus filsafat,

seperti as-Syifa karya Ibnu Sina,


Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku-buku kalam karya Khowajeh

Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema pentingnya. Namun

harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan

problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas

(kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain

seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan

sebagainya. Sampai periode awal dari aktivitas ilmiah Sadra sekalipun,

harus diakui bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi

dari apa yang disebut sebagai realitas. Ikhtilaf di kalangan para filosof

masih berkisar di seputar masalah prinsipalita wujud dan mahiyah; mana

lebih awal atau lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah.


Berdasarkan penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis

intelektualyang sangat tajam, akhirnya Sadra melahirkan sebuah gagasan

baru dalam filsafat bahwa wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada

mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari semua yang disebut

realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri.[2] Sejak itu, kata Rahman,

wujudiyyah atau "eksistensialisme" lahir sebagai mazhab filsafat dalam

komunitas Muslim.


Tapi perlu kita ingatkan di sini bahwa yang dimaksudkan dengan istilah

"eksistensialisme" yang diatributkan kepada Sadra berbeda dengan mazhab

eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti Kierkegaard,

Jean Paul Sartre, atau Heidegger. Menurut Wahid Akhtar, mazhab

eksistensialisme mereka tak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk

mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat.[3] Ia merupakan sebuah

reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni

materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara

apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat

metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan

ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate

Reality). Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih

bersifat theistik bahkan sufistik; sementara aliran filsafat

eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik.[4]


Prinsip-prinsip Filsafat Wujud



Untuk bisa memahami filsafat wujud, ada baiknya kita batasi pembahasan

hanya pada teori Sadra yang dikenal sebagai filosof wujudiyyah di

zamannya. Sayyed Hossein Nasr mengatakan, filsafat wujud Sadra berdiri di

atas tiga prinsip dasar yang sangat fundamental. Dengan memahami ketiga

prinsip ini, diharapkan kita akan dengan mudah memahami teori-teori

filsafat metafisikanya, baik yang berkaitan dengan kosmologi,

epistimologi, dan bahkan teologinya.[5] Ketiga prinsip tersebut adalah

sebagai berikut: wahdatul wujud, tasykikul wujud, dan asalatul wujud. Kita

akan mengelaborasi ketiga prinsip ini secara sederhana.

Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang

disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang

filosofis. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang

sangat ekstrem sampai moderat.


Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab'in yang menyatakan bahwa hanya

Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis. Ada lagi yang

melihat bahwa seluruhyang maujud (existent) selain Tuhan hanyalah

tajalliyat (manifestasi) dari Asma' dan Sifat-sifat Tuhan. Namun Sadra

melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas

yang membentang dari yang namanya Wajib al-wujud (Allah Swt.) yang sifat

wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang bersifat contingent

(mumkin al-wujud). Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu

berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada

lain adalah matahari itu sendiri. Wujud Wajibul-wujud berbeda dengan wujud

mumkinul-wujud, namun dalam masa yang sama entitas-entitas itu tiada lain

adalah realitas Wajibul-wujud juga.


Teori wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala

sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud,

benda-benda mati berwujud, dsb. Apakah wujud setiap satu dari mereka

sifatnya berdiri sendiri (self-subsistence) atau justru subsist-by

other. Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara wujud

Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa

membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita

menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah

keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si

Amir. Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan

sebagainya. Lantas dimana letak unitasnya?


Untuk menjawab persoalan itu yang dikenal dengan istilah problem

multiplisitas dengan unitas, wujudiyyah menerangkan tentang dua perkara

yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud

murakkab (composite existence) dimana keberadaan entitas tersebut

bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam

kategori ini maka wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit (the

Simple Existent), di mana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada

unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud /basit/ ini hanya

milik Allah SWT saja di mana wujudnya merupakan maujud-Nya itu

sendiri. Simplifikasi jenis wujud Allah ini kemudian melahirkan sebuah

formula yang cukup signifikan dalam filsafat Sadra, yang disebutnya dengan

istilah basitul haqiqah kullu syaiy (bahwa wujud yang bersifat sederhana

adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut

"sesuatu".) Karenanya mengikut formula ini, wujud manusia yang murakkab

adalah bagian inheren dari wujud Allah yang basit.


Prinsip wahdatul-wujud dalam filsafat Sadra ini yang melihat unitas wujud

terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai

dari Wajibul- wujud sampai ke mumkinul wujud (contingent beings) yang

beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya melahirkan prinsip lain yang

dikenal dengan istilah tasykikul wujud atau graditas wujud yang

sistematis. Prinsip ini pada perkembangannya melahirkan gagasan kosmologis

Sadra yang spektakuler, yang tidak akan kita bahas di sini.


Untuk bisa memahami teori ini, sejenak kita melihat logika Aristotelian

tentang perbedaan antara dua jenis universal (kulli), antara kulli

mutawati (univocally applicable) dan kulli musyakkak (equivocally atau

ambiguosly applicable). Contoh yang pertama seperti manusia

(universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di antara

individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi "human-ness

(kemanusiaannya)". Contoh kulli kedua yakni kulli musyakkak seperti warna

"putih" yang membawahi individu-individu "putih" yang ragamnya

bergraditas; ada putih saju, putih kapas, dan sejenisnya. Problemnya

adalah kulli musyakkak yang membawahi suatu esensi dengan segala

graditasnya ini apakah akan mengalami perubahan wujud ketika intensifikasi

terjadi di dalam dirinya atau tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana,

apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka

esensi "putih"nya juga berubah atau tidak berubah? Apakah perbedaan

graditas dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah

atau tetap dengan esensinya dahulu.


Menurut aliran filsafat peripatetik, esensi tak mengalami perubahan. Yang

berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih

mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan

lahir warna baru yang menggantikannya. Tetapi Isyriqiyyun menolak teori

ini. Mereka melihat bahwa suatu esensi tidak pernah mengalami

perubahan. Suatu esensi bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak

terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya

ke-putih-annya yang tetap, bahkan "putih"nya juga tetap. "Animal remains

the same, yet animality can increase or decrease", kata Rahman yang

mengutip Suhrawardi.[6]


Dengan kata lain, menurut Suhrawardi, semua yang disebut esensi memiliki

kapabilitas untuk menjadi "more or less": semua manusia bisa jadi

"lebih" atau "kurang" manusia dari manusia lain. "Manusia" dan

"kemanusiaan" Muhammad saw lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan

kita.


Teori "more perfect and less perfect". Suhrawardi ini kemudian di-switch

oleh Sadra untuk dasar filsafat eksistensinya. Tapi jelas Sadra tidak

sekadar mengkopi. Ia melakukan sejumlah modifikasi yang cukup

signifikan. Pertama, prinsip tashkik atau ambiguitas ini dirubahnya dari

ambiguitas esensi menjadi ambiguitas dalam eksistensi. Dengan kata lain,

yang mengalami graditas bukan esensi, tapi justru eksistensinya. Kedua,

teori ambiguitas eksisten ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar

ambiguitas. Itu berarti,


1. Eksistensi adalah sama bagi seluruh eksisten (maujud)nya, seperti

eksistensi Tuhan yang wajib dan makhluk yang mumkin adalah sama apabila

dilihat dari sisi predikat eksistensinya.


2. Meskipun predikat eksistensi di atas sama namun setiap eksisten tetap

memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain.


3. Seluruh bentuk eksistensi yang lebih tinggi pasti mengandung bentuk

eksistensi yang lebih rendah darinya berdasarkan formula yang kita

kutipkan di atas, yakni basit al-haqiqah kullu syai™, bahwa eksistensi

yang sederhana pasti mencakup secara inheren segala eksistensi yang berada

di level bawahnya.


Dengan dasar prinsip di atas maka wahdatul wujud atau unitas wujud

terpelihara pada semua eksisten atau maujud; namun dalam masa yang sama

keragamannya juga terpelihara.


Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense, maka

lahirnya prinsip ashalatul wujud adalah sesuatu yang aksiomatis. Ashalatul

wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang

ada. Lawan darinya adalah Ashalatul Mahiyah yang mengatakan bahwa

mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perbedaan

kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya

Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina,

bahkan Aristoteles sekalipun pada mulanya para filosof peripatetik seperti

Farabi dan Ibnu Sina yang mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua

realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud

(eksisten).[7] Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud

(eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah

(quiditas).


Mahiyah sepertinya duduk dalam posisi sebagai lokus yang memerlukan wujud

agar ia bisa eksis. Tanpa wujud, suatu mahiyah tidak akan pernah bisa

menjadi maujud (eksisten); dan demikian juga tanpa mahiyah, suatu wujud

tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia realitas.


Teori dualitas antara wujud dan mahiyah ini kemudian ditolak secara tegas

oleh Suhrawardi dan Isyraqiyyun. Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat

sebagai maujud (eksisten) di dunia realitas adalah wujud itu sendiri,

bukan asalnya mahiyah yang iahampaln dari wujud, dan kemudian ia

memperoleh wujud untuk bisa eksis. Sebab, apabila kita terima teori itu,

maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya

eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau

mengalami regresi yang infinite.


Lebih jauh ia mengatakan bahwa suatu wujud yang konkrit tiada lain adalah

sebuah fakta bahwa itu adalah maujud itu sendiri. Sehingga kalimat

iawujudla yang kita berikan padanya tiada lain kecuali abstraksi akal

semata-mata.[8]


Sadra yang eksistensialis dan yang berusaha maksimum untuk mensintesiskan

kedua aliran ini menolak pendapat Suhrawardi. Baginya yang riil adalah

wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Tapi dia juga

tidak menerima teori dualitas antara wujud dan mahiyah seperti yang

dipegang aliran peripatetik. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil

atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu

sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit

berkarakter "menebar" ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut

sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di

hadapan kita tidak lebih dari limitation atau pembatasan-pembatasan yang

mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri. Ketika kita melihat di

dunia realitas ini ada, misalnya, kursi, meja, si Amir, kuda, dan

sebagainya, maka entitas-entitas itu tidak lebih dari sekadar limitation

yang "membelah" bentangan wujud. Limitation itu penting untuk membentuk

apa yang disebut sebagai maujud atau eksisten. Dan ia "berfungsi" untuk

membedakan kepada kita karakter dan spesifikasi suatu maujud dari maujud

yang lainnya. Karena dengan limitation itu, kita bisa mengenal suatu

maujud dengan maujud lainnya; atau dengan limitation itu kita bisa

mengenal satu form (bentuk spesifik) dari form yang lainnya. Dan form itu

sendiri kemudian kita istilahkan sebagai mahiyah (what-ness) atau

quiditas. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai mahiyah sebenarnya

tidak ada realitasnya. Ia hadir ke dalam pikiran kita, hasil dari

observasi tentang bentangan wujud yang terbelah oleh form-form yang

ada. Itulah kenapa Sadra berkata bahwa yang prinsip adalah wujud,

sementara mahiyah adalah abstraksi akal kita semata-mata. Sabzawari

berkata:


Existence in our opinion is fundamentally real

The argument of our opponents is invalid [9]


Kesimpulan


Secara teologis, ketiga prinsip filsafat wujud di atas mengajak kita

memahami makna the Ultimate Reality di mana realitas Allah selain Simple,

juga wahid atau menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun wahdatul

wujud namun tidak terjebak pada teori panteisme, karena wujud

entitas-entitas selainNya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan

firman Allah "bahwa Kami lebih dekat kepadanya (makhluk-Nya) ketimbang

dari nyawanya sendiri" (50:16).


1. The Metaphysics of Sabzawari, translated by M. Mohaghegh and

T. Izutsu. Teheran: University Press, 1983, hal.32

2. Untuk lebih rinci tentang perkembangan historis ini lihat Nasr dalam

History of Islamic Philosophy; juga Sharif dalam A History of Muslimi

Philosophy; Rahman dalam Philosophy of Mulla Sadra, dsb.

3. Al-Hikmah, Bandung: Yay. Muthahhri, III, hal. 44.

4. Tentang analisis mazhab eksistensialisme ini lihat Frederick Copleston

dalam A History of Philosophy, Vol. IX hal. 340.

5. Lihat History of Islamic Philosophy, (ed) Nasr. London: Routledge, II,

hal. 648

6. Lihat Rahman, op. cit., hal. 34-35

7 Teori Ibnu Sina tentang hubungan Esensi dan Eksistensi ini lihat Fazlur

Rahman dalam artikelnya, "Essence and Existence in Avicennala, Medieval

and Renaissance Studies", 4 (1958): 1-16. Juga "Philosophy of M. Sadra",

ibid., 34.

8. Lihat John Walbridge, The Science of Mystic Lights: Qutb al-Din Shirazi

and the Illuminationist Tradition in Islamic Philosophy, hal. 89.

9. Sabzawari, ibid., hal. 32.




No comments: